Advertorial

John Lie, Tentara Sekaligus Penyelundup Senjata yang Sering Kelabui Patroli Kapal Perang Belanda

Ade Sulaeman

Editor

Intisari-Online.com -Indonesia sebenarnya memiliki salah seorang pejuang gigih dalam upaya mempertahankan kemerdekaan, khususnya di Angkatan Laut RI (ALRI).

Pejuang itu bernama Jahja Daniel Dharma alias John Lie (1911-1988).

Dalam sejarah perjuangan RI, nama John Lie memang tak begitu dikenal, tapi keberanian dan jasanya amat layak untuk dihargai.

Dari latar belakang sejarahnya ketika Belanda menerima penyerahan kekuasaan dan kendali keamanan di Indonesia dari Sekutu di awal 1946, langkah pertama yang dilakukan untuk melemahkan kekuatan para pejuang kemerdekaan.

Baca Juga : Perempuan Ini Rutin Minum 2 Gelas Air Kencing Setelah Cairan Itu Berhasil Sembuhkan Bengkak di Matanya

Caranya adalah dengan melakukan tindakan “pengucilan” alias blokade.

Blokade dilakukan atas seluruh teritorial Indonesia, baik laut, darat, maupun udara.

Tindakan Belanda tersebut tidak hanya menyusahkan Indonesia secara politis dan ekonomi, melainkan juga secara militer.

Para pejuang yang sebelumnya mengandalkan persenjataan eks-Jepang mulai kesulitan suku cadang dan amunisi, kecuali persenjataan yang sejenis dengan milik Belanda.

Baca Juga : Indonesia Beberapa Kali Membeli Senjata dari Israel Meski Tak Punya Hubungan Diplomatik, Kok Bisa?

Namun untuk mendapatkan pengganti senjata peninggalan Jepang, bangsa Indonesia harus menempuhnya dengan cara merebut dan mencuri perlengkapan militer dari Belanda.

Atau membeli dari pihak ketiga. Indonesia memiliki banyak sumber daya alam yang dapat digunakan sebagai sarana pembelian melalui barter.

Dengan modal beberapa kapal motor cepat, ALRI kemudian membentuk sebuah skadron khusus yang mampu bergerak cepat dan mampu beroperasi dalam kondisi cuaca apapun untuk menembus blokade laut Belanda.

Skadron inilah yang kelak dikenal sebagai Armada Penyelundup.

Baca Juga : Pengakuan 3 Orang Setelah Mati Suri: Begini Rasanya Berada di Antara Dunia Nyata dan Alam Baka

Salah satu tokoh ALRI yang berjasa melaksanakan berbagai operasi penembusan blokade laut adalah John Lie.

Pria kelahiran Manado 9 Maret 1911 ini pada masa sebelum Proklamasi Kemerdekaan RI 17 Agustus 1945 pernah menjadi jurumudi pada sebuah kapal milik KPM (Koninklijke Paketvaart Maatschapij) Belanda.

Ketika pecah Perang Pasifik (1941-1945), John Lie pernah direkrut untuk berdinas di armada kapal angkut logistik Sekutu.

Kemudian setelah Proklamasi Kemerdekaan RI dikumandangkan, John Lie bergabung dengan ALRI dan mengawali kariernya sebagai pejuang bahari di Pangkalan XII ALRI Cilacap sejak tahun 1946.

Saat itu ia mengepalai satu divisikhusus yang bertugas mengawasi pelabuhan dan menyelenggarakan fungsi syahbandar.

Pada saat Belanda melancarkan Agresi Militer tahun 1947, John Lie tengah bertugas memandu kapal dagang milik Kerajaan Inggris Empire Temby yang akan berlayar menuju Singapura.

Kala itu John Lie telah menyandang pangkat Mayor ALRI.

Sepanjang perjalanan menuju Singapura, berulang kali Mayor John Lie berhasil menyelamatkan Empire Temby dari ancaman serangan udara pesawat-pesawat terbang Belanda hingga sampai ketempat tujuan.

Setibanya di Singapura, Mayor John Lie menghadap perwakilan RI di Singapura untuk menyatakan kesediaannya bergabung dengan armada penerobos blokade ALRI yang dikoordinasikan oleh KPOLN (Kementerian Pertahanan Oeroesan Luar Negeri), yang berbasis di Singapura.

Mayor John Lie kemudian dipercaya untuk memimpin kapal jenisspeed-boatbermotor lambung PP.5 LB yang lalu diberi nama The Outlaw.

Nama ‘The Outlaw’ itu sendiri mencerminkan kapal yang suka melanggar hukum secara terang-terangan tapi tidak pernah tertangkap.

John Lie sendiri sangat mahir mengelabuhi kapal-kapal Belanda yang berpatroli dengan beragam cara.

Kapal cepat ALRI yang dikomandani oleh John Lie tersebut, mengawali tugas pertamanya pada September 1947 ke Labuhan Bilik untuk membawa alat-alat perjuangan, antara lain 16 pucuk pistol otomatissten gun.

Guna mengelabuhi patroli Belanda di sekitar perairan Labuhan Bilik, John Lie memasang bendera Taiwan, sehingga kapal itu dikira kapal dagang milik negerinya Chiang Kai Shek.

Berkat tipu muslihat itu. The Outlaw berhasil tiba di Labuhan Bilikdengan selamat.

Kegiatan John Lie ke Labuhan Bilik dilakukan berulang kali hingga Agresi Militer Belanda kedua di tahun 1948.

Setelah Belanda melancarkan agresi militernya yang kedua pada 1948 dan mengakibatkan jatuhnya ibukota RI Yogyakarta,

Pemerintah Inggris di Singapura melarang kapal-kapal dari Indonesia memasuki wilayahnya.

Larangan tersebut ditindaklanjuti dengan diperketatnya patroli maritim oleh AL Inggris dan Belanda.

Karena dinilai berbahaya bagi kegiatannya, John Lie kemudian mengalihkan operasinya ke daerah utara, yaitu antara Aceh-Penang (Malaysia)-Port Sweetenham-Phuket (Thailand).

Untuk memudahkan penyaluran logistik kapal sekaligus memperpendek rentang jarak tempuhnya, John Lie membangun pangkalan di tepian Sungai Tamiang, Aceh, namun kemudian dipindahkan ke Raja Ulak, Teluk Langsa.

Walau selama beroperasi, John Lie nyaris tidak pernah terpergok oleh patroli AL Belanda, namun suatu ketika sempat “apes” juga, nyaris tertangkap.

Kala itu The Outlaw baru saja keluar dari Pangkalan Raja Ulak. Tiba-tiba saja muncul empat kapal patroli Belanda.

Untuk mengecoh Belanda, The Outlaw melemparkan sebuah drum kosong yang lalu mengapung di lautan.

Tipuannya berhasil. Sementara Outlaw melarikan diri, kapal Belanda justru sibuk mengepung drum tersebut, karena mengira itu sebuah sekoci.

Menjelang berakhirnya Perang Kemerdekaan pada pertengahan 1949, Mayor John Lie dipercaya Pemerintah RI untuk memimpin KPOLN di Bangkok, Thailand.

Semua berkat keberanian dan pengalamannya dalam mengecoh AL Belanda dan Inggris.

Serta keakrabannya dengan para petugas atau pejabat pabean, juga kepolisian perairan baik di Singapura, Burma, Malaysia, maupun Thailand.

Mayor laut John Lie mengakhiri karirnya sebagai Kepala KPOLN ketika tercapai pengakuan kedaulatan akhir 1949 dan ditarik ke Jakarta untuk melapor dalam rangka konsolidasi.

Tugas John Lie tidak berakhir di atas meja selayaknya seorang perwira staf.

Krisis keamanan yang berkembang menjadi disintegrasi mengancam keutuhan dan kedaulatan NKRI pada awal tahun 1950-an.

Ia kembali dipercaya memimpin sebuah kapal perang ALRI jenis korvet, RI Radjawali.

Tugas pertamanya selaku Komandan Kapal Perang adalah melakukan operasi blokade laut atas perairan Ambon, Maluku, yang telah dikuasai oleh kelompok seperatis Repoeblik Maloekoe Selatan (RMS) pimpinan Dr. Ch. Soumokil. (Moh. Habib Asyhad)

Baca Juga : Mirisnya Kondisi Kebun Binatang di Korut, Bahkan Kura-kura Berenang di Kolam Berbau Busuk

Artikel Terkait