Yogyakarta saat Peristiwa G30S: Aidit Sudah Mendarat, Namun Yogja Akhirnya Selamat Berkat…

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com – Dalam bulan April 1965, tepatnya tanggal 12, di rumah Yudopawiro di Madukidul, daerah Boyolali, 12 orang tokoh PKI Jawa Tengah mengadakan rapat rahasia.

Hasil kesimpulannya: PKI akan mendesak Presiden untuk mengadakan open-war dengan Malaysia dan kemudian PKI akan melakukan pengacauan dari dalam.

Selain itu didesakkan pula, agar buruh tani dipersenjatai dan supaya Indonesia makin merapat dengan RRC.

Lagi pula Komunisme supaya disebarluaskan untuk mengubur Pancasila.

Bukan hanya sekali itu tokoh-tokoh PKI mengadakan rapat rahasia.

Yang jelas, pada tanggal 17 Mei di rumah Harjosutomo, lurah Mojosari juga diadakan rapat gelap.

Tetapi betapapun rahasianya, namun ada juga orang luar yang dapat mengetahuinya.

Antara lain polisi Suyoto, yang telah melaporkannya ke Jakarta dalam bulan Mei.

Akan tetapi tak terlihat adanya tanggapan. Sebaliknya suasana masyarakat terasa makin memanas.

Ganyang-mengganyang antara orpol-orpol, ormas-ormas, makin menjadi-jadi, persaingan makin meningkat, aksi-aksi sepihak dengan segala akibatnya semakin memuncak, kerusuhan makin hebat, khususnya di kota besar, seperti Jakarta.

Di awal bulan Agustus 1965 terjadilah peristiwa yang menggemparkan di Jl. Surabaya, yang dikatakan soal perampokan dan mengakibatkan gugurnya pejabat keamanan kepolisian Drs. Fadillah.

Ini bukan peristiwa yang kebetulan, akan tetapi direncanakan

Drs. Fadillah sebagai tokoh pimpinan security dipandang “mengetahui terlalu banyak”, sehingga harus dilenyapkan. Mungkinkah almarhum juga mengetahui laporan dari Boyolali?

Orang biasa Cuma dapat merasa tegangnya suasana. Akan terjadikah sesuatu yang mengguncangkan?

Dalam suasana semacam itu, banyak orang prihatin. Di Yogya, orang kalangan “dalam” menanggapinya dengan mengadakan pawai mengelilingi beteng (tembok kuno yang mengelilingi istana).

Tidak dengan drumband sebagaimana umumnya pawai orpol-ormas di tengah-tengah suasana panas itu, melainkan justru dengan tutup mulut tidak bicara sepatah katapun.

Tidak di siang hari, melainkan di malam hari. Jam 22.00 pawai bergera.

Istimewanya, justru banyak puteri yang ikut serta. Dan kita yang menyaksikan turut terdiam.

Hingga kini banyak orang yang percaya, bahwa pawai doa mohon selamat dari bencana dengan keliling beteng itulah yang menyebabkan tidak banyak pembunuhan terjadi di kota dan di wilayah Yogya pada zaman Gestapu.

Padahal kalau pemimpin Gestapu Yogya, bekas Mayor Mulyono, cepat bertindak, ia dan kawan-kawannya pasti dapat menghabisi siapa saja yang dipandang sebagai lawannya.

Karena Yogya khususnya dan Jawa Tengah umumnya memang dalam keadaan tidak siaga pada hari-hari sekitar pembentukan “Dewan Revolusi”.

Justru keadaan inilah antara lain yang memungkinkan Mulyono dapat mengumumkan pembentukan “Derev”.

Tanggal 2 Oktober, tanggal mendaratnya DN Aidit di Yogyakarta (ia bertolak dari lapangan terbang Halim jam 1/30 malam dan tiba di Yogya jam 3.00 pagi), Pemuda Rakyat, CGMI, dan sebangsanya menempelkan plakat di mana-mana, yang pada pokoknya mendukung “Derev” dan mengutuk apa yang disebutnya “Dewan Jenderal”.

RRI yang dikuasai Mulyono, pada tanggal 2 Oktober itu juga mengumumkan larangan mendengarkan Radio Jakarta. Suasana umum takut-khawatir-takut.

Ada apa? Banyak orang tidak tahu keadaan yang sesungguhnya.

Sekali lagi, seandainya Mulyono cepat bertindak, mungkin di antara tokoh-tokoh yang sudah ditimbun di lubang-lubang buatan PKI.

Kekosongan kekuatan fisik di Yogyakarta dapat kiranya dilihat dari kenyataan, bahwa sampai minggu terakhir bulan Oktober, orang-orang PKI masih berkeliaran dengan bebasnya.

Jadi sebenarnya berani sekali orpol-ormas yang mengaakan Rapat Besar di Alun-alun Utara pada tanggal 20 Oktober, dengan tuntutan utama supaya PKI dibubarkan.

Rapat ini diadakan di tengah-tengah sorotan mata orang-orang PKI. Banyak di antara mereka yang menyaksikannya!

Mengapa Mulyono tidak bertindak? Mungkinkah orang-orang PKI yang sering diamankan mengenangkan dengna penuh rasa kecewa saat-saat itu.

Mungkinkah ia bimbang dengan cepat gagalnya kup di Jakarta? Sungguh tragis, bahwa dia sendirilah akhirnya yang ditangkap di daerah Boyolali; daerah, yang dijadikan titik-tolak untuk membuka kenang-kenangan ini.

Sekarang dia tidak dapat mengelakkan tanggung jawab atas pembunuhan kejam terhadap atasannya: Komandan Korem 73 Brigjen Anumerta Katamso dan Kelapa stafnya Kolonel Anumerta Sugiyono.

(Oleh Drs. P. Swantoro seperti pernah dimaut di Majalah Intisari Oktober 1967)

Artikel Terkait