Penulis
Intisari-Online.com- Dalam buku sejarah kita masih ingat soal Jong Ambon, Jong Java, Jong Sumatra, Jong Celebes.
Ya, sifat anak muda di zaman kapan pun suka berkumpul.
Hanya beda cara dan isi pembicaraan saat kumpul-kumpul itu. Dulu ramai saling berkata-kata, kini (mungkin) diam saling senyum simpul sendiri menatap layar ponsel.
Usia mereka masih belia. Masuk 20-an. Bahkan ada yang masih di bawah 18 tahun. Latar belakang mereka berbeda-beda.
(Baca juga: Sumpah Pemuda: Pemuda-pemudi Inspiratif Indonesia)
Mereka mengobrol bisa dalam bahasa Belanda karena mengenyam pendidikan Belanda, bahasa daerah masing-masing, atau bahasa Melayu - bahasa pergaulan masa itu.
Dipicu oleh gerakan yang dilakukan oleh mahasiswa Indonesia di Belanda - antara lain Muhammad Hatta - yang menelurkan Manifesto Politik pada 1925, para pemuda di Hindia Belanda pun mulai berbicara soal kemerdekaan, persamaan, dan persaudaraan di antara sesama warga jajahan.
Sekat-sekat kedaerahan mulai dikikis
Tanggal 30 April – 2 Mei 1926 diadakan Kongres I Pemuda Indonesia di Jakarta. Beberapa kali pidato tentang pentingnya Indonesia bersatu bergaung di sini.
Disampaikan pula tentang upaya-upaya memperkuat rasa persatuan yang harus tumbuh di atas kepentingan golongan, bahasa, dan agama.
Selanjutnya, dibicarakan juga tentang kemungkinan bahasa dan kesusastraan Indonesia kelak di kemudian hari.
Kongres pertama ini belum melahirkan sebuah ikrar bersama. Namun para pemuda masa itu mulai tak sungkan untuk melakukan kegiatan bersama.
(Baca juga: Memperingati Sumpah Pemuda: Yosep Anggi Noen dan Film-film Garapannya yang Mendunia)
Dua tahun kemudian, dilaksanakanlah Kongres II Pemuda Indonesia, pada 27 dan 28 Oktober 1928. Persidangan yang dilaksanakan sebanyak tiga kali diantaranya membahas persatuan dan kebangsaan Indonesia, pendidikan, serta pergerakan kepanduan. Dari sini lahirlah Sumpah Pemuda.
Ada lima kisah unik di balik Sumpah Pemuda yang dirangkum dari berbagai sumber.
1. Main biola melepas penat belajar
DalamBuku Panduan Museum Sumpah Pemuda, gedung Kramat 106 menjadi tempat tinggal pelajar yang tergabung dalam Jong Java sejak 1925.
“Mereka kebanyakan pelajar Sekolah Pendidikan Dokter Hindia alias Stovia,” seperti dikutip artikelJejak Samar Bapak Kos Dokter Politik dari Timurdi majalahTempo, 2 November 2008.
Tercatat Muhammad Yamin, Aboe Hanifah, Amir Sjarifuddin, A.K. Gani, Mohammad Tamzil, atau Assaat dt Moeda, pernah tinggal di sana.
Para pelajar menyewa gedung itu dengan tarif 12,5 gulden per orang setiap bulan, atau setara dengan 40 liter beras waktu itu. Mereka memiliki pekerja yang mengurus rumah yang dikenal dengan nama Bang Salim.
(Baca juga: Takut Mati Gara-gara Sumpah Pemuda)
Setiap malam para mahasiswa ini berdiskusi soal berbagai hal sampai larut malam.
Jika sudah capai, mereka akan patungan duit untuk mencari kopi plus sate atau mencari soto ke Pasar Senen yang tak jauh dari kos-kosan mereka. Obrolan pun berubah, ke hal-hal yang ringan.
"Lebih mendekati soal-soal yang biasanya dekat ke hati pemuda," kata Abu Hanifah, seorang pelaku Sumpah Pemuda (majalah Prisma 1977).
Jika ada ujian, tentu diskusi dan perdebatan terhenti dulu. Semua masuk kamar dan belajar. Nah, untuk mendinginkan pikiran, selepas tengah malam mulai terdengar bunyi-bunyian.
Amir Sjarifudin mulai menggesek biolanya, memainkan gubahan Schubert atau sonata yang sentimentil. Begitu juga Abu Hanifah mengambil biola, memainkan lagu yang sama. Suara biola bersahut-sahutan.
Tentu tak semua bisa begitu. Muhammad Yamin yang sedang diburu-buru Balai Pustaka untuk menterjemahkan Rabindranat Tagore merasa terganggu.
Ia pun berteriak meminta Amir dan Abu diam. Eh, bukannya diam, Amir dan Abu malah makin asyik menggesek biola. Yamin semakin berteriak-teriak. Amir dan Abu ketawa terbahak-bahak.
(Baca juga: Sumpah Pemuda; Kepicikan Penjara Budaya yang Membuat Kita Hanya Tahu Kebenaran Menurut Diri Sendiri)
2. Trik pemuda mengakali polisi Belanda
Sabtu, 27 Oktober 1928. Jarum jam menunjukkan pukul 19.45 ketika Soegondo Djojopoespito yang didapuk menjadi ketua kongres membuka Kongres Pemuda II. Soegondo pemimpin rapat yang tangkas dan banyak akal.
Perlu diketahui, yang ikut rapat bukan cuma para pemuda, tapi juga diawasi langsung polisi Belanda. Pada satu kesempatan, polisi Belanda protes karena peserta rapat menggunakan kata merdeka, hal yang dilarang ketika itu.
Soegondo kemudian berkata, Jangan gunakan kata kemerdekaan, sebab rapat malam ini bukan rapat politik dan harap tahu sama saja. Hal itu disambut tepuk tangan riuh dan tawa hadirin.
Memang ada-ada saja trik kaum pergerakan kala itu mengakali polisi Belanda.
S.K. Trimurti, salah satu tokoh pergerakan masa itu menulis sebuah cerita unik di bukuBunga Rampai Soempah Pemoeda(Balai Pusatka, 1978).
Tulisnya, ada trik khusus agar rapat organisasi pemuda yang dianggap radikal oleh Belanda tidak dibubarkan paksa polisi.
Suatu ketika, para pemuda hampir ditangkap polisi karena menggelar rapat, tapi akhirnya lolos. Kok bisa?
Jadi, ketika polisi hendak menggrebek, para peserta rapat berganti sikap. Rapat yang serius berganti jadi acara tari-menari dansa-dansi. Musiknya, cukup pakai mulut saja menirukan suara gamelan.
(Baca juga: Biola WR Supratman, Ikon Museum Sumpah Pemuda)
3. Lagu Indonesia Raya tanpa syair
Sumpah Pemuda juga identik dengan lagu Indonesia Raya.
Untuk pertama kali, lagu yang kemudian menjadi lagu kebangsaan RI itu diperdengarkan di Kongres Pemuda ke-2. Namun, tanpa syair.
Mengapa?
Tentu masih ada kaitannya dengan larangan polisi Belanda untuk menyebut kata merdeka dalam rapat.
Waktu itu, menjelang penutupan rapat pada Minggu, 28 Oktober 1928, seorang pemuda langsing bernama W.R. Soepratman menenteng biola mendekati pemimpin rapat Soegondo menyerahkan secarik kertas berisi syair lagu yang digubahnya.
Menangkap judul "Indonesia Raya" dan begitu banyak kata merdeka dan Indonesia di situ, Soegondo langsung melirik polisi Belanda yang tekun mengawasi kongres.
Soegondo khawatir rapat bisa dibubarkan paksa bila lagu itu diperdengarkan lengkap dengan syairnya.
Akhirnya Soegondo membolehkan Soepratman memainkan lagunya tapi tanpa syair. Musik itu berakhir dengan tepuk tangan panjang.
4. Misteri cinta W.R. Soepratman
Musisi dan cinta seharusnya berkait erat. Tapi tidak bagi W.R. Soepratman. Ia meninggalkan misteri seputar kehidupan cintanya.
Soepratman dikenal sebagai wartawan yang suka bermain musik dan kongko-kongko dengan para pemuda di markas Perhimpunan Pemuda Pelajar Indonesia di Kramat Raya 106.
Ia mengenal musik sejak usia 11 tahun. Pada 1938, ia pernah dibui Belanda. Usai dibebaskan, Soepratman sakit-sakitan.
Dalam kondisi kian hari kian parah, ia ditemani Kasan Sengari, iparnya, dan Imam Supardi, Pemimpin RedaksiPenyebar Semangat. Kepada Imam, Soepratman curhat bahwa hidupnya tidak bahagia karena percintaan.
Soepratman memang tidak menikah. Tapi Imam tidak menanyakan lebih lanjut, khawatir karibnya makin sedih.
Dalam catatan Kusbini, karib sesama komponis, Soepratman kerap datang ke warung Asih di Kapasari atau warung Djurasim di Bubutan, Surabaya, untuk menghibur diri membunuh sepi. Namun di warung itu pun ia cuma melamun ditemani kue dan secangkir kopi.
W.R. Soeprratman menutup rahasia hidupnya dalam Taman Asmara, tulis Kusbini suatu kali. Taman Asmara adalah istilah Kusbini untuk patah hati sahabatnya.
Sayang hingga akhir hayatnya, Soepratman meninggal tengah malam 17 Agustus 1938, persoalan cinta itu tetap jadi teka-teki hingga sekarang.
5. Naskah Sumpah Pemuda ditulis satu orang
Rumusan Sumpah Pemuda itu ditulis Muhammad Yamin sendirian di sebuah kertas.
Saat itu, Mr. Sunario, sebagai utusan kepanduan tengah berpidato di sesi terakhir kongres.
Sebagai sekretaris, Yamin yang duduk di sebelah kiri ketua menyodorkan secarik kertas pada Soegondo sembari berbisik,"Ik heb een eleganter formulering voor de resolutie" (Saya mempunyai suatu formulasi yang lebih elegan untuk keputusan Kongres ini).
Soegondo lalu membaca usulan resolusi itu, memandang Yamin. Yamin tersenyum. Spontan Soegondo membubuhkan paraf setuju.
Soegondo lalu meneruskan kertas ke Amir Sjarifudin. Dengan muka bertanya-tanya, Amir menatap Soegondo. Soegondo membalas dengan anggukan.
Amir pun memberi paraf setuju. Begitu seterusnya sampai seluruh utusan organisasi pemuda menyatakan setuju.
Sumpah itu berbunyi:
Pertama: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe bertoempah darah jang satoe, tanah Indonesia. Kedoea: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mengakoe berbangsa jang satoe, bangsa Indonesia. Ketiga: Kami poetera dan poeteri Indonesia, mendjoendjoeng bahasa persatoean, bahasa Indonesia.
Sumpah itu awalnya dibacakan oleh Soegondo dan kemudian dijelaskan panjang lebar oleh Yamin. Setelah disahkan, ikrar pemuda itu jadi tonggak bersatunya bangsa Indonesia.
(Agus Surono)