Penulis
Intisari-Online.com – Jumat senja merangkak makin gelap. Khaira terpaku di mejanya.
Dalam kegelisahannya, selintas dibacanya informasi tentang sejenis katak sangat cantik di Amerika Selatan, yang racunnya dipakai oleh orang Indian untuk memoles ujung panah.
(Baca juga:Jangan Melihat Hanya dari Satu Sisi Saja)
“Tenggat waktunya tinggal 1 jam lagi, tapi mereka belum juga balik … Gimana nih?” Ia dan timnya dipasrahi mengejar data krusial untuk penulisan tentang sebuah kasus korupsi.
Tanpa data tersebut artikelnya bagaikan bangunan besar tanpa tiang utama.
Tiba-tiba pintu didorong kasar, dibanting dengan keras pula. Reksa muncul, serta-merta menjatuhkan badan di kursi. “Gagal. Aku sudah ikuti kegiatannya sepanjang sore ini, tapi aku tidak digubris sama sekali.”
“Katanya kamu akrab dengan si narsum? Tiap hari ngobrol?” gugat Khaira.
“Iya, tapi entah kenapa hari ini dia enggak biasa , bla bla, bla …” Khaira merasa darahnya langsung mengalir deras ke kepala.
Kalau Reksa saja gagal, bagaimana dengan Cecep? Anak yang terkenal letoy itu mana bisa menembus barikade ketat saat ini terhadap media?
Saat itu pula terdengar tanda “ping” di ponselnya. Surel masuk. Serentak dibukanya, terpampanglah lebih dari cukup amunisi untuk menjadikan artikelnya headline besar malam itu juga.
Pengirimnya si letoy Cecep.
Cecep yang kalem tapi (ternyata) taktis. Cecep yang sedikit bicara, tapi (ternyata) banyak akal dan bisa diandalkan. Cecep yang …
“I love you Cecep …!” Tentu saja hanya di dalam hati. Kini Khaira sadar, ia hampir saja terperangkap pencitraan.
(Baca juga:Sering Kita Tidak Sadar Menilai Orang Sekehendak Hati Tanpa Berusaha Mencari Tahu Kebenarannya)
Ia jadi teringat blue poison dart frog, katak biru supercantik tadi. Masalahnya, manusia tak juga jera. Bahkan dua abad lalu, filsuf dan penyair Jerman Friedrich Schiller sudah menulis, “Tampilan adalah penguasa dunia.” (LW – Intisari Juli 2014)