Advertorial

Harga Daging Ayam di Venezuela Capai 14 Juta Bolivar, Apa Penyebab Negara Bisa Alami Hiperinflasi?

Intisari Online
,
Ade Sulaeman

Tim Redaksi

Intisari-Online.com - Beberapa waktu lalu sering diwartakan mengenai kondisi Venezuela yang inflasinya meroket tinggi.

Nilai mata uang bolivar Venezuela juga telah hilang 99,9 persen hanya dalam waktu singkat.

Terbaru, diberitakan harga I kg tomat mencapai 5 juta Bolivar, sementara ayam potong mencapai 14 juta Bolivar.

Dengan kondisi yang parah tersebut, Venezuela telah masuk dalam pusaran hiperinflasi.

Baca juga:Miliki Wajah yang Tak Biasa, Bayi Ini Bikin Orang Terkejut Sekaligus Sedih

Akan tetapi, apa sebenarnya hiperinflasi, apa penyebabnya, dan bagaimana solusinya?

Mengutip The Economist, Jumat (16/2/2018), hal pertama yang harus dipahami adalah definisi hiperinflasi.

Pada tahun 1956, ekonom Phillip Cagan yang bekerja di Biro Nasional Riset Ekonomi AS dalam studinya mendeskripsikan hiperinflasi sebagai periode di mana harga melonjak lebih tinggi dari 50 persen dalam sebulan.

Penyebab hiperinflasi beragam, namun biasanya adalah revolusi, perang, maupun transisi politik.

Baca juga:Jangan Kaget, Selingkuh Juga Bisa Membawa Dampak Positif Lho!

Kondisi hiperinflasi pertama yang tercatat adalah antara tahun 1795-1796 di Perancis pada periode revolusi.

Setelah Perang Dunia I pun terjadi hiperinflasi di Eropa, khususnya di Jerman.

Kemudian, hiperinflasi juga terjadi pada awal 1990-an pada negara-negara yang terdampak pecahnya Uni Soviet.

Namun demikian, perang dan revolusi tidak selalu menjadi penyebab inflasi. Ini yang terjadi di Zimbabwe dan terakhir di Venezuela.

Baca juga:Ilmuwan Harvard: Minyak Kelapa Adalah Racun! Ini Alasannya

Meski setiap kasus hiperinflasi memiliki kondisinya yang berbeda satu sama lain, namun ada pola umum hiperinflasi.

Biasanya, hiperinflasi berkaitan erat dengan permasalahan fiskal.

Kemungkinan besar ada tekanan pada anggaran negara karena beberapa kondisi, misalkan perang, belanja kesejahteraan, hingga ada intervensi pejabat.

Selain itu, hiperinflasi bisa terjadi setelah ada guncangan dan kejutan pada ekonomi.

Kondisi itu terjadi di Venezuela, yang terdampak anjloknya harga minyak. Di Zimbabwe, hiperinflasi terjadi pasca merosotnya produksi pertanian.

Guncangan pada ekonomi tersebut memberi dampak rentetan, seperti merosotnya penerimaan pajak yang menyebabkan ada "lubang" pada pembiayaan publik.

Pemerintah mengatasinya dengan mencetak uang, namun ini membuat inflasi terdorong naik.

Meskipun demikian, hiperinflasi biasanya tidak berlangsung lama. Ada dua hal yang bisa meredakan hiperinflasi.

Pertama, dengan kebijakan moneter terkait mata uang. Ini yang terjadi dengan Zimbabwe pada akhir 2008 dengan masuknya mata uang dollar AS, yang menstabilkan harga.

Namun, ada harga yang harus dibayar mahal oleh Zimbabwe. Negara tersebut kehilangan kendali atas sistem perbankannya dan industri tak lagi berdaya saing.

Kedua, hiperinflasi bisa berakhir dengan adanya program reformasi pemerintah.

Ini biasanya berkait erat dengan komitmen untuk mengendalikan APBN, penerbitan uang baru, dan stabilisasi nilai tukar. (Sakina Rakhma Diah Setiawan)

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Negara Bisa Alami Hiperinflasi?.

Baca juga:Wanita Ini Nekat Bawa Sendiri Bus yang Ditumpanginya karena Dianggapnya Berjalan Lambat, Sopirnya Ditinggal

Artikel Terkait