Penulis
Intisari-Online.com - Ketika berlangsung Perang Korea (1950-1953), pasukan Korut melancarkan invasi dadakan ke wilayah Korsel dengan target menguasai Seoul.
Saat itu militer Korut tahu betul bahwa kekuatan pasukan yang berada di Korsel lemah.
Kekuatan militer Korsel saat itu hanya sekitar 38.000 personel yang terbagi ke dalam empat divisi.
Keempat divisi pasukan Korsel itupun berada pada posisi tersebar sehingga secara militer kekuatan pasukan Korsel tidak utuh dan rawan menghadapi serbuan lawan yang dilakukan secara kilat dan besar-besaran (blitzkrieg).
(Baca juga: Suka Seenaknya Beretorika, Trump Tak Hanya Bikin Korut ‘Ngotot’ Tapi Juga Bikin Rusia ‘Senewen’)
Kelemahan lain, pasukan Korsel juga tidak memiliki satuan tank dan artileri.
Akibatnya secara kemampuan tempur, selain tak memahami cara pengoperasian tank atau meriam artileri pasukan Korsel juga tidak mengetahui cara yang tepat untuk melumpuhkan tank.
Sewaktu pasukan tank Korut melaju dan melabrak apa saja rintangan yang dipasang, pasukan Korsel yang hanya bisa ketakutan akhirnya memilih melarikan diri.
Sebanyak 500 tenaga militer AS yang bertugas menjadi penasehat militer di Korsel juga tak bisa berbuat banyak karena tak memiliki senjata yang memadai guna menghadang pasukan Korut.
Yang lebih fatal, dan kelemahan itu diketahui betul oleh mata-mata Korut, pasukan AS yang berpangkalan di Korsel telah ditarik ke Jepang atau AS satu tahun sebelumnya.
Ambisi Korut menyerbu Korsel adalah menyatukan Korea sebagai negara komunis dan langkah itu didukung oleh Uni Soviet dengan menyuplai senjata-senjata paling mutakhir di era itu.
Serbuan blitzkrieg Korut diujungtombaki oleh 150 unit tank T-34 milik 105th Armored Brigade.
Taktik serbuan tank Korut itu mirip dengan taktik tempur kilat tank-tank Nazi Jerman saat menggulung Polandia, Eropa Barat, dan Perancis.
(Baca juga: Saat AS Sibuk dengan Ancaman Serangan Nuklir Korut, Rusia Tengah Sibuk Ujicoba Rudal Balistik ‘Setan’)
Armada tank T-34 merupakan tank tangguh yang mampu menghadapi gempuran tank-tank Tiger Jerman ketika melabrak Moskow pada masa PD II.
Saat itu tank-tank seberat 35 ton dan berlapis baja yang sudah terbukti ketangguhan itu terus melaju menuju Seoul tanpa terbendung.
Di belakang pasukan tank yang tak terkalahkan menyusul pasukan infanteri Korut, 3nd dan 4th Division, 2nd dan 7th Infantry Division, 5th Infantry Division, satu resimen pasukan bermotor, dan 30 unit tank T-34 yang berfungsi sebagai pendukung serangan.
Korut juga melancarkan serbuan lewat laut sehingga hanya dalam waktu dua hari, Seoul yang sudah ditinggalkan pasukan Korsel dan AS dengan mudah berhasil dikuasai oleh pasukan Korut.
Sisa-sisa pasukan Korsel dan AS lalu bertahan di Pusan sambil menunggu bantuan pasukan AS dan PBB.
AS yang paling semangat untuk membantu Korsel pada saat itu (1950) justru mengalami masalah pada sumber daya militernya.
Pasca PD II, sebanyak 11 juta personel militer yang semula bertempur saat itu sudah menjadi warga sipil lagi.
Angkatan Darat AS waktu itu hanya memiliki 10 Divisi pasukan aktif dan 11 resimen pasukan yang bermarkas diberbagai kawasan Eropa.
(Baca juga: Diandalkan untuk Lawan AS, Tentara Wanita Korut Malah Mendapat Pelecehan Seksual Dalam Latihan Serba Brutal)
(Baca juga: Ancaman Serangan Nuklir Korut Masih Membayangi, Trump Kini ‘Diserang’ Janda Pasukan Baret Hijau)
Empat divisi pasukan darat AS lainnya berada di Jepang di bawah komando US Eight Army dan sebenarnya dikomandani oleh jenderal yang terkenal aktif dan beringas, Mayjen Walton Walker.
Tapi karena bertugas pada masa damai, 4 divisi pasukan AS di Jepang berada dalam kondisi “lemah” dan jumlahnya kurang maksimal.
Kesiapan tempur tiga divisi yang ada, yakni 24th, 7th, dan 1st Cavalry bahkan hanya 66%.
Hanya ada satu divisi yang anggotanya lengkap, 13.000 personel, dan siap tempur, 25th Division.
Namun semua divisi punya persoalan yang sama, kurang dukungan senjata berat berupa tank dan meriam artileri.
Kendati kondisi pasukan 8th Army kurang maksimal mereka tetap diperintahkan bergerak ke Korea pada tanggal 30 Juni dengan menumpang enam pesawat transpor, C-54.
Pasukan AS yang kemudian mendarat di Pusan itu lalu menuju Taejon dan bergabung dengan pasukan AS-Korsel yang dipimpin Jenderal Church dan bersiap menghadapi gempuran Korut.
Kendati hanya mengandalkan enam unit Howitzer, senjata personel M-1 Garand, roket Bazooka 2.36 inci, pasukan AS-Korsel berusaha keras menghadang tank-tank T-34 Korut dan mempertahankan Perimeter Pusan.
(Baca juga: Layaknya Seorang Koboi, Korut Bikin AS Tak Berdaya karena 'Ditodong' Dua Senjata Sekaligus)
(Baca juga: Kabarnya, Meriam Raksasa Korut Ini Sanggup Menghantam Korsel dari Perbatasan)
Banyak sekali pasukan AS yang tewas dalam upaya menghadang gempuran Korut.
Korban luka dan sekarat bahkan ditinggalkan oleh satuan dan kemudian menjadi tawanan Korut.
Jika dikalkulasi, pasukan AS yang dikirim dari Jepang itu, satu batalyon rata-rata kehilangan dua pertiga anggotanya.
Hingga saat ini militer Korut yang memiliki jutaan personel pasukan dan persenjataan nuklir selalu merasa lebih kuat serta superior dibandingkan kekuatan militer Korsel dan AS.
Dengan perasaan superior seperti itu maka tidak aneh jika Korut sering secara tak terduga kerap menyerang wilayah terdepan Korut dan telah beberapa kali meluncurkan rudal balistik hinggga melintasi wilayah udara Jepang.
Apalagi tindakan provoktif Korut itu cenderung didukung oleh Rusia mengingat AS dan Rusia hingga saat ini sebenarnya masih merupakan musuh bebuyutan.
Maka bisa ditebak pula jika Korut bisa tiba-tiba meyerang Korsel, itu sebenarnya merupakan sejarah yang terulang.
Selain karena secara militer Korut merasa lebih kuat, Perang Korea hingga saat ini secara teknis masih berlangsung mengingat hanya berakhir dengan gencatan senjata dan bukan melalui penandatangan perjanjian damai.