Penulis
Intisari-Online.com -Banyak orangtua beranggapan bahwa faktor utama kecerdasan seorang anak tergantung pada IQ (Intelligence Quotient).
Bahwa mereka yang sukses adalah mereka yang juara matematika di kelas, atau mereka yang juara olimpiade fisika berkali-kali.
Bukan, anak yang sukses adalah anak yang kadar EQ (Emotional Quotient) bagus. Beberapa psikolog sepakat,EQ lebih penting daripada IQ. Bagaimana dengan Anda?
Tidak seperti teman-temannya yang lain, di usianya yang ke-8, Ishaan Nandkishore belum bisa membaca, menulis, juga menghitung. Ishaan sempat tinggal kelas dan terancam mengulang tahun keduanya di sekolah dasar.
Karena persoalan ini, orang-orang sekitar menganggap dia anak bandel, malas belajar, suka bolos dari kelas, dan mengejeknya sebagai anak yang bodoh. Termasuk ayahnya.
(Baca juga:Mudah Tersinggung, 1 dari 11 Tanda Orang dengan EQ Lemah)
(Baca juga:Jenius! Bocah Laki-laki 11 Tahun Ini Dapat Skor IQ Lebih Tinggi dari Albert Einstein dan Stephen Hawking)
Tidak tahan, Ishaan lantas dipindahkan ke sekolah berasrama. Si ayah berharap, dengan pola pendidikan yang ketat nan disiplin ala pendidikan asrama, Ishaan bisa lebih giat belajar.
Ia kepengin Ishaan seperti kakaknya yang selalu mendapat ranking satu di kelasnya dan kerap menjuarai kompetisi tenis yunior sekolah.
Tapi asa ayah Ishaan nyaris sia-sia, karena sekolah baru justru membuat Ishaan semakin stres alih-alih giat belajar.
Pada sebuah pelajaran kesenian, Ishaan bertemu dengan seorang guru pengganti bernama Ram Shankar.
Dan Pak Ram—begitu pak guru itu dipanggil—inilah yang tahu bahwa Ishaan tidak membaca dan menulis bukan karena malas belajar.
Sejak kecil Ishaan mengidap disleksia sehingga tidak bisa mengenali huruf-huruf, tidak bisa mengeja jarak, bahkan tidak bisa melempar bola tepat sasaran.
Ada satu hal yang tidak disadari orang-orang terdekat Ishaan: ia jago menggambar dan melukis.
Pak Ram tahu, bakat istimewa tersebut tidak akan muncul jika tidak ada dukungan dari sekitar.
Oleh sebab itu, Pak Ram membuat inisiatif menyelenggarakan lomba melukis yang melibatkan seluruh guru dan murid di sekolah tersebut. Ishaan bahagia dan bersemangat melukis dan belajar.
Potongan cerita dari filmTare Zameen Par(2007) di atas tidak hanya menyoal kepedulian terhadap penyandang disleksia, lebih dari itu, film tersebut juga menyadarkan orangtua bahwa anak tidak hanya memiliki satu kecerdasan, matematika misalnya, tapi lebih dari satu.
“Tiap orang, minimal memiliki lima kecerdasan dari delapan yang ada pada manusia,” jelas Hana Yasmira, MSI, psikolog anak dari Bunda’s Consulting.
Tapi jangan hanya perpatokan IQ, karena beberapa psikolog sepakat, EQ lebih penting daripada IQ.