Advertorial
Intisari-Online.com -Keinginan PT Indonesia Asahan Aluminium (Inalum) untuk segera merangkul PT Freeport Indonesia (PTFI) masih menemui sejumlah kendala. Salah satunya adalah persoalan lingkungan.
Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) yang digelar oleh Komisi VII DPR RI, Kamis (17/10) diketahui, pokok permasalahannya ialah hasil temuan dari Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) yang menyatakan adanya kerugian sebesar Rp 185 triliun yang disebabkan oleh aktivitas penambangan PT FI.
“Ekosistem yang rusak kalau direhabilitasi, itu Rp 185 triliun. Lazimnya kalau akuisisi ada due diligence, apakah faktor lingkungan sudah dipertimbangkan, dan jadi beban siapa?” tanya Ketua Komisi VII Gus Irawan Pasaribu.
Menjawab pertanyaan tersebut, Direktur Utama Inalum Budi Gunadi Sadikin tak menampik, isu lingkungan ini bisa menjadi penghambat pendanaan untuk menyelesaikan proses divestasi PT FI.
Baca Juga : Meski Punya Freeport, Indonesia Malah Tak Termasuk 10 Negara dengan Cadangan Emas Terbanyak di Dunia
Pasalnya, setelah setelah Sales Purchase Agreement (SPA), Inalum hanya tinggal melakukan pembayaran senilai US$ 3,85 miliar yang akan diperoleh melalui pendanaan dari sindikasi perbankan asing.
Namun, jika isu lingkungan ini tak selesai, maka perbankan tersebut tak akan mau mencairkan pinjamannya.
“Pembayaran setelah isu lingkungan ini selesai. Nggak mungkin uang keluar kalau isu ini tidak selesai, jadi kan sulit kita mendapatkan pendanaan dari institusi internasional. Tidak ada pencairan dana, payment tidak jadi,” ujar Budi.
Baca Juga : Kisah Gunung Emas Freeport yang Rutin Dihujani Peluru Pencabut Nyawa
Budi meyakinkan, persoalan lingkungan ini sudah diperhitungkan dalam perjanjian, sehingga apabila nanti Inalum sudah memegang mayoritas saham, holding pertambangan BUMN ini tak terkena imbasnya kecuali atas kepemilikan saham saat ini sebesar 9,36%.
“Dampak lingkungan sudah diperhitungkan dari due diligence kami. Yang bertanggung jawab PTFI, bukan Inalum sebagai pembeli,” imbuh Budi.
Namun, menurut Direktur Eksekutif PTFI Tony Wenas, angka sebesar Rp185 triliun itu bukan hasil temuan audit yang direkomendasikan kepada PTFI.
Angka itu pun menurutnya masih harus dikonsultasikan dengan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK).
Adapun, PTFI sendiri mendapatkan delapan rekomendasi dari BPK. Toni mengklaim, enam diantaranya sudah diselesaikan, dan sisanya dalam proses penyelesaian.
Sedangkan dari KLHK, ada 48 poin, dimana dari 30 yang menjadi instruksi, 24 diantaranya sudah selesai, dan enam sisanya dalam proses penyelesaian.
Saat ini pun, lanjut Toni, pihaknya masih melakukan konsultasi dengan KLHK untuk menyelesaikan persoalan ini.
“Perhitungan ini masih perlu didiskusikan lagi dengan KLHK, sampai saat ini kami masih konsultasi,” ujar Toni.
Baca Juga : Sah! Freeport Jadi Milik Indonesia Lagi, Pemerintah Kuasai 51 Persen Saham
Sementara itu, menurut Budi, selian persoalan lingkungan, penyelesaian proses divestasi ini pun masih menunggu kelengkapan administrasi berupa perizinan.
Baik yang perlu diperoleh oleh Freeport McMoran (FCX) dari regulator di sejumlah negara, maupun dari Kementerian ESDM, terutama soal Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK).
Soal pelunasan pembayaran, Budi menargetkan bisa terjadi pada bulan Desember 2018.
Target ini mundur, dimana pada saat penandatangan SPA pada 27 September 2018, Budi yakin bisa melunasi pembayaran pada bulan November.
“Tinggal administrasi dan izin-izin untuk bisa penuhi syarat dan pembayran sebelum closing. Diharapkan selesai bulan Desember,” ungkapnya.
(Ridwan Nanda Mulyana)
Artikel ini sudah tayang di Kontan.co.id dengan judul "Divestasi Freeport bisa gagal karena hal penting ini".
Baca Juga : Mewahnya Kota Kuala Kencana Milik PT. Freeport di Tengah Hutan Papua, Serba Modern dan Canggih!