Advertorial
Intisari-online.com - Seperti halnya keruntuhan Kekalifahan Ottoman usai Perang Dunia I, krisis ekonomi yang kini menghantam Turki sudah diprediksi sejak lama.
Berbagai masalah kredit dan perbankan membuat Turki mengalami krisis ekonomi yang lebih panjang ketimbang yang seharusnya.
Meski demikian, anjloknya nilai tukar lira belakangan ini tetap mengejutkan banyak kalangan.
Presiden Recep Tayyip Erdogan kemungkinan bisa saja menangani krisis ini.
Baca juga:Mata Uang Turki Terjun Bebas, Begini Efeknya Terhadap Rupiah
Namun, dia malah memutuskan "beradu kuat" dengan Presiden AS Donald Trump terkait penangkapan seorang pendeta asal AS. B
Hingga akhir pekan lalu, satu dolar AS setara dengan 6,5 lira Turki atau kurang dari sepertiga nilainya pada 2014.
Alhasil, perekonomian Turki menghadapi level inflasi ekstrem di saat harga-harga komoditas ekspor melonjak yang memicu meningkatnya biaya produksi yang tak terjangkau para pengusaha Turki.
Kemungkinan perekonomian Turki akan menyusut hingga 10-20 persen sebelum krisis berakhir dan Erdogan membutuhkan keajaiban untuk membalikkan keadaan.
Baca juga:Erdogan Sindir Amerika: Kami Beli S-400 Untuk Dipakai, Bukan Disimpan di Gudang
Berbagai perusahaan Turki telah meminjam sekitar 300 jurta dolar AS atau sekitar Rp 4,3 triliun dalam mata uang asing.
Celakanya, para pengusaha Turki harus mengembalikan pinjaman mereka dalam lira yang nilainya terus merosot.
Apalagi, sebagian besar utang itu dibuat di saat nilai satu lira Turki setara dengan dua dolar AS. Sehingga, dengan nilai tukar saat ini, nilai utang Turki meningkat tiga kali lipat.
Sebagian pinjaman itu didanai sejumlah bank Turki yang meminjam dolar atau euro dari bank lain dalam skema pasar antar-bank jangka pendek dan meminjamkan uang itu kepada nasabah mereka.
Jika bank-bank Turki tidak bisa mengatasi masalah ini, maka sistem perbankan negeri itu akan kolaps. Namun, kemungkinan kolapsnya perbankan Turki tidak akan terjadi sebab bank BBVA Spanyol kini menjadi pemilik bank terbesar Turki, Garanti.
Kali terakhir masalah nilai tukar liar menimpa Turki adalah pada 2001, ketika negeri itu berpaling kepada IMF untuk meminjam uang dan menerima syarat penghematan yang amat ketat agar mendapatkan dana talangan.
Nampaknya Erdogan tidak akan meminta bantuan IMF. Dalam pidatonya akhir pekan lalu Erdogan mengatakan Turki sedang menjajaki kemungkinan dengan China, Rusia, dan Iran.
Bahkan, sebelumnya, Erdogan mengatakan, Turki akan menerbitkan surat utang "panda bond" di pasar keuangan lokal China. "Panda bond" adalah surat utang dengan mata uang yuan untuk penerbit surat utang non-China tetapi dijual di China.
Rencana ini bisa amat menguntungkan China jika merujuk wawancara stasiun televisi China CGTN dengan pakar ekonomi Turki, Emre Alkin.
"Stabilitas lira Turki akan dihasilkan dari kerja sama dengan negara-negara penting seperti China. Amat tidak mungkin bank sentral (Turki) melakukan sesuatu sendiri, kami membutuhkan sumber daya," ujar Alkin.
"Jika sumber daya ini datang dari China, tidak masalah, yang terpenting adalah bagaimana kami menggunakan sumber daya ini. Sungguh nyata kami membutuhkan nasihat, ide, dan saran dari negara seperti China," tambah dia.
Kini, Turki harus menjual sejumlah aset terpenting negeri itu. Dengan nilai tukar lira saat ini maka seluruh nilai indeks ekuitas Istanbul 100 hanya 35 miliar dolar AS atau sekitar Rp 511 triliun.
Jika para investor China membeli setiap saham setiap perusahaan yang ada di bursa saham Turki, maka negeri itu hanya bisa memiliki mata uang asing untuk mengurangi defisit saat ini selama tujuh bulan.
Baca juga:Punya Potensi Gigi Berlubang? Lakukan 8 Cara Mudah Ini untuk Memulihkannya
Altay Atli, seorang pakar ekonomi Turki, kepada CGTN mengatakan, negeri itu akan menawarkan kerja sama kepada China di berbagai pelabuhan dan infrastruktur transportasi lainnya. Saat ini, perusakan perkapalan terbesar China Cosco Pacific sudah memiliki 65 persen saham pelabuhan terbesar di Turki.
"Saya yakin Turki dan China akan mengembangkan kerja sama di pelabuhan-pelabuhan Turki lainnya di Laut Tengah, Laut Aegea, dan Laut Hitam," kata Atli. "Dan sebuah langkah penting bukan hanya menghubungkan ketiga pelabungan itu dengan menggunakan rel kereta api dan memperpanjang jaringannya tetapi menciptkan sebuah jaringan logistik," tambah dia.
China tentu saja melihat kondisi ini sebagai peluang berinvestasi dengan murah di Turki.
Perusahaan telekomunikasi terbesar China, Huawei sudah bekerja sama dengan Turk Telecom untuk membangun jaringan 5G yang akan meliputi cloud computing, jaringan internet, dan yang terpenting adalah keamanan publik.
Bahkan, Alibaba, pesaing utama Amazon dan Google, awal tahun ini sudah berinvestasi untuk platform e-commerce Turki, Trendyol.
Kombinasi dari jaringan mobile broadband, rel kereta api dan pelabuhan, e-commerce, dan e-finance akan menyedot Turki ke dalam perekonoian China.
Tak lama lagi, kontainer-kontainer dari berbagai suku cadang buatan China akan tiba di Turki dengan menggunakan kereta api untuk dirakit dan dijual ke Eropa atau Timur Tengah. (Ervan Hardoko)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Nilai Tukar Lira Anjok, Jadi Kesempatan China "Mencaplok" Turki?".