Penulis
Intisari-Online.com – Wanita terlalu banyak omong. Begitulah keyakinan kaum pria, yang anehnya juga diterima baik oleh kaum wanita.
Tetapi tampaknya hal itu tidak terbukti.
Sebuah penelitian bahasa baru-baru ini menunjukkan bahwa justru laki-lakilah, bukannya wanita, yang tidak bisa berhenti bicara.
(Baca juga:Khusus untuk 3 Hal Ini, Anda Wajib Bawel saat Cuci Sepeda Motor)
Dale Spender, seorang ahli bahasa yang mengarang buku Man Made Language, mengambil kesimpulan di atas dari penelitiannya.
Selama ini orang menganggap laki-laki bersifat pendiam, sedangkan wanita biasa bicara panjang lebar.
Namun hasil penelitian Dale Spender menunjukkan bahwa kalau laki-laki dan wanita berkelompok, laki-lakilah yang terus berbicara.
Dale Spender mengumpulkan bahan-bahan penelitiannya dengan merekam percakapan-percakapan, kemudian hasilnya dianalisa.
Bukan saja laki-laki mengambil alih seluruh pembicaraan, menurutnya, mereka juga hampir selalu menyela!
Pria Inggris melakukan selaan sebanyak 98%. Pria di Amerika 99%. Di Swedia, yang dianggap sebagai surga bagi persamaan hal antara pria dan wanita 100% selaan dilakukan oleh kaum pria.
Tetapi mengapa orang tetap berpendirian bahwa wanita umumnya bawel, walaupun sebenarnya dia lebih banyak diam di hadapan laki-laki?
Jawabannya sederhana, kata Dale Spender: laki-laki punya pandangan bahwa wanita itu cerewet karena apa pun yang keluar dari mulut wanita selalu dianggap terlalu banyak.
Sejak zaman filsuf Yunani kuno, Aristoteles, sampai zaman essais Inggris abad 19, Ruskin, banyak orang ternama yang menyatakan bahwa wanita ideal adalah wanita yag tak berbicara sepatah kata pun.
(Baca juga:Orang Indonesia di Facebook: 60 Persen Lebih ‘Cerewet’ Dibandingkan Pengguna Lainnya di Dunia)
Cara kita berbicara ditunjukkan oleh kedudukan sosial kita, kata Dale Spender. Mereka yang punya kekuasaan dan status bisa lebih banyak bicara dan menyela.
Para atasan lebih mempunyai "hak" untuk berbicara dan menyela daripada bawahannya, guru daripada muridnya, kita pun tidak menyela kata hakim, polisi atau bahkan dokter.
Mereka yang mempunyai kekuasaan di atas kita bisa menikmati didengarkan terus tanpa dibantah.
Karena laki-laki dalam masyarakat lebih punya kekuasaan — lebih-lebih terhadap wanita — mereka bisa bicara banyak dan menyela.
Wanita yang bicara cuma sepertiga dari pria — begitu penemuan Dale Spender dalam penelitiannya — sudah dianggap agresif dan "ngeboss".
Tampaknya beberapa wanita tidak mau begitu saja menyerah pada dominasi laki-laki 'bersuara' — terutama dalam kehidupan masyarakat.
Misalnya, The United Kingdom Federation of Business and Professional Women adalah sebuah organisasi yang selama bertahun-tahun ini melatih kaum wanita untuk trampil dalam public speaking.
Kemudian ada lagi Grup 300, sebuah grup yang bertujuan agar lebih banyak wanita yang bisa menduduki kursi parlemen di Britania (nama grup ini diambil dari kira-kira separuh jumlah kursi parlemen yang ada).
Grup ini mengutamakan wanita untuk mampu berbicara di hadapan umum dengan kepercayaan pada diri sendiri.
Menurut grup ini, keengganan wanita untuk 'berbicara' merupakan salah satu sebab, mengapa mereka sedikit berkecimpung dalam kehidupan politik.
Berbicara dengan penuh keyakinan adalah syarat penting bagi seorang politikus.
Sayangnya, keengganan berbicara kaum wanita ini bukan satu-satunya masalah dalam hal ini. Masyarakat sendiri tampaknya enggan mendengarkan wanita.
Penelitian menunjukkan bahwa masyarakat Inggris tetap saja chauvinis, bahwa umum akan lebih sudi mendengar pidato seorang pria daripada pidato seorang wanita.
Sepertinya dianggap bahwa apa yang diucapkan wanita tidak selalu berharga.
(Baca juga:Soal Ocehan Tere Liye tentang Pajak Penulis yang Dianggap Tinggi, Ini Tanggapan Menkeu Sri Mulyani)
Jadi apa yang mesti dilakukan? Dale Spender tidak mendesak wanita untuk menyaingi kaum pria dalam berbicara dan menyela. Ini cuma bikin tambah ribut.
Katanya, "Saya jauh lebih suka bila saja laki-laki mau belajar mendengarkan ... seperti halnya kaum wanita.
(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Oktober 1983)