Foto itu adalah kejujuran rasa akan apa yang ia percaya tentang fotografi dapat menjadi bukti nyata secara fisik bahwa ‘Aku pernah ada di sini’.
Kelucuan proyek selfdies itu mungkin terlihat, tetapi Stephanie sangat serius.
Ia serius dengan batasan-batasan yang sehat untuk membuat posisi kematiannya senyata mungkin.
Mulutnya benar-benar menyentuh air seni saat berpura-pura mati di sebuah toilet umum di San Francisco.
Beberapa kali ia pernah bersentuhan dengan kotoran anjing. Begitu pengakuannya pada koran Inggris, Metro.
Berbaring di tempat yang kotor juga membuat banyak bajunya jadi rusak. Tapi baginya itu tidak jadi masalah karena atas nama seni.
Ia pernah diusir dari katedral Notre Dame saat berpura-pura mati untuk selfdies.
Ia juga pernah disuruh menghapus sebuah fotonya saat di Roma karena terlalu dekat dengan seorang politisi terkenal.
Bahkan ia pernah nyaris terinjak-ijak oleh sekelompok orang saat melakukan selfdie di sebuah acara marathon.
Seni menuntut pengorbanan dan Stephanie sepertinya mau menempatkan dirinya dengan serius pada posisi yang tidak nyaman itu.
Hal itu dilakukannya bila membantu dirinya untuk menyampaikan pesan anti-selfie di mana saja.
“Dalam budaya selfie sekarang ini, Kardashian, YouTube, fotoshop, meme-meme, kita melupakan apa tujuan dari sebuah fotografi itu.
Kita hidup dalam sebuah obsesi budaya virtual yang nyata,” kata Stephanie.
Baginya, hal itu tidak ada yang jujur, khususnya dalam fotografi. Segalanya ditambahkan, meninggikan pencitraan, popsentris, dan dilebih-lebihkan.
Segalanya adalah ‘panggung sandiwara’. Dan kita semua adalah para pemainnya.
Nah, Stephanie ingin mengembalikan cara berfoto atau memperlihatkan sebuah fotografi sebenarnya, sesorang yang nyata.
Untuk itu ia tidak harus terhubung ke kamera tetapi menjadi obyek bagi kamera.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR