Advertorial

Berkunjung ke Yosemite National Park, dari Makan Ditemani Tupai hingga Dihajar Nyamuk

Moh Habib Asyhad

Editor

Di sana nyamuk minta ampun banyaknya. Sayang sekali, padahal  pemandangan di sekitar danau itu sangat indah, karena dikelilingi gunung-gunung batu dan pohon-pohon pinus.
Di sana nyamuk minta ampun banyaknya. Sayang sekali, padahal pemandangan di sekitar danau itu sangat indah, karena dikelilingi gunung-gunung batu dan pohon-pohon pinus.

Intisari-Online.com – Bersama seorang teman yang sama-sama camping, saya berkemah di Yosemite National Park di Kalifornia bagian barat. Inilah pengalaman kami.

Kami berangkat dari Milpitas, sebuah kota kecil dekat San Jose. Hari Jumat malam semua perlengkapan sudah kami masukkan ke mobil.

Setelah menempuh jarak lima perjalanan, kami tiba di jalan masuk ke kawasan Yosemite National Park. Karcis tanda masuknya US$ 5/orang, yang berlaku selama satu minggu berada di kawasan taman nasional ltu.

Di pintu masuk itu kami juga mendapat sebuah peta lokasi. Pertama-tama kami menuju ke Yosemite Valley, sebuah tempat yang paling banyak menarik perhatian pengunjung di dalam taman nasional yang luasnya mencapai 1.200 mil2 ini.

Ternyata dari pintu masuk itu kami masih hams menempuh jarak sekitar 22 mil. Jalan yang kami lalui diapit hutan pinus yang lebat dan tinggi. Tupai berkeliaran di mana-mana.

Makan ditemani tupai

Kemudian jalan menurun memasuki lembah yang seakan berkarpet padang rumput yang hijau dan hutan yang rindang.

Lembah ini lebarnya sekitar 1 mil dan panjangnya sekitar 7 mil. Dinding batu-batu granit yang tingginya mencapai antara 2.000 – 4.000 kaki dari dasar lembah, tampak bagaikan benteng raksasa yang mengurung lembah ini.

Yang pertama dan terdepan bernama El Capitan. Tingginya mencapai 3.500 kaki dari dasar lembah. El Capitan ltu merupakan satu balok batu granit di dunia yang pernah diketahui.

Permukaannya rata dari bawah ke atas, seperti menantang pendaki gunung kawakan.

Puncak "menara" yang langsung berhadapan dengan El Capitan bernama Cathedral Spires. Tingginya 2.700 kaki.

Di sisi utara tampak The Three Brothers, yang berupa tiga puncak bukit batu granit yang berjejer berdempetan dan mencapai ketinggian 4.000 kaki dari dasar lembah.

Di luar lingkungan lembah ini, di tempat yang lebih tinggi masih terdapat beberapa bukit batu granit.

Ada beberapa yang bagaikan kubah raksasa, umpamanya Sentinel Basket, North Dome dan Half Dome.

Dari sela tebing batu di sisi kanan jalan, tercurah air terjun keperakan yang disebut Bridal Veil (Kerudung Pengantin).

Suara gemuruhnya seolah mengundang untuk segera menuju ke sana. Teman saya memarkir mobil dan kami pun berjalan mengikuti jalan setapak ke tempat air terjun itu.

Kemudian kami kembali ke mobil untuk melanjutkan perjalanan. Tak terlalu jauh dari situ, kami harus meninggalkan mobil lagi karena perjalanan selanjutnya harus ditempuh tanpa kendaraan sendiri.

Sebagai gantinya disediakan bus gratis yang akan membawa pengunjung ke lokasi-lokasi yang dikehendaki.

Tampak beberapa lahan tempat berkemah yang sudah penuh oleh tenda-tenda. Di jalan masuknya tertulis full. Rupanya para camper itu sudah memesan tempat jauh hari sebelumnya.

Kami berhenti di jalan nomor 16, di lokasi yang bernama Happy Isles Nature Center, yaitu tempat jalan setapak yang akan kami tempuh bermula.

Di sini terdapat cafetaria dan juga toalet umum. Kami makan siang dulu sambil menyaksikan tupai-tupai berkeliaran.

Saya memberi sepotong roti pada seekor tupai yang datang menghampiri dan segera saja dia berdiri dan meraih roti itu dengan kedua kaki depannya, kemudian memakannya.

Lucu sekali. Seekor lainnya tampak sedang memanjat sepeda yang disandarkan di bawah pohon dan berusaha menggigit kantung plastik berisi kacang yang berada di dalam keranjang sepeda itu. Maling cilik itu malah ditertawakan, bukan diusir.

Minum air sungai

Setelah beristirahat secukupnya, kami merasa siap untuk mendaki. Jalan setapak yang kami tempuh ini adalah sejauh 3 mil untuk sampai di Vernal Water Fall.

Mula-mula saya begitu bersemangat. Setelah tanjakan semakin terjal dan harus melewati pinggiran karang yang curam, saya kepayahan.

Hanya karena pesona alam saja saya menguatkan diri untuk terus mendaki. Sepasang suami-istri yang berjalan di depan kami masing-masing menggendong seorang anak.

Di punggung masing-masing anak itu ada secarik kertas. Terdorong oleh ingin tahu, saya dekati kertas itu. Terbaca dengan jelas di situ please return me back to the lodge no. 5.

Rupanya sang bapak khawatir anaknya hilang dalam perjalanan, sehingga memasang alamat di punggung si anak.

Kami kemudian menyeberangi sungai yang deras dan sangat jernih. Sayup-sayup sudah terdengar gemuruh air terjun di ujung sana, membuat saya lebih bersemangat lagi untuk segera sampai.

Di ujung jembatan ada tempat peristirahatan terakhir, keran air minum terakhir dan toalet umum. Bila tidak membawa air minum sendiri selanjutnya harus minum ... air sungai.

Jalan selanjutnya bercabang dua. Yang satu menunjukkan arah ke Nevada Water Fall dan lainnya menujukkan arah ke Vernal Water Fall. Kami memilih ke Vernal Water Fall karena lebih dekat.

Setelah susah payah mendaki, kami akhirnya tiba di dekat air terjun itu. Sungguh suatu keindahan alam yang belum pernah saya saksikan.

Air terjun itu tercurah dari dinding tebing batu di atas tempat kami berdiri, bagaikan menembus kabut di bawah. Lengkungan pelangi mengambang di dekat kami berdiri.

Tak terasa rambut dan muka saya sudah basah oleh percikan air terjun. Teman saya mengajak naik lagi ke tempat air terjun itu bermula.

Kami tiba di sebuah pelataran yang datar. Batu-batu besar yang rata menghampar di tepian sungai, sementara di atasnya tampak orang-orang berbaring melepaskan lelah.

Kami seperti terpancing untuk ikut-ikutan berbaring di situ dan terasa betapa nyamannya merebahkan badan di atas batu lebar yang menjorok ke sungai.

Gemercik air sungai, deburan air terjun yang sayup dari bawah sana, serta cicit burung yang terbang di antara pepohonan yang berada di atas kami, benar-benar membuat saya seperti sedang berada di suatu dunia yang lain.

Dibangunkan burung

Setelah rasa lelah mereda, baru terasa kalau kami sangat haus. Sambil pura-pura mencuci muka dan menengok ke kiri ke kanan, kami minum air sungai itu.

Mudah-mudahan saya tidak diare, ucap teman saya. Jam menujukkan pukul 16.30 ketika kami menuruni bukit. Bagaimanapun juga perjalanan turun selalu lebih mudah dari pada naik dan tidak memakan waktu lama.

Tujuan kami berikutnya ialah Yosemite Village, yang merupakan pusat kegiatan di dalam wilayah taman nasional ini.

Di sana terdapat beberapa lahan perkemahan, lodge (pesanggrahan), restoran, toko serba ada dan bahkan kantor pos.

Sekitar pukul 18.00 kami masuk ke salah sebuah restoran. Makan malam lengkap tarifnya US$ 21 untuk dua orang, sudah termasuk pajak.

"Sesudah perjalan yang melelahkan ini paling enak berendam di bak mandi yang hangat sambil mendengarkan musik," kata saya setengah mengkhayal kepada teman saya.

Teman saya hanya tertawa mendengarnya. Saat itu kami sedang dalam perjalanan menuju ke lahan perkemahan.

Sekitar Yosemite Valley penuh sehingga kami pergi ke Tamarack Flat yang berjarak sekitar 32 mil dari situ.Padahal kaki sudah sangat pegal dan punggung rasanya kaku.

Dari jalan utama kami harus membelok ke jalan yang kecil dan jelek. Hutan pinus mulai sepi dan remang-remang. Cicit burung hanya terdengar sekalisekali saja.

Timbul rasa waswas dalam hati saya, jangan-jangan kami akan terpencil sendiri di tengah hutan ini. Ternyata ketika kami sampai di Tamarack Flat, sudah banyak camper yang menggunakaan lokasi ini dan tampaknya mereka begitu menikmati suasana.

Nyala api unggun mengepul di depan tenda-tenda mereka dan penghuninya begitu santai berkumpul di depan api unggun menghangatkan badan, sementara minuman dan makanan lengkap di atas meja.

Kami mendapat sebuah kavling kosong. Teman saya mendirikan tenda, sedangkan saya menyalakan api unggun.

Di lokasi perkemahan ini setiap tempat berkemah di bagi per kavling dan dalam setiap kavling tersedia sarana yang lumayan untuk perlengkapan camping, seperti meja yang lengkap dengan bangkunya, kotak tempat makanan dan tungku api unggun.

WC umum yang tertutup tersedia tidak jauh dari situ, namun tidak terdapat tempat mandinya.

Ketika api sudah menyala, kami sudah duduk-duduk mengobrol sambil menghangatkan badan. Teman saya bercerita tentang tanah kelahirannya Yugoslavia.

Sedangkan saya bercerita tentang nenek saya di kampung, yang kolam ikannya selalu di serbu cucu-cucunya bila berkunjung pada musim liburan sekolah.

Teman saya tampak tertarik dan bertanya banyak mengenai berbagai jenis ikan yang terdapat di tanah air, tentu saja saya menjawabnya sepengetahuan saya yang terbatas dibandingkan dia yang memang ahli dalam bidang oceanography.

Malam itu rasanya saya sukar sekali tertidur dalam suasana hutan. Bunyi binatang malam yang saling bersahutan terasa amat ganjil. Teman saya tidak terpengaruh sama sekali.

Dia langsung terlelap di dalam kantung tidurnya. Saya tidak tahu pukul berapa saya tertidur. Ketika saya terbangun hari sudah terang dan cicit burung terdengar riang bersahut-sahutan menyambut matahari pagi.

Teman saya tampak sedang menyalakan api unggun.

Tenang tentram

Ketika waktu menunjukkan pukul 08.00, kami sudah berada dalam perjalanan kembali menuju ke Tuolume Meadow.

Jarak yang harus kami tempuh sekitar 43 mil dari Tamarack Flat. Di sini ada jalan sepanjang 200 mil atau 325 km, yang akan membawa pengunjung ke setiap lokasi.

Namun, jalan yang paling ramai dan banyak digunakan pengunjung hanya jalan di sekitar Yosemite Valley saja.

Tioga Road, atau jalan yang sedang kami tempuh sekarang yang menuju ke Tuolume Meadow ini, tertutup selama musim dingin.

Mungkin karena salju tebal selalu menutupi badan jalan, sedangkan jurang curam di sebelahnya terlalu berbahaya bila jalan licin.

Selama perjalanan ke Tuolume Meadow ini kami tidak berhenti, biarpun pemandangan di sepanjang jalan tampak sangat indah.

Maklum perut sudah tidak sabar minta diisi. Kami akan kembali lagi menelusuri jalan ini setelah sarapan pagi nanti.

Kami tiba di Tuolume Meadow pada pukul 09.00 dan langsung menuju ke cafetaria. Nikmat rasanya sarapan pagi di udara terbuka di meja yang berada di halaman cafetaria itu, sambil berjemur di matahari pagi.

Bangunan di sebelah cafetaria ini adalah sekolah untuk mendaki gunung yang bernama Yosemite Mountaineering School.

Selesai sarapan kami berangkat lagi menggunakan jalan yang tadi menuju ke padang rumput, yang terletak tidak terlalu jauh dari situ.

Teman saya menghentikan mobil di tepi padang rumput, kemudian kami berjalan melintasi mobil di tepi yang amat luas itu.

Dulunya padang rumput ini sebuah danau, namun airnya perlahan-lahan surut sampai berubah menjadi padang rumput yang nyaman bagi rusa.

Di tengah tempat itu mengalir sungai yang dangkal dan jemih. Tampak beberapa ekor ikan trout kecil berenang ke tengah. Kami berjalan menelusuri tepian sungai ini sambil sekali-kali berhenti memperhatikan tingkah rusa-rusa yang sedang minum di seberang.

Alam begitu tenang dan tentram. Selain rusa, beberapa jenis burung tampaknya menyukai kedamaian padang rumput ini.

Kami cuma berdua saja di padang rumput ini. Baru ketika kami sudah hampir mencapai tepi padang rumput di kaki bukit, kami berjumpa dengan tiga orang pria yang sedang asyik memancing.

Katanya, mereka sempat mendapat ikan trout, tetapi terlalu kecil sehingga mereka kembalikan ke sungai.

Sarang nyamuk

Kami meninggalkan Toulume Meadow pukul 13.30. Setelah makan siang kami berangkat dengan tetap menggunakan Tioga Road ini.

Kami mampir di Tenaya Lake, danau yang berair sangat jernih berwarna biru kehijauan, sekitar 10 mil dari Tuolume Meadow.

Di sekitar danau ini terdapat beberapa camping ground, namun yang masih dipergunakan hanya yang terletak di tepi jalan dan menghadap ke danau.

Di sana nyamuk minta ampun banyaknya. Sayang sekali, padahal pemandangan di sekitar danau itu sangat indah, karena dikelilingi gunung-gunung batu dan pohon-pohon pinus.

Tempat terakhir yang kami kunjungi berada dekat Olmsted Point. Bukit-bukit batu di sini mempunyai bentuk-bentuk yang unik.

Akar pohon-pohonnya seolah tertanam ke dalam retakan-retakan batu, karena di situ sama sekali tidak terdapat tanah.

Menjelang senja kami baru turun dan kembali ke Milpitas. Kami sampai di rumah pukul 21.00. Alangkah terkejutnya kami mendapatkan keadaan rumah berantakan.

Vas bunga, lukisan serta buku-buku berserakan di lantai. Pintu-pintu lemari di dapur terbuka. Kami saling pandang kebingungan.

Baru setelah kami menonton siaran berita di TV, kami tahu bahwa daerah sekitar San Fransisco itu baru saja digucang gempa. (Henny Safarina)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1988)