Advertorial

14 Tahun Pembunuhan Munir: Kapan Hukum Benar-benar Menguak Kebenaran?

K. Tatik Wardayati
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com – Hari ini, 14 tahun lalu, tepatnya 7 September 2004, Munir Said Thalib, putra terbaik dalam hal penegakan hukum, tewas diracun dalam penerbangannya menuju Amsterdam.

Berikut ini kesaksianSri Rusminingtyas, yang seharusnya menjemput Munir di Belanda, di hari kematiannya, seperti dimuat di MajalahIntisariedisi September 2010, dengan judulJemputan Terakhir untuk Munir.

Saya tetap menunggu Munir di depan pintu gerbang itu. Semakin banyak wajah-wajah Indonesia yang keluar dari sana. Tapi saya tidak melihat Munir. Ada pengumuman lagi dalam bahasa Inggris yang menyebutkan kata Munir, kali ini pun luput dari perhatian saya, sebab masih berharap Munir keluar dari gerbang bersama trolinya.

Saya tak percaya rumor, saya masih yakin Munir tidak meninggal. Akhirnya ada rombongan kru pesawat Garuda yang keluar, saya cegat mereka dan bertanya tentang kabar kematian Munir. Pramugari yang saya tanyai menyuruh saya menghubungi Garuda.

Baca Juga : 14 Tahun Lalu Munir Tewas Diracun Arsenik, Zat Mematikan yang Ternyata Terkandung dalam Beras

Saya mulai panik, tapi masih berusaha menahan tangis. Saya berlari mencari meja informasi. Saya sampaikan kalau saya penjemput Munir dan mencari kejelasan informasi apakah benar Munir meninggal di pesawat.

Ketika saya bertanya letak kantor Garuda, petugas perempuan yang melayani malah meminta saya menghubungi tiga laki-laki yang berdiri tidak jauh dari saya. Satu orang memakai jas hitam dan dua orang lagi berpakaian baju seragam polisi warna biru.

Saya kemudian tahu yang memakai jas hitam adalah Wim van Brookhoven dari Luchthaven Pastoraat. Dari Wim saya mendapat kepastian jika Munir memang telah meninggal.

Saya lepas kontrol, saya sudah tidak bisa menahan tangis. la memeluk dan menenangkan saya. Mereka kemudian mengajak saya ke kantornya. Di ruangan yang berada di lantai dua itu, saya diberi minum. Sekuat daya saya berusaha menenangkan diri.

Baca Juga : 14 Tahun Pembunuhan Munir, Ahli Forensik Mun'im Idries: Kasus Belum Tuntas, Tapi Dipaksa Tuntas

Rasanya dada penuh dan sesak. Sulit sekali buat saya mempercayai dan menerima penjelasan petugas Luchthaven Pastoraat jika Munir meninggal di pesawat. Dalam kepanikan dan kesedihan, saya tetap berdoa, pria yang meninggal itu bukan Munir yang sedang saya jemput.

Pasti bukan. Dia tidak sakit, dia sehat sekali ketika berbicara dengan saya kemarin pagi.

Setelah saya tenang, mereka mewawancarai saya. Polisi meminta saya memperlihatkan kartu identitas dan saya perlihatkan paspor karena surat menetap masih belum dikeluarkan pejabat setempat.

Mereka bertanya siapa Munir, di mana saya kenal Munir, apakah Munir memiliki masalah kesehatan, apakah Munir mempunyai musuh dan hal detail lainnya. Tampaknya itu adalah pertanyaan-pertanyaan dasar yang perlu diutarakan dalam kasus-kasus kematian di pesawat.

Baca Juga : Terpidana Kasus Pembunuhan Aktivis Munir Jadi Anggota Partai Berkarya ‘Besutan’ Tommy Soeharto

Saya ceritakan tentang Munir yang seorang aktivis HAM, bagaimana saya mengenalnya, dan termasuk salah satu yang hadir dalam pesta perkawinan kami tiga bulan lalu.

Saya juga ceritakan tentang bagaimana berkali-kali Munir memperoleh teror pembunuhan (karena Munir juga pernah cerita itu pada saya). Tak lupa saya sampaikan jika Munir juga memperoleh teror bom yang dipasang di halaman rumah orangtuanya di Malang.

Dua orang polisi itu ingin menegaskan kematian Munir ada hubungannya dengan pekerjaannya. "Kemungkinan itu ada, mengingat sepak terjangnya," jawab saya.

Saya tidak ingat berapa lama wawancara itu berlangsung. Begitu wawancara dianggap selesai, saya dipersilakan untuk menghubungi siapa saja yang ingin saya hubungi menggunakan telepon mereka.

Baca Juga : 13 Tahun Meninggalnya Pejuang HAM Munir: Kisah Manusia Biasa Bernama Munir

Saya hubungi Poengky dan mengabarkan apa yang saya ketahui. Saya lihat polisi yang berbaju biru juga menelpon. Tidak jelas dia berbicara dengan siapa, tapi yang saya dengar dia beberapa kali menyebut nama Munir.

Di antara jeda menghubungi kawan-kawan di Jakarta, suami saya menelepon menanyakan apakah saya sudah sampai di Utrecht. Saya hanya sanggup berkata, "Saya masih di Schiphol. Munir meninggal dunia ...." Tangis saya meledak lagi. Leo kaget luar biasa dan langsung menyusul ke Schiphol.

Saya baru dibawa ke mortuarium tempat Munir disemayamkan setelah Leo datang. Di sana sudah menunggu dua orang detektif dari The Royal Netherlands Marechaussee.

Ternyata, polisi berbaju biru yang kami temui sebelumnya menyerahkan kasus ini ke Marechaussee karena dianggap kasus penting. Kematian Munir dianggap cukup mencurigakan.

Baca Juga : Penegakan Hukum Pajak di Indonesia Seperti ‘Berburu di Kebun Binatang’, di Situ-situ Saja

The Royal Netherlands Marechaussee adalah polisi militer dengan tiga tugas khusus: menjaga keselamatan ratu, menjaga perbatasan dan menangani kasus-kasus penting yang berkaitan dengan negara lain.

Leo mengangguk

Saya masih ingat sekali apa yang terjadi pada waktu itu. Saya memasuki ruangan. Jenazah ada di sebelah kiri saya. Saya tidak mau menengok ke arah jenazah tersebut karena pada detik itu pun hati saya masih menolak kalau yang terbaring itu adalah jenazah Munir.

Saya memandang ke depan ke arah Leo. Saya menatap mata Leo dan saya masih berharap Leo menggeleng. Tapi ternyata Leo mengangguk.

Saya langsung menengok ke kiri, dan betul yang terbaring di tempat tidur itu adalah Munir yang sudah tak bernyawa. Langsung meledak lagi tangis saya.

Baca Juga : Istimewanya Pasukan Indonesia di Mata PBB Bagi Penegakan Perdamaian Dunia

Kedua detektif itu mewawancarai kami berdua. Kami ceritakan lagi tentang apa saja yang kami ketahui tentang Munir. Detektif memutuskan untuk melakukan autopsi untuk pemeriksaan selanjutnya.

Mereka akan memastikan apakah kematian Munir wajar atau tidak. Leo mewanti-wanti agar tidak seorang pun dapat mengakses barang dan dokumen Munir. Detektif berjanji hanya orang-orang tertentu saja yang bisa akses sebelum keluarganya datang.

Jadi pada waktu itu yang bisa akses ke kasus ini selain pihak berwenang adalah kami berdua dan ICCO (lembaga pemberi beasiswa).

(Kepergian Munir ke Belanda adalah untuk melanjutkan studi Strata 2 di Fakultas Hukum Universitas Utrech, atas beasiswa yang diperolehnya dari Interchurch Organization for Development Co-operation (ICCO) atau Organisasi Antargereja untuk Kerja Sama Pembangunan.)

Baca Juga : Makanan Terakhir yang Diminta Napi Sebelum Dihukum Mati, Dari Buah Zaitun Hingga Setumpuk Kotoran

Pada hari itu juga kami sudah memperoleh kepastian bahwa Suciwati, Poengky, Usman Hamid, Ucok, serta salah seorang saudara Munir akan tiba di Schiphol tanggal 9 September 2004 untuk menjemput jenazah.

Marechaussee dan Meneer Wim van Brookhoven mengatur bagaimana kami semua bisa bertemu.

Saya merasa betapa agungnya skenario Tuhan. Semua sudah diatur dengan sangat detail dan jelimet. Mungkin pihak yang akan mencelakai Munir tidak menyangka kalau Munir akan dijemput di Schiphol Airport.

Barangkali dalam rancangan pembunuh, begitu tiba di Schiphol, jenazah akan segera diserahkan ke KBRI oleh pihak Schiphol dan langsung dipulangkan ke Indonesia tanpa ada autopsi sama sekali. Tapi ternyata Tuhan berkata lain.

Baca Juga : Prajuritnya Dihukum Mati karena Tak Mau Turuti Perintahnya, Bung Karno Merasa Bersalah Seumur Hidup

Setelah enam tahun berlalu, duka pada 7 September itu tetap sulit saya hapus. Apalagi penyelesaian kasus Munir masih dirasakan belum menyentuh keadilan yang diharapkan.

Kapankah hukum akan benar-benar menguak kebenaran? Namun demikian, keluarga, sahabat dan para korban kekerasan masih terus berjuang, berdoa, dan berharap bahwa keadilan akan datang. Semangat Munir tidak akan padam.

Selamat jalan Munir. Engkau sudah memberikan lebih dari cukup kepada bangsa dan negara ini. Ucapan terima kasih kami tak kan pernah cukup.

Baca Juga : Bunuh dan Simpan Jasad Istrinya Dalam Freezer, Pria Ini Divonis Hukuman Mati

Artikel Terkait