Penulis
Intisari-Online.com – Kalau di tahun 2017 ini, berarti tepat 195 tahun yang lalu.
Ketika itu korban jiwa yang dimintanya lebih besar dari sekarang. Empat ribu jiwa ditelan. Menyimak kembali lembaran-lembaran koran yang sudah lebih dari satu setengah abad tuanya itu, kita mendapat kesan betapa dahsyatnya malapetaka itu.
Tanggal 8 Oktober 1822, lepas tengah hari sekitar pukul dua, Kabupaten Sumedang di Keresidenan Priangan menjadi kancah terjadinya salah sebuah peristiwa alam yang paling mengerikan.
Tidak kurang dari 88 buah desa dan lebih dari 2.000 jiwa menjadi mangsa aliran lava penghancur segala, yang dimuntahkan tiba-tiba oleh Gunung Galunggung di batas Sumedang dan Limbangan, yang belum pernah dikenal sebagai gunung berapi.
(Baca juga:Abu Letusan Kelud Sampai Tasik, Warga Kira dari Galunggung)
Letupan serupa dengan ledakan meriam berat (waktu itu belum ada bom udara dan rudal, jadi hanya bisa dibandingkan dengan meriam saja), tiba-tiba terdengar, lalu terlihat gumpalan asap membubung dari kaki gunung.
Ini dibarengi dengan angin kuat yang menumbangkan rumah dan pohon. Setelah itu, semuanya menjadi gelap gulita.
Selanjutnya, selama tiga jam berikutnya turunlah abu panas dan aliran lahar yang dimuntahkan di daerah sekitarnya sampai radius dua puluh pal (1 pal = 1.500 m) yang melanda, membenam dan membakar rumah, pohon, manusia dan hewan.
Setelah kurang lebih tiga jam cuaca menjadi terang kembali, lalu terjadi hujan pasir dan batu-batu kecil.
Berita musibah ini baru sampai kepada residcn pada pukul sepuluh malam, yang segera berangkat meninjau daerah yang tertimpa.
Tetapi pada tanggal 14 belum juga dapat dicapai titik-titik rawan, karena sungai-sungai meluap sebab tersumbat bahan erupsi.
Di empat tempat segera didirikan rumah sakit darurat untuk menolong mereka yang lolos dari maut, tetapi cedera.
Juga dilakukan usaha membantu mereka yang mengungsi, antara lain dengan penyediaan makanan.
Pada tanggal 15, setelah mengatasi pelbagai kesulitan, residen mencapai Tasikmalaya; pada hari itu juga ia meninjau Indihiang, Ciburuy dan Leuwiwangun, tempat-tempat yang menderita penghancuran total.
Di desa-desa itu tiada satu mahluk pun yang lolos dari maut. Banyak mayat ditemukan pada jarak dekat dari rumah-rumah mereka. Suatu bukti bahwa penduduk berusaha melarikan diri, tetapi disergap oleh lahar.
Sampai tanggal 17, Kecamatan Singaparna tidak dapat dicapai. Agaknya, tempat itu tidak langsung terkena lahar karena letaknya rendah, tetapi sebab sungai-sungai tersumbat alirannya, daerah ini dilanda banjir yang tak kurang daya perusaknya.
Menurut berita-berita sementara, ada dua bukit tempat sekitar enam puluh sampai delapan puluh orang berusaha menghindari luapan air, juga terlanda banjir yang dahsyat, sehingga semua pengungsi menemui ajalnya.
Residen Priangan memuji para pegawai negeri bawahannya, para bupati dan pamongpraja lain, yang melakukan tugas mereka dengan baik sekali...Bataviasche Courant, 5 November 1822, no. 44 (disadur).
Bunuh diri di lumpur mendidih
... Setelah Residen Priangan di Tasikmalaya memerintahkan agar para pengungsi dan orang sakit yang ditempatkan di sana mendapat perawatan yang saksama, pada tanggal 18 Oktober, pejabat itu menuju ke Sungai Cikunir.
Dengan susah payah sungai itu dapat diseberangi dan setelah mengambil jalan memutar, akhirnya Singaparna dapat dicapai.
Juga di sini ia menemui kesengsaraan tiada taranya, yang diderita para korban. Ternyata kehancuran daerah ini tidak diakibatkan oleh tersumbatnya sungai seperti diberitakan sebelumnya, tetapi oleh letusan kedua yang terjadi pada tanggal 12 Oktober.
Malapetaka itu terjadi pada pukul tujuh sore dan berlangsung sampai tengah malam. Lahar lumpur mendidih bercampur dengan belerang membara melanda bagian terbesar dataran Singaparna.
Para penduduk yang masih sempat melarikan diri, menyingkir ke bukit-bukit di sekitarnya. Pada waktu itu sungai-sungai meluap dan airnya mendidih.
Sekalipun begitu, banyak yang mencoba menyeberangi untuk menyelamatkan diri, sehingga banyak pula yang tewas.
Hanya sedikit yang berhasil menyelamatkan diri ke bukit-bukit tertinggi, tetapi mereka menderita luka-luka bakar oleh percikan lumpur panas.
Salah seorang di antara orang-orang yang malang itu, setelah tidak berhasil menemukan ayah-ibu, istri dan anak-anaknya di antara mereka yang selamat, kemudian mengakhiri hidupnya dengan menceburkan diri ke dalam lumpur mendidih.
(Baca juga:Hal-hal yang Harus Dipersiapkan Sebelum Mendaki Gunung Papandayan)
Diperkirakan, letusan kedua ini telah menghancurkan lagi 24 desa, dengan meminta korban sebanyak 1.000 jiwa manusia.
Lahar itu membawa serta sejumlah besar pasir kasar dan batu, yang garis tengahnya mencapai lima sampai enam meter.
Segera setelah kedatangan residen di Singaparna, dibangun sebuah barak untuk menampung dan merawat para korban yang luka maupun sakit.
Mereka merupakan orang-orang yang terlepas dari maut waktu malapetaka dan sebagian dijemput dari pelosok-pelosok, sebagaimana diinstruksikan oleh residen....
Berita-berita tentang keadaan penderita cukup baik. Pada tanggal 27 Oktober, sudah ada 89 di antara 195 orang sakit yang sembuh dan diperbolehkan meninggalkan bangsal.
Mereka diberikan sekadar bekal untuk menyambung hidup. Hanya beberapa saja yang meninggal dalam perawatan.
Juga di Rajapola 31 dari 58 penderita dinyatakan sembuh, sisanya dalam beberapa hari lagi boleh pulang.
Pada tanggal 27, di Tasikmalaya masih ada 43 orang penderita, kebanyakan dengan luka bakar atau cedera berat, yang penyembuhannya memakan waktu agak lama …. (Bataviasche Courant, 9 November 1822, no. 45).
Kita baca pada Bataviasche Courant tanggal 23 November 1823, bahwa menurut suatu perhitungan yang dibuat sesaksama mungkin, 124 desa dihancurkan, dengan korban manusia sebanyak 5.083 orang.
Kecuali korban ternak yang mati, kerugian pada persawahan juga sangat berat. Jumlah pohon kopi yang musnah diperkirakan meliputi 1.668.000 batang.
Residen Priangan melapor kepada Gubernur Jenderal
Cianjur, 6 Februari 1823.
Saya mendapat kehormatan beberapa kali untuk menyampaikan laporan kepada Yang Mulia mengenai akibat-akibat menyedihkan daripada letusan Gunung Galunggung di Kabupaten Sumedang, pada tanggal 8 dan 12 Oktober tahun lalu.
(Baca juga:Memanen Rempah di Sejuknya Udara Kaki Gunung Rinjani)
Tujuan laporan-laporan itu ialah, agar Yang Mulia mengetahui tentang tindakan-tindakan saya dan memberikan keyakinan bahwa tak ada kelalaian di pihak saya sedapat mungkiri menolong atau mengurangi penderitaan penduduk yang tertimpa kemalangan.
(Berikut ini disarikan dari laporan residen yang panjang lebar dan terperinci itu):
Di tempat ini, kini terdapat jurang kawah, yang sebelum tahun 1822 merupakan sebuah lembah, seperti daerah-daerah tinggi lainnya, ditumbuhi hutan.
Sejak dahulu, penduduk daerah ini terbiasa dengan suara-suara di bawah tanah yang sekali-sekali terdengar.
Yang terhebat terdengar bersamaan dengan meletusnya Gunung Guntur (1815/16) yang jaraknya hanya 25 menit berjalan kaki.
Di antara sungai-sungai kecil yang bersumber di jurang Gunung Galunggung, terdapat Cikunir, yang bermuara di Sungai Ciloseh.
Dataran-dataran yang subur melingkungi kaki gunung sebelah timur dan selatan.
Dalam bulan Juli 1822, air Sungai Cikunir berubah menjadi keruh keputih-putihan, bila didiamkan terlihat endapan putih, terasa pahit dan berbau belerang.
(Menurut pengamat alam terkenal F. Junghuhn, ini disebabkan oleh makin kuatnya uap asam belerang di daerah pegunungan yang dialiri sungai itu; air sungai mungkin mengandung tanah liat berasam belerang). Setelah lewat beberapa waktu, air menjadi jernih kembali.
Di tempat yang lebih tinggi, ke hilir, air sungai terasa lebih hangat daripada biasa.
Pada tanggal 8 Oktober, sekitar setengah dua siang, tiba-tiba terdengar dentuman kuat yang menggetarkan bumi — suatu letusan yang terdengar di seluruh Pulau Jawa.
Dari Gunung Galunggung terlihat gumpalan asap raksasa yang membubung ke angkasa dengan sangat pesat.
Gumpalan asap itu makin melebar, menutupi cahaya matahari, sehingga keadaan menjadi kelam kabut.
(Baca juga:Menggali Tenggelamnya Atlantis: Kunci Jawaban di Gunung Krakatau dan Teori Waktu yang Bertentangan)
Letusan-letusan susul-menyusul. Lahar yang dimuntahkan gunung dilontarkan tinggi-tinggi ke udara, lalu jatuh di tempat yang cukup jauh dari kawah gunung, bahkan ke seberang Citanduy, sampai ke desa-desa, yang jika diukur dengan garis lurus letaknya 10 pal (15 km) dari kawah.
Sungai Cikunir, Ciloseh, Ciwulan, dan Citanduy meluap menjadi aliran lahar besar yang menyeret dan mendorong rumah-rumah lengkap dengan penghuninya.
Penduduk Tasikmalaya dan Cidoyang melihat rumah-rumah lengkap dihanyutkan, yang di dalamnya masih ada penghuninya yang hidup, tetapi mereka tak mungkin menolong.
Lahar kelabu kebiru-biruan
Daerah pertanian sekitar Galunggung sampai sejauh 9 km, terutama di sebelah timurnya, tertutup lahar berwarna kelabu kebiru-biruan: desa-desa, hutan bambu, kelompok-kelompok pohon, kebun-kebun, pendeknya segala apa yang ada di daerah itu lenyap tertelan, sehingga tak ada yang tampak lagi, kecuali permukaan lumpur.
Di dekaf Cikunir di Singaparna, Residen Van der Capellen mengukur ketebalan lumpur lahar pada tanggal 17 Oktober yang mencapai ketinggian 20 m lebih.
Hutan-hutan di pegunungan hanya tinggal batang-batangnya yang setengah hangus. Tetapi beberapa kampung di dekat kawah terluput dari bahaya, meskipun lahar terlontar melewati tempat-tempat itu.
Seorang laki-laki yang akan melarikan diri tertimpa oleh pucuk pohon kelapa yang roboh, tetapi malah- tertolong, sebab lahar yang mula-mula tidak begitu cair dan panas melampaui tempat berlindungnya.
Angin topan kuat menumbangkan pohon serta rumah yang berlangsung selama kurang lebih satu jam.
Pada pukul 3.00 petang, sisi barat dan selatan gunung, yang letaknya sejauh 27 km dari gunung berapi itu, dilanda hujan abu dan lahar dingin yang menimbulkan kerusakan parah.
Sedang di dekat kawah, jatuh hujan pasir kemerahan dan serbuk batu. Menjelang pukul 4.00 sore gejala-gejala makin berkurang dan pada pukul 5.00 semuanya menjadi sunyi senyap dan cuaca terang kembali.
Air bah menyapu sisanya
Esok harinya, tanggal 9 Oktober, turun hujan yang tak henti-hentinya, sungai-sungai di pegunungan meluap.
Air bah meluncur dengan gemuruh ke bawah; apa yang tak terkena lahar kini terancam ditenggelamkan banjir.
Pada hari itu penduduk pelbagai kampung yang tak terkena lahar menaiki bukit-bukit kecil yang terdapat di dataran Galunggung.
Di daerah Singaparna, beberapa di antara bukit ini merupakan pemakaman, terutama Gunung Mayapada dan Gunung Gong.
Penduduk yang mengungsi itu mengira, bahwa mereka aman di bukit-bukit itu bersama makam nenek moyangnya. Di Gunung Mayapada terdapat dua ratus orang yang menyingkir dan di Gunung Gong konon jumlahnya lebih dari itu.
Pada tanggal 12 malam, hujan makin lebat, air sungai makin meluap, sehingga semua jembatan tersapu bersih, yang membuat kepanikan makin menjadi, karena jalan ke pelbagai desa terputus.
Pukul tujuh petang keesokan harinya terjadi lagi letusan, disertai dengan getaran hebat, disusul lagi dengan dua getaran ringan.
Semalam-malaman terdengar suara gemuruh air yang mengancam dengan bencana baru, sehingga mencekam para pengungsi.
Di malam yang gelap pekat itu, deru topan, gemuruh gelombang air yang melanda dan runtuhnya batu-batuan, mengatasi jerit tangis para pengungsi yang mencari perlindungan terakhir di bukit-bukit tempat bersemayam tulang-belulang nenek moyang mereka.
Terutama pada malam antara tanggal 12 dan 13 Oktober, makin banyak gumpalan batu gunung dialirkan bercampur lumpur dan air; banjir lumpur dan batu ini demikian tingginya, sehingga beberapa gunung seperti Gunung Mayapada, Gong dan lainnya diluapi lumpur yang tumpah ruah, dibenamkan, bahkan terseret.
Hampir tiada sesuatu yang lolos. Hanya sedikit yang kebetulan ada di tepi aliran banjir, terserempet lalu menyangkut di pohon atau di antara batu-batu.
Atau mereka yang kebetulan menyingkir ke bukit yang besar dan tinggi hanya terkurung oleh genangan lumpur.
Mereka ini ditemukan beberapa hari kemudian dalam keadaan payah dan kelaparan.
Lahar dingin ini mengubah aliran Sungai Ciwulan dan Cibanjaran, yang sebelumnya bermuara di Ciloseh, kini menyatukan diri dengan Cikunir.
Peralihan ini membentuk bukit-bukit dan lembah-lembah baru, sehingga rakyat yang selamat sulit menemukan kampung halamannya yang dulu.
Karena musibah yang terakhir, jumlah korban diperkirakan bertambah dua ribu orang lagi.
Wajah Galunggung berubah
Pada tanggal 13 Oktober, terlihat bahwa bentuk Gunung Galunggung dan puncak-puncak yang mengelilinginya mengalami perubahan.
Jurangnya menjadi makin curam dan dalam, mungkin disebabkan oleh runtuhnya sebagian dinding kawah.
Baru tanggal 17 Oktober, Residen Van der Capellen berhasil mencapai batas daerah Singaparna, ia tak berhasil melakukan peninjauan selanjutnya, karena air dan lumpur belum surut.
Di tepi Sungai Cikunir lumpurnya masih 20 m dalamnya. Ia kembali lagi ke Tasik.
"Setelah menaiki bukit-bukit tertinggi, saya memandang tanah yang tadinya sangat indah, kini telah hancur musnah, ditimbuni mayat manusia, kuda dan kerbau. Di Gunung Lincong, terlihat orang-orang yang masih hidup. Saya memerintahkan agar menyelamatkan sebanyak mungkin orang… "
Cara menyelamatkan orang-orang yang malang itu, antara lain dengan menggunakan batang-batang bambu yang diletakkan di atas lumpur, sehingga menjadi semacam jembatan darurat.
Baru pada tanggal 18 Oktober, residen dan rombongannya bisa mencapai Singaparna dengan menyeberangi Cikunir yang sudah agak surut airnya.
Sebagian besar daerah ini telah berubah menjadi danau besar. Rakyat yang selamat, masih hidup dalam suasana ketakutan.
Suara yang bagaimanapun yang berasal dari gunung, membuat mereka lari tunggang langgang ke bukit yang terdekat.
Di Tasikmalaya, residen meminta kepada para ulama, agar menganjurkan kepada rakyat yang masih mengungsi di tempat-tempat tinggi untuk kembali ke rumah masing-masing.
Residen tak bisa lupa
"Saya takkan pernah bisa melupakan pemandangan yang mcmilukan, yang saya jumpai pada tanggal 15 Oktober dalam perjalanan saya kembali ke Ciawi. Waktu itu saya memeriksa desa Ciburuy dan Leuwiwangun yang terletak dekat jalan besar. Mayat-mayat bergelimpangan sekitar lima belas tindak dari kampung; nampaknya para korban ini akan melarikan diri, tetapi disergap oleh lumpur panas," tulis residen.
Di sini, pada pohon tumbang masih terlihat jenazah seorang wanita dalam posisi terduduk dengan bayi dalam pelukannya.
Lalu di sana, mayat seorang wanita yang menggandeng kedua anaknya. Dalam salah sebuah kampung di Indihiang, yang mengalami pemusnahan menyeluruh, ditemukan jenazah seorang ibu dengan bayinya yang masih menyusu.
Mereka selamat, seakan-akan oleh suatu mukzijat. Anak yang kemudian diambil dan dirawat, sekarang dalam keadaan sehat....
"Dari daftar yang saya lampirkan, saya melaporkan kepada Yang Mulia, bahwa jumlah korban mati dalam kelima distrik dan desa yang rusak menurut berita terakhir dari Pangeran Sumedang, mencapai 4.011 jiwa, 114 desa, 105 ekor kuda dan 833 ekor sapi dan kerbau..."
Panik yang membawa hikmat
Dalam tahun 1894, Galunggung meletus sekali lagi. Pada tanggal 17-19 Oktober, di desa-desa tertinggi terdengar suara gemuruh dari arah kawah-kawah dan terlihat api di tiga tempat.
Di Indihiang dirasakan enam puluh kali getaran tanah. Di Tasikmalaya pada tanggal 18 tidak turun hujan abu, tetapi sungai-sungai mulai meluap dan mengandung lumpur dan abu.
Teringat pada bencana hebat tahun 1822, penduduk sekitar Galunggung menjadi panik, sehingga banyak desa ditinggalkan begitu saja.
Pada tanggal 19, di sisi Mangunreja ada sekitar 25.000 orang mengungsi. Tetapi kepanikan itu membawa hikmat juga, sebab lahar kemudian menghancurkan lima puluh desa, tetapi tak ada korban manusia.
Dalam tahun 1918, terjadi lagi letusan, diawali dengan getaran tanah. Pada kegiatan ini terbentuk lagi sumbat lava yang muncul di atas danau kawah Gunung Jadi. Pada letusan ini tidak tercatat korban manusia maupun kerusakan hebat.
(Slamet Suseono, 1982)