Sandyakalaning Cendana, Saat Soeharto Ditinggalkan Semua Orang Kepercayaan

Ade Sulaeman

Editor

Soeharto mundur dari pemerintahan
Soeharto mundur dari pemerintahan

Intisari-Online.com – Gundukan kebencian, dari rakyat yang tak lagi merasa diayomi, terus membukit bergerak ke arah Soeharto.

Para petinggi Golkar saat itu membuainya, membutakan mata hatinya, hingga ia melakukan langkah fatal, bersedia dipilih lagi jadi presiden keenam kali (1997).

Padahal, alm. Dr. Roeslan Abdulgani, seperti yang diceritakan pada Sulastomo, pernah diminta Ibu Tien untuk membujuk Soeharto agar menolak jika dicalonkan lagi jadi presiden.

“Itu terjadi sebelum Ibu Tien meninggal, berarti mengenai Pemilu 1997 dan SU MPR 1998,” kisah Sulastomo.

(Baca juga: Anak Hilang yang Tidak Ditemukan Oleh Orang Tuanya, Satu dari Tiga Versi Silsilah Soeharto)

(Baca juga: Meski Tampan dan Rupawan, Nyatanya Pak Harto Tak Jago-jago Amat dalam Urusan Asmara)

(Baca juga: Pak Harto, Anak Tukang Judi dengan Masa Kecil yang Buram)

Betapapun, Soeharto manusia biasa, tak lepas dari khilaf, yang seberapa besar pun kekuasaan yang ingin dimiliki, masih ada kekuasaan Tuhan yang membatasi.

Kesadaran “narimo in pandum” mengiris-iris Soeharto hanya dalam waktu 90 menit.

Menurut Menseskab dan Mensesneg terakhir Orde Baru, alm. Saadilah Mursjid, kepada beberapa orang yang diundang ke Cendana pada 20 Mei 1998, Soeharto bulat hati akan membentuk kabinet baru esok harinya.

Orang yang terakhir pulang, mantan Wapres alm. Soedharmono, pukul 21.00 masih mendapat kesan yang sama.

Tapi, ternyata, pukul 22.30 Soeharto memanggil Saadillah Mursjid untuk menyiapkan segala sesuatu, karena besok Soeharto ingin mundur.

Ia merasa ditinggalkan semua orang kepercayaan.

Kesepian, satu-satunya teman di kala ia sendirian di kamar saat ini, mengantar Soeharto ke bibir kehidupan.

Penyakit yang merejamnya, menarik ulur nyawanya, tentu bukan hal yang menyenangkan baginya.

Mungkin itu cara Tuhan “mencuci”-nya supaya seperti kata Baiq Hartini, “Berakhir dengan khusnul khatimah.”

Menunggu senja beranjak malam, masih ada fajar esok hari untuknya.

Sendirian ia tergolek, di tengah sepi yang menghampakan, bau sawah dan lumpur masih mengusik batinnya.

* Sandyakalaning: menjelang keruntuhan

(Seperti pernah dimuat di Intisari edisi Mei 2007 dengan judul asli Di Antara Kaus Oblong & Sarung)

Artikel Terkait