Penulis
Intisari-Online.com - Central Intelligence Agency (CIA) merupakan badan Intelijen pemerintah AS yang dioperasikan oleh orang-orang sipil yang memiliki berbagai keterampilan.
Salah satunya adalah keterampilan bertarung dan menggunakan senjata serta bertempur ala anggota militer.
Kendati SDM-nya bukan militer, CIA pada awal berdirinya merupakan organisasi yang terdiri dari anggota militer.
Cikal bakal berdirinya CIA adalah terbentuknya unit intelijen Office of Strategic Services (OSS) yang sudah terbukti sukses selama PD II.
Pada saat itu OSS, merupakan unit pendukung dan salah satu cabang dari militer AS. CIA secara resmi dibentuk pada 18 September 1947 dengan penandatanganan antara Badan Keamanan AS, NSA (National Security Act), yang dilakukan presiden AS Harry S. Truman.
Direktur CIA pertama dipercayakan kepada tokoh militer Letjen Hoyt S Vandenberg.
Selama Perang Dingin berlangsung tugas agen CIA lebih banyak difokuskan pada kegiatan kontra intelijen dengan sasaran beragam target seperti persenjataan nuklir, teknologi pesawat, dan lainnya.
Pada masa Perang Dingn ini, CIA mendapatkan rival yang tangguh dari agen rahasia Uni Soviet (Rusia), KGB.
Pasca Perang Dingin kegiatan CIA kemudian diarahkan kepada penanggulangan peredaran narkoba, perdagangan senjata gelap, dan terorisme, khususnya saat AS mendapat serangan teror pada 11 September 2001 yang meruntuhkan menara kembar World Trade Center.
Operasi CIA berlangsung hampir di seluruh penjuru dunia, sehingga setiap negara yang sedang mengalami konflik politik biasanya mencurigai adanya unsur-unsur CIA dibalik konflik yang sedang berkobar itu.
Semasa pemerintahan Presiden Soekarno, Soeharto, dan peristiwa G30S/PKI yang pernah terjadi di Indonesia, CIA sesuai dokumen yang dirilis Oleh NSA baru-baru ini (10/2017) terbukti ada di balik peristiwa yang sangat bersejarah itu.
Modus operasi CIA jika akan mengguncang pemerintahan negara lain memang sudah menjadi rahasia umum. Biasanya tim CIA dikirim untuk mempengaruhi dan melatih gerakan bawah tanah atau klandestin untuk dijadikan sekutu.
Kemudian kekuatan yang juga diberi senjata dan dana itu digunakan untuk menumbangkan pemerintah yang sah.
Kadang terjadi gesekan antara operasi CIA dan pasukan khusus AS di belakang garis pertahanan musuh karena dua kekuatan istimewa itu memang wajib merahasiakan operasi masing-masing.
Pada perkembangan terkini, CIA yang bermarkas di Langley, Virginia, AS dan memiliki 20.000 anggota, tugasnya tetap sama.
Yakni operasi mengumpulkan dan menganalisis data pemerintah atau negara lain yang sedang diincar AS, menyelidiki korporasi asing, dan individu.
Struktur organisasi CIA terdiri dari Markas Besar atau Kantor Para Pejabat Eksekutif, National Intelligence Estimates, Direktorat Intelijen, Dinas Klandestin Nasional, dan Direktorat Pendukung.
Hasil semua operasi intelijen kemudian menjadi masukan bagi kebijakan publik yang akan diambil pemerintah atau militer AS. Ketika perang melawan terorisme mulai dikobarkan AS pada 2004, CIA pun mengalami perkembangan dan kemudian berdiri Director of National Intelligence (DNI).
DNI yang juga merupakan lembaga pengganti NSA itu tugasnya antara lain mengkoordinasi, mengevaluasi, mengkorelasi, dan mengirim agen CIA ke berbagai sasaran.
Hasil dari semua kegiatan yang dilaksanakan DNI dan merupakan informasi terkini itu lalu disampaikan langsung kepada Presiden AS yang selanjutnya memutuskan langkah apa yang harus segera dilaksanakan.
Dari latar belakang sejarahnya peran CIA makin menonjol ketika PDII berakhir.
Pasca PD II (1945) pasukan Uni Soviet dan Sekutu yang sukses menghancurkan Nazi Jerman saling merayakan kemenangan secara bersama bak dua sahabat karib.
Tapi hubungan persahabatan itu mendadak buyar ketika kedua negara, Uni Soviet yang kemudian membentuk kekuatan Blok Timur dan AS serta sekutunya yang membentuk Blok Barat, mulai terlibat perang ideologi antara komunis dan kapitalis.
Perang Dingin yang diwarnai oleh perlombaan senjata pemusnah massal (nuklir) dan rebutan pengaruh di kawasan Asia dan Eropa pun mulai menciptakan peperangan baru.
Perseteruan berdarah antara Blok Barat dan Blok Timur tidak hanya melibatkan bentrokan bersenjata antara militer seperti yang berkecamuk di Perang Korea, Perang Vietnam, konflik Jerman Barat dan Timur, dan lainnya tapi juga pertarungan antara dunia intelijen khususnya KGB vs CIA.
Pihak AS yang saat itu keteteran di medan perang Vietnam juga mulai mengkhawatirkan perkembangan politik di Indonesia karena pemerintahannya yang dipimpin oleh Presiden Soekarno tampak lebih condong ke pihak komunis Rusia (Blok Timur).
Kekhawatiran pemerintah AS cukup beralasan karena pada hasil pemilu tahun 1955 yang berlangsung di Indonesia menunjukkan bahwa kekuatan Partai Komunis Indonsia (PKI) cukup besar (16,4%), sementara Partai Nasional Indonesia (PNI) mendapat suara 22,3%, Majelis Syuro Moeslimin Indonesia (Masjoemi ) 20,9 %, dan Nahdhlatoel Oelama (NO) 18,4%.
Secara politis kekuatan yang dimiliki oleh PKI itu menurut penilaian intelijen AS akan sangat berbahaya bagi perkembangan ideologi komunis di Asia Tenggara.
Apalagi dalam perkembangan berikutnya, pandangan politik Presiden Soekarno makin menunjukkan sikap anti Amerika dan lebih condong mengakrabi Uni Soviet.
Sikap anti Amerika Presiden Soekarno rupanya sengaja ditunjukkan karena AS jelas-jelas mau memanfaatkan Indonesia sebagai bemper bagi pengaruh komunis dari Soviet dan China.
Presiden Soekarno yang sangat nasionalis memang akan cepat marah jika kedaulatan negara yang dipimpinnya diinjak-injak negara lain.
Untuk mencegah wilayah Indonesia jatuh ke tangan komunis, pemerintah AS yang saat itu dipimpin oleh Presiden Dwight Eisenhower langsung menerapkan strategi intelijen keras.
Unsur kekuatan yang diturunkan untuk melancarkan aksi ‘’perang melawan komunis’’ di Indonesia melibatkan para agen rahasia CIA dan secara diam-diam didukung oleh militer AS.
Pengerahan kekuatan militer AS yang dalam kondisi siap tempur dan digelar di kawasan Pasifik, Singapura, dan Philipina itu jelas menunjukkan bahwa militer AS juga siap menginvasi kawasan Indonesia jika waktunya telah tiba.
Target operasi rahasia CIA saat itu ada dua macam, pertama membunuh Presiden Soekarno dan kedua menciptakan instabilitas dengan cara memperalat serta mempersenjatai unsur-unsur kekuatan di berbagai daerah yang akan melancarkan pemberontakan.
Salah satu aksi pemberontakan yang terjadi di Indonesia dan didalangi oleh CIA adalah PRRI/Permesta (1948) yang tujuannya untuk menggulingkan pemerintah RI di bawah pimpinan Presiden Soekarno.
Tapi upaya CIA untuk mendalangi pemberontakan yang telah menciptakan peperanga besar itu gagal bahkan seorang agen CIA, Allan Pope berhasil ditangkap oleh militer Indonesia.
Namun upaya CIA untuk menggulingkan Presiden Soekarno menemukan momennya ketika di Indonesia meletus G30S/PKI, karena CIA bersama militer Indonesia saling bekerja sama menggulingkan Soekarno sekaligus menumpas anggota PKI.
Keterlibatan CIA dalam aksi G30S/PKI yang memicu pembunuhan massal itu secara gamblang diakui oleh sendiri CIA melalui sejumlah dokumen kabel diplomatik Amerika soal tragedi 1965.
Dokumen itu dibuka ke publik oleh tiga lembaga Amerika, itu menguak sejumlah surat dari dan ke Amerika Serikat terkait pembunuhan massal pasca 1965.
Ketiga lembaga itu selain NSA juga National Declassification Center (NDC), keduanya lembaga nirlaba, dan lembaga negara National Archives and Records Administration (NARA).
Dokumen yang dibuka adalah 39 dokumen setebal 30.000 halaman yang merupakan catatan Kedutaan Besar Amerika untuk Indonesia sejak 1964 hingga 1968.
Isinya antara lain seputar ketegangan antara militer dengan PKI, termasuk efek selanjutnya berupa pembantaian massal.
Pembantaian massal terhadap warga Indonesia yang dituduh PKI ternyata direstui oleh CIA yang juga telah memberikan izin membunuh (License to a kill) kepada militer Indonesia.