Advertorial

Hewan-hewan pun Ikut Menangis saat Upacara Melepas Arwah Leluhur Berpisah dengan Dunia

Moh Habib Asyhad

Editor

Kambing mengembik pilu di belakang rumah, anjing melolong-lolong bak melihat hantu, sedangkan babi mengeluarkan suara beratnya.
Kambing mengembik pilu di belakang rumah, anjing melolong-lolong bak melihat hantu, sedangkan babi mengeluarkan suara beratnya.

Intisari-Online.com – Poron yang serupa parang dengan panjang 75 -100 an mulai beraksi. Senjata tajam yang, konon, juga diisi doa-doa itu mampu memenggal kepala hewan kurban sekali tebas.

Itulah inti kegiatan upacara wihi lii unur di Tana Ai, Flores. Bukan sekadar memotong hewan, makan besar, joget, atau begadang, upacara itu justru suatu bentuk bakti sebuah generasi pada generasi sebelumnya.

Masyarakat Tana Ai, Flores, Nusa Tenggara Timur, memiiiki tradisi unik. Mereka percaya, roh orang meninggal tetap berada di antara keluarga.

Ia tetap makan, menjalankan kegiatan seperti ketika hidup, bahkan juga bekerja di kebun untuk mencukupi kebutuhannya. Namun, tentu saja, dengan cara berbeda.

Bentuk penghormatan paling nyata tampak ketika hendak bersantap. Usai berdoa, setiap orang akan membuat piong, sebungkal kecil makanan dan lauk dari piring masing-masing yang ditaruh di pinggir piring.

(Baca juga:Keliling Flores Bersua Gading Beranak)

Piong ditujukan bagi keluarga dekat yang telah meninggal sebagai ungkapan memberi makan.

Ikatan itu tetap erat, sampai diadakan upacara ritual wihi lii unur - mengantar leluhur menuju kedamaian abadi di surga.

Karena bentuk bakti anak-cucu pada leluhur, meskipun menelan dana berjutaan rupiah, upacara itu tetap berlangsung.

Pantang mengeluh capek

Keluarga besar Goban misalnya, sepanjang upacara itu memotong tak kurang dari 100 babi dan kambing. Memang banyak, karena seliap leluhur "diantar" dengan dua kambing atau babi, sementara kali itu ada 42 leluhur yang akan diupacarai.

"Kami tak boleh sebut berapa dana habis, pire (tabu). Gambarannya seperti kalau untuk membuat rumah ukuran 8 x 12 m," kata Pak Blasius.

"Pemerintah pernah larang juga upacara ini, alasannya pemborosan. Tapi demi ketenangan arwah orang tua, kami harus tetap lakukan," tambahnya.

Memang, sejak tahun 1969, pemerintah kecamatan mengharuskan warga menyerahkan kambing jantan bertanduk panjang sebagai denda kalau menyelenggarakan upacara ini.

Namun, larangan itu tak menyurutkan niat untuk menyelenggarakannya. Meski risikonya, kabarnya, ada anggota masyarakat suku lain yang terpaksa menginap di hotel prodeo seusai pesta, karena dianggap melanggar peraturan.

Yang pasti, penyelenggaraan upacara itu perlu persiapan, baik dana, fisik, dan mental. Persiapan fisik amat penting, karena penyelenggara pesta pantang mengeluh capek.

Padahal, selama lebih dari sepekan si penyelenggara harus begadang, sementara di siang hari masih harus mempersiapkan keperluan pesta yang amat menuntut kekuat an otot. Bayangkan!

Akhirnya, ketika emosi dan kepenatan menyatu mencapai puncak, banyak di antara mereka yang memilih minum moke, tuak dari penyulingan nila lontar, sampai mabuk. Sesaat penat akan lenyap.

Terjepit tebing dan jurang

Sungguh beruntung saya berkesempatan mengikuti ritualyang bagi Suku Goban menjadi upacara pertama setelah absen selama lebih dari 30 tahun!

Bagi mereka, penundaan itu merupakan kesempatan untuk menabung dan menunggu hari yang tepat. Wihi lii unur kali itu berlangsung pada 4 Mei 2001, tepat saat bulan purnama.

Upacara bertempat di tanah kebun dan rumah pesta.Tanah kebun terletak di daerah miring di Tanah Hikong, Desa Runut, Kecamatan Talibura, Kabupaten Sikka, Flores, sedangkan rumah pestanya terpencil, di tengah ladang penduduk, di cerukan gunung.

Di keempat penjuru angin, gunung rapat memagari, meski di utara ada sedikit celah yang menampilkan Laut Flores di kejauhan. Permukiman terdekat ada di barat daya, sekitar 45 menit berjalan cepat.

(Baca juga:Beginilah Suasana Prosesi Ambil Arwah Angeline)

Saya bergabung dengan rombongan yang terdiri atas anggota keluarga Suku Goban yang tinggal di Likong Gete. Dalam rombongan ikut serta seekor kambing untuk oleh-oleh bagi tuan rumah, sekarung beras, dan beberapa botol moke kelas satu.

Kami berjalan kaki sejauh 16 km dari Desa Nanghale, desa di pinggir jalan yang menghubungkan Maumere dan Larantuka.

Tampak hamparan kebun-kebun penduduk, dan aliran Wair Hek (wair adalah bahasa lokal untuk sungai). Selanjutnya, ini yang berat, mendaki jalan setapak dengan kemiringan lebih dari 70 derajat.

Yang lebih menyiksa, jalan setapak itu benar-benar selebar telapak kaki. Untungnya, di kanan ada tebing dengan sedikit rumput dan perdu yang bisa untuk pegangan, tetapi di sebelah kiri menganga jurang terjal yang di bawahnya mengalir sungai berbatu.

Kondisi berat itu menguras tenaga. Di awal keberangkatan saya masih bisa memanggul sendiri beban, berupa seperangkat baju dan dua kamera. Namun, menjelang separo perjalanan, saya benar-benar kewalahan.

Pemandangan cantik di sepanjang perjalanan tak mengusik saya untuk mengabadikannya. Grogi dan kelelahan membuat seluruh sendi rasanya mau copot.

Sekitar 6,5 jam kemudian kami pun tiba di Tanah Hikong. Sebenarnya pesta masih dua hari lagi, tetapi rumah pesta sudah sesak tamu.

Mereka menempati pondok-pondok tamu sederhana yang sengaja dibangun untuk penginapan. Para tamu biasanya sanak saudara Suku Goban yang tinggal berpencar di beberapa tempat yang juga berjauhan.

Sebagai kerabat dekat, mereka membawa wai raa sebagai bentuk dukungan. Wai raa berupa babi, kambing, beras, serta moke.

Para tamu disambut dengan moke. Biasanya moke dalam seremonial adat adalah hasil sulingan pertama hingga yang ketiga. Tak heran bila kadar alkoholnya tinggi dengan rasa semriwing yang cepat bereaksi.

Wadah minumnya pun unik, batok kelapa yang diukir halus. Semua tamu bergiliran menghirup dari wadah yang sama sampai tuntas beberapa botol yang disediakan sang tuan rumah.

Cara menyuguhkannya pun sangat santun. Bak bartender profesional, tuan rumah menggilir dan mengisi wadah sampai para tamu minta berhenti.

Adegan saling pukul

Puncak upacara ditandai dengan menyembelih babi, kambing, dan ayam di ladang baru yang akan ditanami. Tapi sebelum itu ada rangkaian upacara yang panjang dan rumit, yang bisa berakibat kekeliruan.

Andai demikian, si penyelenggara harus membayar denda berupa babi. Memang, sepanjang ritual ada saja denda yang mesti dibayar.

Sebelum puncak upacara, ada beberapa upacara persiapan. Misalnya, wai umara (memercikkan air ke ladang tempat upacara), lii watu tanah (membersihkan beras untuk menjamu tamu), wai ae Loen (menentukan hari H dan nama nenek moyang yang akan diantar), wuu pelan woen (membuat pelang atau emping beras yang dibagikan dengan daging untuk tamu), dan pati pleba - memotong hewan untuk nenek moyang yang tak pernah diambil welut-nya (potongan kuku dan rambut dari jasad).

Sehari sebelum hari H, pukul 14.30, aroma magis ritual adat mulai terasa. Diawali dengan perarakan kopor, semacam keranda yang di dalamnya diikatkan seekor babi dalam posisi tidur.

Kopor ditutup dengan sehelai kain batik baru, lalu dihiasi daun kelapa muda. Babi itu simbol orang yang sudah meninggal. Masing masing diberi nama sesuai dengan nama orang yang akan diantar rohnya.

Diiringi nyanyian adat yang mirip ratapan, kopor diarak menuju rumah pesta. Sesampai di halaman rumah, tiba-tiba terjadi saling pukul dengan menggunakan kayu dan tinju.

(Baca juga:Cing Cing Goling, Upacara Adat Gunung Kidul yang Terinspirasi dari Kisah Pelarian Prajurit Majapahit)

Bunyi berdebam memantul dari setiap punggung yang terhantam. Untunglah, saling pukul hanya berlangsung sepuluh menit.

"Namanya leben grengan. Untuk menunjukkan keakraban antarsaudara," tutur Pak Joseph.

Konon, aslinya leben grengan menggunakan senjata tajam, misalnya parang. Anehnya, luka yang timbul cukup ditutup dengan sembarang daun, dijamin seketika sembuh. Asalkan, tidak ada perempuan.

Lalu mengapa saat itu hanya menggunakan kayu dan tinju tangan? Ternyata, karena ada saya yang akan memotret.

Leben grengan usai. Tiba-tiba terdengar ratap tangis laki-laki dan perempuan memenuhi udara Tanah Hikong. Seorang perempuan muda memanggil-manggil nama almarhumah nenek dan ibunya.

Bahkan bapak-bapak pun tampak meraung memanggil orangtuanya. Mereka tidak sembarangan memanggil nama, karena untuk setiap nama yang dipanggil, anak-cucunya harus menyiapkan dua hewan sembelihan.

Bayangkan, jika yang menangis itu lebih dari 50 orang. Gaung suara mereka yang dipantulkan dinding tebing sebelah-menyebelah, benar-benar membangkitkan pilu, menegakkan bulu roma.

Apalagi dikumandangkan syair yang membuat suasana makin terasa memilukan. Mereka percaya, inilah perpisahan yang sebenarnya.

Entah disengaja atau tidak, hewan sembelihan di seputar rumah pun berpartisipasi. Berawal dari lenguhan sedih babi dalam kopor, kemudian diikuti oleh yang lain saling bersahutan.

Kambing mengembik pilu di belakang rumah, anjing melolong-lolong bak melihat hantu, sedangkan babi mengeluarkan suara beratnya.

Tangisan hewan itu makin melengkapi kesedihan keluarga besar Goban. Percaya atau tidak, ada tetesan air mengalir di pelupuk hewan-hewan itu.

Setia membawa welut

Selain sebagai penganut Katolik yang taat masyarakat Tana Ai terutama di sekitar Nanghale, Natarmage, Runut, Talibura, dan sekitarnya, masih mempertahankan kepercayaan lokal.

Saat upacara kematian, selain misa ada pula beberapa prosesi lain.

Pengambilan welut, atau potongan kuku kaki dan tangan kanan serta sedikit rambut si mayat untuk disimpan, dilakukan sebelum Misa Requiem (kebaktian untuk arwah • Red.).

Welut disimpan oleh anak tertua atau orang yang dituakan dalam keluarga. la harus membawanya ke mana pun pergi. Umumnya welut dibungkus kain dan disimpan dalam tempat sirih pinang.

Pembawa welut pantang makan ondo (sejenis ubi hutan), serta dilarang menghadiri pesta wihi lii unur dan pesta adat lain.

Tugasnya berakhir bila telah dilakukan upacara wihi lii unur, saat welut dikubur di ladang yang baru dibuka saat musim tanam.

Andai si pembawa keburu meninggal, tugas diturunkan pada paman atau anak kedua.

Joget diiringi lagu Minang

Biang luka, itu julukan perempuan yang dituakan dalam suku. Perannya amat dominan, karena di setiap bagian upacara ia yang mengawali. Misalnya soal konsumsi, biang luka akan melakukan upacara khusus, likon daha.

(Baca juga:Kejam! Demi Ritual Ilmu Hitam, Bocah 4 Tahun Ini Dibunuh Pamannya dengan Keji)

Upacara itu semacam permohonan pada arwah leluhur untuk memberkati bahan makanan agar semua tamu dapat dijamu dengan baik.

Tugas berikutnya, memberkati 42 welut arwah yang akan diantar besok pagi. Beberapa hari sebelum upacara welut yang disimpan oleh masing-masing keluarga, dikumpulkan dalam sobe, keranjang bertutup dari anyaman daun lontar, oleh moat, sesepuh dari Suku Goban.

Kedatangan sobe, yang dipercaya juga beserta arwah, ke rumah adat disambut dengan nyanyian puja-puji berisi kisah heroik leluhur.

Berbeda dengan penyambutan kopor, sambut arwah yang disebut blupur itu benuansa gembira.

Moke telah beredar menutup jamuan malam. Belum tuntas acara bersantap, ketika seorang bapak tua mulai berjoget. Dengan gerak dinamis dan lincah dia seakan menghipnotis semua orang untuk turut terjun ke arena.

Herannya, lagu yang mengiringi justru lagu Minang. Semalam suntuk mereka menyanyikan lagu itu.

Prosesi inti ritus diawali esok subuh. Mulai dengan menyuguhkan sarapan untuk babi dalam kopor. Menunya, bubur nasi dan telur rebus dihidangkan dalam pote, piring adat dari labu yang dikeringkan. Selanjutnya, semua hewan diarak menuju ladang tempat upacara.

Menurut Pak Joseph, baku hantam akan berlangsung lagi ketika penyembelihan hewan, jika algojo tak mampu memutus kepala hewan dalam sekali tebas.

Benar! Usai biang luka menanam welut dan tuntas membaca mantra dan doa, baku hantam siap dimulai.

Secara berurutan dipanggil nama para leluhur yang diupacarai, diikuti dengan datangnya gotongan dua hewan kurban.

Sekali tebas, seiring dengan putusnya leher kurban terputus pula ikatan antara leluhur dengan anak-cucu di dunia. Aliran darah korban menandakan sang leluhur melayang menuju tempat kedamaian abadi.

Dua orang anggota hansip yang mengawal upacara sempat kewalahan. Bahkan mereka ikut kena gebuk saat melerai baku hantam. Kejadiannya dimulai saat kepala babi putih kurban baru bisa dipenggal dengan tiga kali tebas.

(Baca juga:Romeo dan Juliet ala Toraja yang Tak Terpisahkan Hingga di Alam Kematian)

Kabarnya, algojo yang kurang sukses ini, selain kena gebuk juga punya beban mental pada leluhurnya. Selain itu, dipercaya, algojo yang "gagal" punya sesuatu yang kurang baik dengan leluhurnya semasa hidup.

Benar-benar hari yang melelahkan.

Pukul 24.00 semua daging hewan korban selesai dibagi. Masing-masing tamu mendapat bagian. Khusus untuk pepi aru - bagian pipi babi - Suku Goban pantang memakannya.

Konon, jika ngotot memakan, sama saja dengan memakan daging orang tua sendiri. Oleh karena itu, pepi aru dijatah untuk tamu di luar suku.

Banyak yang memilih pulang malam itu juga. Diterangi suluh daun kelapa, beberapa rombongan besar beriringan meninggalkan Tanah Hikong.

Dalam dinginnya embun dini hari mereka berjalan kaki berkilo-kilometer sambil membawa beban berupa beras dan daging di punggung dan pundak.

Kelelahan berbaur dengan kesukaan telah berjumpa dengan sanak keluarga. Tak mengapa, bukankah belum tentu peristiwa itu terjadi sepuluh tahun lagi? (Tasnim Yusuf, di Jakarta)

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi April 2002)

Artikel Terkait