Zaman Dulu, Tak Hanya Hewan, Manusia pun Kerap Kehilangan Nyawa karena Lamanya Waktu Tempuh

Ade Sulaeman

Penulis

Memperingati hari perhubungan darat, berikut ini kisah-kisah dari abad lampau tentang buruknya perhubungan darat.

Intisari-Online.com – Hari ini, 22 November adalah Hari Perhubungan Darat. Bila dibandingkan dengan zaman kolonial, tentu saja perhubungan darat sekarang jelas lebih baik.

Di zaman merajalelanya, VOC atau Kompeni semata-mata memperkaya diri dengan memeras habis-habisan rakyat yang dijajah, tanpa pertimbangan sedikitpun.

Pegawai kompeni dibayar rendah — sebaliknya oknum-oknum ini menebus kekurangannya dengan makin menindas rakyat.

Misalnya dalam usahanya mengeduk hasil perkebunan, dan pertanian mereka menentukan harga pembelian dengan sewenang-wenang tanpa mempedulikan apakah petani memperoleh imbalan cukup untuk jerih payahnya.

(Baca juga: Melodi, Buah Koleksi 'Kompeni' yang Sakti Enyahkan Darah Tinggi)

Di samping itu mereka memaksa para petani menyerahkan hasil bumi itu ke gudang-gudang yang disediakan Kompeni.

Kesulitan pengangkutan sama sekali tak dipertimbangkan, sehingga hasil seperti kopi umpamanya, harus dipikul oleh tenaga kuli yang berjalan kaki dari pedalaman lewat jalan-jalan yang berat ke gudang-gudang.

Dalam tahun-tahun 1725-1729 seorang Gubernur Jenderal bernama De Haen memulai apa yang disebut koffietransport dengan menggunakan hewan beban, biasanya kerbau atau lembu.

Cara ini lebih menghemat penggunaan tenaga manusia, tetapi toh masih banyak tenaga kerja yang dilibatkan dalam pengangkutan ini, karena hewan memerlukan seorang pengiring.

Notabene tenaga-tenaga ini diperoleh dengan rodi alias kerja-paksa. Jadi lagi-lagi rakyat menjadi korban.

Lagi pula perjalanan ini bukan tanpa bahaya maut. Di daerah Karawang angkutan kopi dari pedalaman Jawa Barat ini seringkali dihadang penyamun, sehingga tak sedikit pengiring yang tidak pernah pulang lagi ke desanya.

Dalam tahun 1749 tercatat 300 ekor sapi atau kerbau dari daerah Sumedang dan Parakamuncang dirampas penjahat di tengah jalan.

Pengangkutan lewat air dilakukan bilamana keadaan sungai memungkinkan. Pada waktu itu sungai Pamanukan dan Citarum dapat dilayari dengan perahu bermuatan.

(Baca juga: Lukisan Awal Keraton Ngayogyakarta dari Zaman VOC: Siapakah Sosok dalam Lukisan Itu?)

Di mana sungai tak dapat dilayari lagi muatan dialihkan kembali ke hewan beban sampai ke tempat tujuan.

Setiap hewan bisa mengangkut 100 pon (sekitar 50 kg) ditambah bekal beras bagi si pengiring.

Pada masa itu mulai dipergunakan pedati. Konon yang pertama kali memprakarsai angkutan ini adalah Bupati Bandung.

Pedati zaman itu tidaklah sama dengan gerobak sapi sekarang; bentuknya berat dan masif, rodanya rendah dan tanpa jari-jari.

Roda itu cepat terkikis sehingga tepinya menjadi tajam, yang merusak jalan. Pedati semacam itu seringkali macet di lumpur jalan. Lajunya pun seperti keong; dalam jangka waktu satu bulan pedati hanya sanggup bolak-balik tiga kali rate Jakarta-Bogor.

Betapa berat beban yang ditanggung rakyat mudah dibayangkan: mereka yang tinggal di Cianjur harus menghabiskan waktu 8-14 hari untuk mencapai Bogor. Karena berat dan lamban lagi sering mogok di jalan, pedati kurang populer.

Dalam tahun 1800 di daerah Pamanukan dan Ciasem masih dipergunakan hewan beban dan pikulan dengan tenaga kuli untuk mengangkut hasil bumi bagi Kompeni. Di banyak tempat orang lebih suka menggunakan hewan atau manusia daripada pedati.

Konvoi angkutan kopi biasanya terdiri dari sejumlah seribu ekor kerbau yang sarat dimuati. Karena kerbau-kerbau itu dihiasi dengan kliningan dan para pembawanya mengenakan kain batik indah dengan tudung kepala berwarna-warni; iringan seperti itu merupakan pemandangan yang mengasyikkan.

(Baca juga: Lebih Ekstrem dari Indonesia Zaman Dulu, Beginilah Gambaran Pengguna KRL di Bangladesh (FOTO))

Hewan-hewan beban itu harus disediakan oleh para kepala desa, jumlahnya ditentukan oleh besar jumlah ternak mereka.

Lambat laun Kompeni sadar juga bahwa konvoi-konvoi pengangkut hasil itu terlalu banyak menggunakan tenaga manusia, sehingga akhirnya produksi bidang pertanian merosot. Sebelum zaman Daendels pemerintah mulai membuat peraturan-peraturan.

Antara lain para petani dibiarkan membawa sendiri hasilnya kalau bersedia, tetapi boleh juga menyerahkan pengangkutannya kepada orang lain.

Orang-orang pribumi yang miskin, orang-orang tua, janda-janda dan anak-anak dapat menyerahkan hasil mereka kepada gudang-gudang kecil di setiap distrik dan di sana mereka harus dibayar dengan segera.

(Bahkan orang yang tak mampu, tua, janda dan anak-anak pun masih diperas!). Selanjutnya pengangkutan hasil pertanian harus diberikan fasilitas sebesar-besarnya.

Dijamin rakyat

Pengangkutan orang pun sangat primitif. Dan yang biasanya harus melakukan perjalanan jauh adalah pegawai-pegawai Kompeni. Barangkali sudah merupakan adat kebiasaan lama, mungkin sudah sejak jaman Hindu, bahwa pejabat-pejabat pemerintah yang mengadakan perjalanan dinas dijamin sepenuhnya oleh rakyat.

Kebiasaan ini sudah tentu sangat menyenangkan Kompeni, sehingga mereka berusaha tetap memeliharanya.

Sesuai dengan kebiasaan itu, Kompeni memaksa para pemuka dan kepala daerah untuk menjamin pegawai dan anggota militer yang melakukan perjalanan dinas ke pedalaman.

Ini tidak hanya berarti jaminan penginapan dan makan, tetapi juga tenaga kuli, penunjuk jalan dan bila perlu juga sarana pengangkutan.

Musafir-musafir resmi yang memanfaatkan kesempatan ini secara tidak tanggung-tanggung, merupakan teror terhadap rakyat, sehingga penduduk rela meninggalkan kampung halamannya yang kebetulan terletak sepanjang jalan utama, untuk mundur ke pedalaman, hanya untuk menghindari pemerasan sewenang-wenang itu.

Baru kemudian sekali Gubernur Pieter Engelhard berusaha memperbaiki keadaan ini dengan mengusulkan suatu tarif pantas untuk penggantian bahan makanan dan juga untuk upah pekerja dan sewa kuda.

Pemerintah Hindia Belanda menyetujui usul tarif ini (1805). Tetapi peraturan ini nyatanya hanya berlaku di atas kertas belaka, sebab pejabat-pejabat yang katanya masih menaruh simpati terhadap rakyat pribumi, beranggapan bahwa salahlah untuk membayar jasa-jasa yang selalu diberikan secara sukarela dengan cuma-cuma.

Hanya uang upeti yang dipersembahkan kepada tuan besar bila beliau berkenan mengadakan kunjungan kepada "rahayatnya yang tercinta" dihapuskan.

Pada kerusuhan-kerusuhan di daerah Cirebon di tahun 1806 pemerintah memerintahkan agar biaya-biaya untuk menjamin tentara yang dikirimkan diganti.

Ini tidak mengherankan, sebab beban yang diakibatkan oleh tentara yang melewati suatu daerah saja sudah cukup untuk menimbulkan kerusuhan baru.

Dikubur di hutan

Betapa buruknya keadaan jalan-jalan dapat dibayangkan dari pernyataan Cornelis de Bruin yang biasa menulis kisah perjalanan, yang dalam tahun 1709 hanya dapat berkendaraan kereta sampai Tanah Abang, ke luar Meester Cornelis (Jatinegara) ia harus berganti naik gerobak kerbau.

Dengan terguncang-guncang akhirnya ia dapat mencapai Seringsing milik Cornelis Chastelijn.

Juga dari kisah Joannes Hofhout, seorang pasien yang dibawa dari rumah sakit Batavia ke Cipanas dalam tahun 1759, kita mendapat kesan betapa jauh dan sukarnya perjalanan sedekat itu.

Pada tanggal 12 Mei jam sepuluh malam sejumlah 30 orang penderita diangkut dengan perahu dari rumah sakit ke lapangan dekat benteng Jakarta, di mana telah siap pedati-pedati yang ditarik oleh dua ekor sapi.

Setiap pedati diperuntukkan dua orang sakit dengan alas jerami dan atap pelindung. Kawan seperjalanan Hofhout membawa kasur dengan beberapa bantal, sehingga mereka agak lebih nyaman daripada orang lain.

Kendatipun begitu, perjalanan itu dikatakan jauh daripada enak dan sangat melelahkan oleh goncangan kereta. Ketika fajar menyingsing konvoi itu berhenti.

Hofhout dan rekannya menyuruh tukang pedati mereka memasak Penggantian kuda kereta pos di suatu perhentian (pertengahan abad ke-18) kopi dengan api kayu, sesudah itu mereka tidur nyenyak di rerumputan.

Pimpinan perjalanan itu seorang "dokter pembantu" dari rumah sakit Cipanas. Orang ini sangat memperhatikan kesejahteraan pasien; ia mendahului rombongan menuju ke "dalem" (kediaman kepala daerah) atau pesangrahan menyiapkan penampungan orang-orang sakit.

Sore harinya perjalanan dilanjutkan, sampai hari gelap baru berhenti, sebab sapi-sapinya tak mau menarik lagi. Keesokan harinya mereka berangkat lagi dan baru lepas tengah hari mencapai Kampung Baru (mungkin ini kemudian menjadi Bogor).

Para penderita ditampung di dalem dan dihidangkan sop kambing dengan nasi dan sayuran. Hanya dua orang yang sakit parah tak dapat menikmati makanan itu, yang lainnya tak melewatkan kesempatan ini.

Pagi-pagi rombongan berangkat lagi sampai ke daerah pegunungan (mungkin sampai dekat Cisarua). Malamnya seorang penderita meninggal, lalu dikuburkan di hutan. Di sini mereka beristirahat dua hari untuk menyimpan tenaga bagi perjalanan naik gunung yang berat.

Kemudian pedati-pedati ditinggalkan, para penderita diletakkan di punggung sapi, dengan diikatkan pada leher dan ekornya, sehingga penumpang dapat berpegangan erat-erat selama pendakian gunung.

Hofhout dan rekan senasibnya tersesat; malam-malam mereka tiba di sebuah kampung, di mana mereka diberi makan oleh penduduk dan paginya mereka dibawa ke rumah sakit di Cipanas.

Jembatan darurat untuk Gubernur Jendral

Dalam tahun 1770 pun orang tak dapat berkereta lebih jauh ke pedalaman daripada Meester Comelis. Kalau mau lebih jauh lagi terpaksa kuda-kuda diganti dengan kerbau untuk memungkinkan kendaraan itu mengarungi lumpur.

Waktu Deandels dalam tahun 1808 berkeinginan ke Bogor, di Betawi orang menjelaskan kepadanya bahwa hal itu tak mungkin dilakukan pada "musim buruk". Jembatan-jembatan hanya ada di depan kota.

Jika ada Gubernur Jenderal atau orang gede lain yang ingin pergi ke Bogor, maka dibuatlah jembatan-jembatan darurat dari bambu, yang tak boleh dilalui pedati. Dalam zaman pendudukan Inggeris pun masih belum ada jembatan di depan kota Bogor.

Pada waktu permukaan air tinggi kota ini tak dapat dicapai dari arah Timur. Akibat angkutan kopi keadaan jalan ini begitu rupa sehingga pedati-pedati harus diperlengkapi dengan roda yang lebih besar agar tak macet di lumpur.

Bahwa sapi penarik mati di tengah perjalanan, bukanlah suatu hal yang langka.

Sejak zaman Van Imhoff (1743-50) jalan ke arah Bogor dibagi menjadi dua jalur oleh sederetan pohon jarak mula-mula hanya sampai ke Jatinegara (harus diingat bahwa batas kota waktu itu adalah di sekitar Glodok) tetapi kemudian lebih jauh lagi: dengan ini dimaksudkan agar pedati-pedati melewati jalur khusus, yang dimusim hujan merupakan kubangan kerbau, di musim kemarau sangat keras.

Pos kilat tahun 1775

Sesudah jalan ke Bogor, jalan yang menuju ke Karawang merupakan yang terpenting. Tetapi juga jalan ini jarang bisa dilewati kereta, biasanya hanya setelah baru dilakukan perbaikan besar-besaran.

Biasanya di sini juga harus disediakan sapi penarik untuk menggantikan kuda. Bila sungai-sungai sedang banjir, lalu lintas antara Karawang dengan Jakarta acapkali terputus sama sekali, sehingga surat-surat untuk ke tempat-tempat di pantai Utara Jawa harus dikirim lewat Bogor melalui Periangan.

Jalan ke tiga yang penting ialah yang menuju ke Tangerang. Dalam pertengahan abad ke 18 jalan ini masih sukar dilalui, bahkan untuk penunggang kuda sekalipun.

Gubernur Jendral Jacob MDSsel (1750-61) sudah boleh merasa puas jika "jalan-jalan raya" bisa ditempuh penunggang kuda. Sekitar seperempat abad kemudian terjadi perbaikan: jalan antara Bogor dan Cianjur dapat dilalui dengan baik oleh pedati.

Menjelang berkuasanya Daendels sudah mungkin untuk menempuh sekitar 30 pal (1 pal = kurang lebih 1,5 km) sehari di daerah Bandung.

Ini semuanya tentunya hanya berlaku pada musim kemarau, di musim hujan bahkan jalan-jalan "raya" tak bisa digunakan. Di Kandang Wesi, salah sebuah dusun di Cikajang, Jawa Barat pernah tercatat bahwa seorang pengawas dalam waktu sehari saja menewaskan dua ekor kuda tunggangan, sesudah itu berjalan kaki sampai cedera kakinya.

Kalau sekarang ini sekali-kali lalu lintas darat antara Semarang dan Surabaya terganggu oleh banjir atau tanah longsor, dalam tahun 1805 di musim hujan perhubungan darat hampir terhenti sama sekali.

Sepucuk surat yang dikirimkan dalam tahun 1775 dimusim penghujan dari Semarang ke Betawi, memakan waktu rata-rata 12 hari, sedangkan dalam musim kering pos kilat dapat mencapainya dalam lima hari.

Pesanggrahan – pesanggrahan di sepanjang jalan ke Bogor dan Cipanas lebih jauh lagi ke pedalaman baru ada sejak menjelang pemerintahan Daendels.

Gubernur Jenderal yang berpangkat Marsekal ini menyadari bahwa jalan-jalan yang baik vital bagi pertahanan di samping pemantapan kekuasaan kolonial. Namanya dihubungkan dengan pembuatan Jalan Raya Pos yang membentang sepanjang pulau Jawa dari Anyer ke Panarukan.

Tetapi tidak benar bahwa dialah yang membangunnya, karena bagian-bagian jalan raya yang cukup panjang telah ada sebelumnya.

Ada bagian-bagian tertentu yang sudah ada sebelum Belanda pertama menginjakkan kakinya di bumi Indonesia. Jalan dari daerah Bogor ke jurusan Cirebon sejalan dengan jalan raya pos Daendels dan beberapa bagiannya sudah dalam keadaan baik sebelum si Marsekal Besi itu memulai proyeknya.

Juga jalan-jalan Kabupaten tidak terjadi karena usaha Daendels, namun ia memperbaiki dan meng"up-grade"nya sehingga memenuhi syarat dalam zamannya, terutama untuk maksud-maksud pertahanan.

Baru 1810 bisa ke Puncak naik kendaraan

Jalan ini sebagian besar dirampungkan dengan tenaga rodi di bawah pimpinan pamong praja. Pekerjaan itu selesai dalam satu musim kemarau dalam tahun 1808 setelah kesibukan panen dan pengangkutan kopi serta panen padi.

Kesulitan besar dijumpai dalam pembuatan jalan yang melewati Puncak, sehingga baru dalam tahun 1810 da pat dilewati kendaraan. Konon perbaikan jalan Puncak itu memakan korban jiwa 500 orang rakyat dari daerah Galuh.

Ternyata jalan yang dibuat oleh Daendels itu tidak banyak manfaatnya dalam pertahanan Jawa terhadap serangan Inggris.

Sebagai ironi sejarah dapat disebutkan bahwa Raffles dalam turne-turne keliling Jawa dapat memanfaatkan jalan Daendels itu dengan menempuh lebih kurang 15 pal sehari.

Raffles sendiri (1811-1816) menyuruh membangun jalan dari Barat ke Timur di dataran Karawang, sehingga memperpendek jarak antara Jakarta dan Cirebon. Jalan ini tak boleh dilewati oleh pedati, tetapi boleh oleh gerobak atau kereta yang mempunyai roda berjari-jari, karena dianggap tidak merusak jalan.

Karena banyaknya bagian-bagian yang harus dibuat dari besi, gerobak-gerobak itu masih jarang, sehingga jalan itu sepi saja.

Kadang-kadang dijumpai tiga jalan yang sejajar, yang paling buruk kondisinya ialah jalan khusus untuk pedati. Bahkan di Bandung yang dianggap cukup baik letaknya untuk pengangkutan kopi, di zaman kekuasaan Inggeris, masih ada daerah-daerah yang harus mencapai gudang penyimpanan 72 hari pulang pergi.

Demikianlah kisah-kisah dari abad lampau tentang buruknya perhubungan darat, barangkali bisa dijadikan pertimbangan bagi mereka yang menjadi kesal jika kereta apinya sangat terlambat atau jika bis atau mobil pribadinya tidak bisa meneruskan perjalanan oleh banjir (boleh juga disebut genangan) atau tanah longsor.

(Ditulis oleh Siswadhi. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Maret 1976)

Artikel Terkait