Sikap Peragu Bung Karno Jadi Salah Satu Penyebab Soeharto Berani Tumpas PKI Secara Membabi Buta

Ade Sulaeman

Penulis

Padahal para panglima dari AURI, Angkatan Laut (KKO), para Pangdam sebenarnya sudah siap menunggu perintah Soekarno guna menghentikan langkah Soeharto.

Intisari-Online.com - Ketika Presiden Soekarno (Bung Karno) sedang berorasi di depan publik, ia terkenal sebagai orator yang ulung dan dengan semangatnya yang meledak-ledak.

Publik pun dengan cepat terbius oleh gaya pidato Bung Karno yang penuh semangat dan ketegasan itu sehingga setiap Bung Karno akan pidato ribuan rakyat selalu menunggunya.

Tapi dalam sikap hidunya sehari-hari khususnya terkait dengan kondisi negara yang sedang menghadapi situasi darurat sesungguhnya Bung Karno adalah seorang peragu.

Sebagai contoh, di bulan Agustus 1945, Bung Karno didesak oleh para pemuda pejuang untuk mempercepat proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu keputusan dari pemerintah Jepang yang sebenarnya sudah menyerah kepada Sekutu dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tapi Bung Karno menolak desakan itu demi menghindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban di kalangan rakyat sendiri.

Bung Karno akhirnya terpaksa diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok dan beberapa hari kemudian akhirnya berani merayakan proklamasi Kemerdekaan RI.

Sikap peragu dan niat Bung Karno yang sebisa mungkin menghindari perang saudara itu ternyata selalu terulang terutama ketika berlangsung peristiwa G30S/PKI.

Pada tahun 1948 ketika pemberontakan PKI meletus di Madiun sebenarnya Bung Karno telah menunjukkan ketegasannya untuk menumpas pemberontakan PKI oleh pasukan TNI di bawah pimpinan Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution.

Saat itu (1948) Letkol Soeharto yang menjabat sebagai komandan Brigade X juga terlibat dalam operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun, sehingga Soeharto menjadi punya pengalaman jika pemberontakan oleh PKI memang harus ditindak tegas secara militer.

Operasi militer untuk menumpas pemberontakan PKI pimpinan Muso itu berhasil gemilang tapi tetap saja menciptakan pertumpahan darah sesama anak bangsa yang kemudian menjadi keprihatinan Soekarno.

Karena penanganan G30S/PKI bisa mengulang pertumbahan darah seperti kejadian tahun 1948, maka Bung Karno pun menjadi ragu-ragu untuk membuat keputusan termasuk ragu-ragu menindak Soeharto yang telah “lancang” dalam penanganan G30S.

Pasalnya ketika Soeharto selaku Pangkostrad melakukan tindakan berupa counter movement terhadap aksi G30S seharusnya sesuai izin KASAD dan kalaupun KASAD tidak ada, ia harus bertindak sesuai izin Presiden Soekarno selaku panglima tertinggi.

Namun Bung Karno yang saat itu masih punya banyak pendukung dari militer tidak melakukan tindakan apa-apa terhadap counter movement Soeharto karena khawatir akan terjadi perang saudara dalam skala besar.

Padahal para panglima dari AURI, Angkatan Laut (KKO), para Pangdam sebenarnya sudah siap menunggu perintah Soekarno guna menghentikan langkah Soeharto dan pasukannya dalam upaya melakukan pembersihan terhadap para pelaku G30S yang lebih mencerminkan aksi balas dendam itu.

Soeharto yang memiliki pengalaman saat melakukan aksi penumpasan pemberontakan PKI di Madiun rupanya sudah mempelajari karakter Bung Karno yang ternyata peragu, sementara aksi G30S hanya bisa diatasi secara militer akhirnya maju terus.

Soeharto bahkan berhasil mendapatkan Surat Peintah 11 Maret 1966 dari Bung Karno sehingga ia makin memiliki kekuasaan untuk melumpuhkan satuan-satuan TNI yang pro kepada Bung Karno, dan melakukan operasi penumpasan anggota PKI hingga ke akar-akarnya.

Meskipun Bung Karno telah mengalah dan bahkan akhirnya Soeharto berhasil menjadi Presiden RI kedua, apa yang ditakutkan ternyata terjadi.

Pasalnya operasi penumpasan terhadap orang-orang yang dituduh sebagai anggota PKI yang dilakukan secara membabi buta dan dipenuhi unsur balas dendam, menurut versi Komnas HAM, telah mengakibatkan korban tewas hingga ratusan ribu jiwa.

Jumlah itu belum termasuk tahanan politik yang jumlahnya puluhan ribu dan harus masuk penjara atau “dibuang” ke Pulau Buru tanpa melalui pengadilan resmi.

Artikel Terkait