Advertorial

Meski Marah dan Jengkel, Bung Karno Akhirnya Memang Harus Mengalah kepada Soeharto

Moh Habib Asyhad

Editor

Intisari-Online.com --Pada 1 Oktober 1965, ketika di Jakarta sedang dalam kondisi mencekam terkait aksi G30S, sekitar pukul 09.00 WIB, para pengawal membawa Bung Karno ke Lanud Halim Perdanakusuma Jakarta Timur.

Para pengawal itu terdiri atas sejumlah personel Cakrabirawa berpakaian preman di bawah pimpinan Kolonel Malwi Saelan dan sejumlah polisi anggota Datasemen Kawal Pribadi (DKP) di bawah pimpinan Kompol Mangil.

(Baca juga:Meski Suka Bertindak di Luar Komando, Soeharto Sesungguhnya Jenderal yang Sangat Dipercaya Bung Karno)

Tujuan pergi ke Lanud Halim, selain demi keselamatan Bung Karno, juga merupakan prosedur penyelamatan standar karena dari Lanud Halim Bung Karno bisa terbang ke mana saja menggunakan pesawat kepresidenan Jet Star.

Bung Karno tiba di gedung markas Komando Operasi (Koops) tidak sendirian, ada Jaksa Agung Muda Sunario, Brigadir Polisi EW Lasut Zulkifli Ibrahim, dan para staf lainnya.

Di dalam gedungKoops, Bung karno kemudian ditemui oleh KASAU Marsekal Oemar Dhani dan Komodor Leo Watimena.

Tujuan utama Bung Karno sebenarnya ingin mengetahui kejadian apa yang sedang berlangsung di Jakarta pada 1 Oktober 1965 dan melakukan koordinasi.

Tapi dari sejumlah penjelasan yang diberikan Oemar Dani dan sejumlah komandan pasukan yang datang menyusul, termasuk para komandan pasukan TNI AD yang sedang mengepung Istana Negara, Bung Karno merasa belum mendapatkan penjelasan yang memuaskan.

Demi mendapatkan informasi yang akurat Bung Karno lalu memerintahkan Kombes Polisi Sumirat untuk memanggil semua Panglima Angkatan.

Sumirat pun pergi keluar Halim dengan mengendarai jip yang dipinjamkan oleh Mangil.

Sekitar pukul 11.30 WIb sambil menunggu informasi, Bung Karno beristirahat di rumah Komodor Susanto yang merupakan pilot pesawat kepresidenan.

Tidak berapa lama kemudian datang Sumirat, melaporkan bahwa semua Panglima Angkatan sudah dihubungi dan menyatakan siap menghadap Bung Karno kecuali Pangdam V Jaya Umar Wirahadikusuma.

Saat ditemui Sumirat, Warahadikusuma sedang di markas Kostrad Jalan Merdeka Timur dan bersama Pangkostrad Mayjen Soeharto.

Soeharto ternyata melarang Wirahadikusuma menghadap Bung Karno. Waktu itu bilang, “Sampaikan kepada Bapak Presiden, mohon maaf Pangdam V Jaya tidak dapat menghadap dan karena saat ini Panglima AD (Achmad Yani) tidak ada di tempat, harap semua instruksi untuk AD disampaikan melalui saya, Panglima Kostrad.”

Ketika mendengar pelarangan Pangdam V Jaya tidak boleh menghadap Bung Karno karena atas perintah Soeharto, Bung Karno tampak tidak senang.

Meskipun secara garis komando, ketika KASAD tidak ada di tempat, Pangkostrad secara otomatis boleh mengambil alih garis komando tapi perintah Presiden sebagai Panglima Tertinggi tetap harus dipatuhi.

Para Panglima Angkatan yang hari itu hadir menghadap Bung Karno antara lain Marsekal Oemar Dhani, Laksamana Martadinata, Jenderal Sutjipto Judodihardjo, Jenderal Sutardhio, Leimena, dan Brigjen Sabur.

Ketika para Panglima Angkatan yang menghadap Bung Karno kemudian mulai membahas peristiwa yang sedang terjadi pada 1 Oktober 1945, para perwira menengah pengiring para Panglima Angkatan itu ada yang duduk-duduk di rerumputan sambil mengobrol, ada yang main catur, dan ada juga yang sibuk mendengarkan siaran RRI lewat radio transistor.

Jika diamati suasana di sekitar rumah dinas Komodor Udara Susanto malah tampak santai dan sama sekali tidak mencerminkan suasana ketegangan.

Tapi suasana betul-betul berubah tegang ketika tepat pukul 12.00 WIB dari radio transmitter yang dipinjamkan oleh Komodor Susanto terdengar pengumuman Letkol Untung, salah satu dalang dari aksi G30S, mengenai Dewan Revolusi dan pembubaran kabinet.

Itu berarti telah terjadi kudeta. Brigjen Sabur pun segera mengangkat radio transmitter itu dan membawanya ke hadapan Presiden Soekarno.

Bung Karno pun sangat terkejut dan segera menyadari telah terjadi masalah serius bagi bangsa dan negaranya.

Setelah diadakan rapat di rumah Komodor Susanto, Bung Karno memutuskan mengangkat Jenderal Pranoto Reksosamudro sebagai caretaker Menteri/Panglima AD menggantikan posisi Ahmad Yani yang belum jelas nasibnya.

Lewat pukul 17.00 WIb, ajudan Bung Karno, Kolonel Bambang Widjanarko, diperintahkan memanggil Jenderal Pranoto.

Tapi Jenderal Parnoto yang sudah berada di markas Kostrad ternyata dilarang oleh Soehatro untuk menghadap Bung Karno.

Soeharto bahkan menegaskan semua instruksi mengenai Angkatan Darat dari Bung Karno harap disampaikan kepada Soeharto.

Mendengar kaporan Bambang, Bung Karno tampak sangat kecewa dan marah sekali.

Ia menjadi bingung, pasalnya Letkol Untung baru saja mengkudeta kabinetnya dan pada saat yang sama Soeharto juga secara terang-terangan berani membangkang instruksinya.

Namun karena pasukan TNI AD mulai memasuki Halim, Bung Karno kemudian “diungsikan” ke Istana Bogor.

Tapi justru ketika berada di Istana Bogor itulah, Soeharto yang sudah memiliki segudang pengalaman tempur, secara perlahan berhasil “menaklukkan” Bung Karno.

Ia mengambil alih aksi penumpasan G30S/PKI, dan tiga tahun kemudian menggantikan posisi Bung Karno sebagai Presiden RI.

Artikel Terkait