Penulis
Intisari-Online.com - Hari ABRI (sekarang TNI) yang jatuh pada 5 Oktober 1965 yang rencananya dirayakan secara meriah karena genap berusia 20 tahun langsung berubah menjadi suasana yang muram terkait tragedi G30S/PKI yang berlangsung pada 1 Oktober 1965.
Pada 5 Oktober 1965 peringatan Hari ABRI terpaksa diperingati dengan suasana penuh keprihatinan dan duka cita karena pada hari itu tujuh Pahlawan Revolusi dimakamkan di Taman Makam Pahlawan Kalibata, Jakarta.
Ketika ketujuh jenasah Pahlawan Revolusi diberangkatkan dari Markas Besar AD di jalan Merdeka Utara, Jakarta menggunakan tujuh ranpur lapis baja Saracen disertai iring-iringan konvoi kendaraan militer dan pelayat, sepanjang jalan dari Merdeka Utara hingga Taman Makam Pahlawan Kalibata, ribuan penduduk di Jakarta juga berdiri di pinggir jalan untuk melepas ketujuh Pahlawan Revolusi.
Karena ketujuh Pahlawan Revolusi yang merupakan korban penculikan dan pembunuhan G30S/PKI ditemukan di Lubang Buaya yang merupakan kawasan Pangkalan Udara Halim Perdanakusuma, dan ada bukti-bukti para pelaku menggunakan senjata yang dimiliki AURI, opini saat itu, terutama para prajurit TNI AD yang sedang emosional, meyakini jika TNI AU terlibat dalam G30S/PKI.
Satu rombongan TNI AU yang dipimpin Mayor Bambang Sudarsono yang datang dengan mengendarai jeep tiba-tiba dilempari batu oleh para prajurit TNI AD.
Tapi para prajurit TNI AU tidak memberikan reaksi membalas dan mereka bahkan memaklumi jika para prajurit TNI AD itu sedang emosional mengingat telah kehilangan enam jenderalnya.
Duta besar RI untuk Kamboja, Marsekal Muda Boediardjo,seperti tertulis dalam buku otobiografi Siapa Sudi Saya Dongengi, yang juga turut melayat sempat diwawancarai oleh reporter RRI, Darmosugondo, tapi gaya wawancara itu seperti sedang menginterogasi “tertuduh”.
Tuduhan terhadap AURI bahwa telah terlibat dalam G30S/PKI secara institusi sebenarnya tidak pernah terbukti.
Jika sampai ada yang terlibat sebenarnya hanya sejumlah oknumnya saja.
Tapi karena AURI merupakan satuan yang sangat dekat dengan Soekarno, dalam perjalanan sejarah berikutnya, khususnya di era Orde Baru, AURI seperti mendapatkan perlakuan diskriminasi.
Sikap diskriminasi terhadap AURI baru bisa dikatakan mencair setelah Marsekal TNI DJoko Suyanto berhasil menjabat sebagai Panglima TNI (2006-2007).
Prestasi Marsekal Djoko Suyanto ini sekaligus menjadi satu-satunya Jenderal bintang empat dalam sejarah TNI AU, yang pernah mencapai kedudukan hingga Panglima TNI.