Advertorial
Intisari-Online.com -Dunia transportasi di Indonesia kembali berduka.
Kali ini, pesawat Lion Air dengan nomor penerbangan JT-160 jatuh di Laut Jawa, persisnya di perairan Tanjung Karawang, Jawa Barat, pada Senin (29/10) pagi.
Setidaknya pesawat ini mengangkut 188 penumpang, termasuk dua pilot dan 5 awak kabin.
KNKT sendiri berharap kotak hitam (blackbox) segera ditemukan untuk menguak musabab jatuhnya Lion Air JT610.
Kita tahu, kotak hitam selalu menjadi pembicaraan utama dan komponen paling penting pesawat terbang yang paling dicari ketika terjadi kecelakaan.
Dari sejarahnya kotak hitam diciptakan pertama kali oleh Dr David Warren dari Australia tahun 1956.
Pada mulanya alat ini diberi nama ARL Flight Memory Unit.
Warren menciptakannya karena merasa prihatin terhadap kasus kecelakaan pesawat De Havilland Comet DH-106 yang bertahun-tahun terbengkalai karena ketiadaan saksi.
Warren memulainya dengan membuat piranti perekam percakapan di kokpit antara pilot, kopilot dan orang-orang di dalam kokpit.
Alat ini dibuat karena logikanya merekalah yang akan menjadi saksi utama atau orang yang paling dianggap paling tahu tentang kecelakaan.
Walaupun penting, awalnya ciptaan Warren tidak banyak dilirik maskapai penerbangan.
Perhatian baru diberikan pada 1958, setelah Sekretaris UK Air Registration Board, Sir Robert Hardingham, menganjurkan maskapai-maskapai di Inggris melengkapi maskapainya dengan perangkat ini.
Sejak itu perangkat perekam rancangan Warren mulai dilirik maskapai internasional.
Kini, kotak hitam telah menjadi perangkat utama bagi pesawat. Setiap pesawat sipil yang diterbangkan harus dipasangi perangkat ini.
Baca Juga : Jenazah dan Potongan Tubuh Penumpang Pesawat Lion Air JT610 Sudah Mulai Ditemukan
Keduanya diletakkan dibagian belakang atau ekor pesawat. Dibanding prototipe awal, kotak hitam masa kini sudah jauh lebih maju.
Dari yang semula hanya terdiri dari satu perangkat, yakni ARL, kini telah menjadi dua perangkat yang terpisah, yaitu perekam data penerbangan (Flight Data Recorder/FDR) dan perekam suara di kokpit (Cockpit Voice Recorder/CVR).
Perkembangan terakhir, sarana perekam FDR dan VCR sudah memakai solid-state memory yang dibentuk menjadi Chip atau kartu memori.
Chip ini menggantikan pita rekam magnetis. Dengan teknologi kartu memori ini, lama perekaman FDR bisa mencapai 25 jam dengan 700 parameter dan CVR mencapai dua jam penerbangan terakhir.
Jika dibandingkan menggunakan pita rekam megnetis yang hanya mampu merekam selama 30 menit penerbangan terakhir dan hanya 100 parameter, maka penggunaan chip benar-benar sangat efektif dan efesien.
Selanjutnya, chip ini dimasukkan dalam crash-survivable memory unit (CSMU) yang sangat tahan benturan.
CSMU ini terdiri dari tiga lapisan. Yang terdalam adalah lapisan aluminium tipis yang membungkus kartu memori.
Selanjutnya ada lapisan silika setebal kira-kira 1 inci yang gunanya untuk melindungi dari suhu panas.
Lapisan terakhir terdiri dari baja stainless setebal sekitar 0,25 inci. Untuk mengganti baja ini, bisa juga digunakan bahan dari titanium.
Karena fungsinya yang sangat penting, kotak hitam memang harus dilindungi secara maksimal.
Baca Juga : Kegiatan Zero Waste di Ancol sebagai Wujud Kepedulian Allianz terhadap Atlet Para Games
Untuk itu, lapisan pelindungnya (CSMU) pun harus melewati beberapa tes yang ekstrem. Tes tersebut adalah tes tubrukan, kebakaran atau tekanan.
Dalam sebuah tes kekuatan yang dilakukan L-3 Communications Aviations Recorder, perusahaan produsen kotak hitam, CSMU mampu bertahan dari tekanan sampai sebesar 3.400 G (gravitasi).
Artinya, CSMU mampu bertahan dalam suhu panas 1.100 derajat Celcius selama satu jam.
CSMU juga mampu bertahan dalam tekanan air garam (laut) selama 30 hari dan setidaknya mampu bertahan selama 24 jam di dalam tekanan laut dalam.
CSMU bahkan mampu melindungi diri dari cairan-cairan kimia mulai dari bahan bakar jet, minyak pelumas atau cairan kimia pemadam api.
Pada dasarnya, kotak hitam ini diciptakan untuk bertahan hidup. Dalam kondisi kecelakaan yang paling terburuk.
Cara kerja CVR sebenarnya sangat sederhana. Ia mampu merekam karena terhubung dengan mikrofon yang dipasang di dalam kokpit.
Setidaknya ada 3-4 mikrofon yang dipasang. Yaitu di headset pilot, headset co-pilot dan di dalam kokpit. Jika ada awak ketiga di dalam kokpit, headsetnya juga harus dipasangi mikrofon.
Cara kerja FDR juga hampir sama sederhananya. Yaitu dipasangnya kabel-kabel sensor di berbagai tempat di dalam pesawat.
Kabel-kabel sensor itulah yang nantinya mengirim data untuk mengisi parameter-parameter yang ada di dalam FDR.
Baca Juga : Kisah Pria yang 'Membelah' Gunung Selama 22 Tahun, Alasan di Baliknya Sungguh Menyayat Hati
Beberapa parameter yang bisa dicatat oleh FDR di antaranya adalah waktu, tekanan ketinggian, kecepatan angin, akselerasi vertikal, magneting heading, posisi kolom kontrol, posisi pedal kemudi (rudder), keseimbangan horizontal dan aliran bahan bakar.
Kotak hitam ini bisa bekerja dengan menggunakan sumber energi dari mesin pesawat.
Ia menggunakan listrik 28 Volt dari sumber daya searah (DC) atau 115 Volt dari sumber daya arus listrik bolak-balik (AC).
Kotak hitam juga dilengkapi peralatan suar bawah air (Underwater Locator Beacon/ULB).
Komponen tambahan ini sangat penting untuk pencarian pesawat yang mengalami kecelakaan di laut.
Dengan ULB, deteksi pencarian bisa dilakukan hingga kedalaman 14.000 kaki.
ULB akan mengeluarkan suara dengan frekuensi 37,5 kiloHertz atau setara dengan frekuensi ultrasonik.
Setelah terjadi benturan, suar akan mulai berbunyi “ping” per detik selama 30 hari.
ULB bekerja dengan tenaga baterai yang mampu bertahan hingga enam tahun.
Walau disebut kotak hitam, perangkat ini sebenarnya tidak berwarna hitam.
Ia justru berwarna terang, antara merah dan oranya, makanya dulu ia diberi nama “si telur merah” karena warnanya itu.
Tapi suatu ketika, seorang jurnalis nyeletuk pada Warren bahwa perangkatnya bagai kotak hitam yang indah.
Sejak itulah perangkat sangat vital itu diberi julukan Kotak Hitam dan terus dipakai hingga saat ini. (Agustinus Winardi)
Baca Juga : Lion Air JT 610 Jatuh, Hanya Lion Air yang Gunakan Boeing 737 MAX 8 di Indonesia, Ini Kelebihannya