Find Us On Social Media :

Sikap Peragu Bung Karno Jadi Salah Satu Penyebab Soeharto Berani Tumpas PKI Secara Membabi Buta

By Ade Sulaeman, Jumat, 29 September 2017 | 14:30 WIB

Intisari-Online.com - Ketika Presiden Soekarno (Bung Karno) sedang berorasi di depan publik, ia terkenal sebagai orator yang ulung dan dengan semangatnya yang meledak-ledak.

Publik pun dengan cepat terbius oleh gaya pidato Bung Karno yang penuh semangat dan ketegasan itu sehingga setiap Bung Karno akan pidato ribuan rakyat selalu menunggunya.

Tapi dalam sikap hidunya sehari-hari khususnya terkait dengan kondisi negara yang sedang menghadapi situasi darurat sesungguhnya Bung Karno adalah seorang peragu.

Sebagai contoh, di bulan Agustus 1945, Bung Karno didesak oleh para pemuda pejuang untuk mempercepat proklamasi Kemerdekaan Indonesia tanpa menunggu keputusan dari pemerintah Jepang yang sebenarnya sudah menyerah kepada Sekutu dan Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI).

Tapi Bung Karno menolak desakan itu demi menghindari pertumpahan darah dan jatuhnya korban di kalangan rakyat sendiri.

Bung Karno akhirnya terpaksa diculik oleh para pemuda dan dibawa ke Rengasdengklok dan beberapa hari kemudian akhirnya berani merayakan proklamasi Kemerdekaan RI.

Sikap peragu dan niat Bung Karno yang sebisa mungkin menghindari perang saudara itu ternyata selalu terulang terutama ketika berlangsung peristiwa G30S/PKI.

Pada tahun 1948 ketika pemberontakan PKI meletus di Madiun sebenarnya Bung Karno telah menunjukkan ketegasannya untuk menumpas pemberontakan PKI oleh pasukan TNI di bawah pimpinan Wakil Panglima Besar Kolonel AH Nasution.

Saat itu (1948) Letkol Soeharto yang menjabat sebagai komandan Brigade X juga terlibat dalam operasi penumpasan pemberontakan PKI Madiun, sehingga Soeharto menjadi punya pengalaman jika pemberontakan oleh PKI memang harus ditindak tegas secara militer.

Operasi militer untuk menumpas pemberontakan PKI pimpinan Muso itu berhasil gemilang tapi tetap saja menciptakan pertumpahan darah sesama anak bangsa yang kemudian menjadi keprihatinan Soekarno.

Karena penanganan G30S/PKI bisa mengulang pertumbahan darah seperti kejadian tahun 1948, maka Bung Karno pun menjadi ragu-ragu untuk membuat keputusan termasuk ragu-ragu menindak Soeharto yang telah “lancang” dalam penanganan G30S.