Advertorial

Meski Tanpa Bius, Peradaban Inca Lebih Jago Melubangi Tengkorak daripada Dokter Perang Sipil Sekalipun

Muflika Nur Fuaddah
Moh. Habib Asyhad
Muflika Nur Fuaddah
Moh. Habib Asyhad

Tim Redaksi

Pembedahan tengkorak di zaman modern tanpa anestesi dan antibiotik mungkin terdengar seperti hukuman mati.
Pembedahan tengkorak di zaman modern tanpa anestesi dan antibiotik mungkin terdengar seperti hukuman mati.

Intisari-Online.com- Pembedahan tengkorak di zaman modern tanpa anestesi dan antibiotik mungkin terdengar seperti hukuman mati.

Namun tindakan trepanasi (membuka tulang kepala untuk urusan medis) tanpa bius ini sejatinya telah dipraktikkan selama ribuan tahun oleh bangsa Inca.

Yang luar biasa, hasil pembedahan menunjukkan tingkat keberhasilan 80%.

Angka ini cukup tinggi dibanding dengan pembedahan selama Perang Sipil yang hanya memiliki tingkat keberhasilan hanya 50%.

Baca Juga:Mengapa Layang-layang Buatan Rakyat Palestina Sangat Meneror Israel Hingga Harus Kerahkan Sniper?

Trepanasi kemungkinan dimulai sebagai perawatan untuk luka di kepala, kata David Kushner, seorang ahli saraf di University of Miami di Florida.

Tetapi tidak semua tengkorak yang diobrak-abrik menunjukkan tanda-tanda cedera kepala.

Jadi mungkin operasi juga digunakan untuk mengobati sakit kepala kronis atau penyakit mental.

Untuk studi baru, Kushner bekerja sama dengan John Verano, ahli bioarchologi di Tulane University di New Orleans, Louisiana.

Baca Juga:Enggak Perlu Repot Ngetik di WhatsApp Cukup Ngomong Tulisan Akan Terketik Sendiri, Begini Caranya!

Mereka kemudian secara sistematis mempelajari tingkat keberhasilan di berbagai budaya dan periode waktu tertentu.

Tim ini memeriksa 59 tengkorak dari pantai selatan Peru (tempat bangsa Inca) dari tahun 400 SM sampai 200 SM.

Kemudian 421 tengkorak dari dataran tinggi Peru yang berasal dari 1000 M hingga 1400 M.

Serta 160 tengkorak dari dataran tinggi di sekitar Cusco, ibukota Kekaisaran Inca, dari awal tahun 1400 M hingga pertengahan 1500-an M.

Baca Juga:Punya Mobil tapi Tak Ingin Mengganggu Lingkungan, Arek Suroboyo Ini Putar Otak untuk Memodifikasi Garasinya dan Hasilnya Sangat Inspiratif!

Dengan melihat tengkorak, jika tulang di sekitar lubang bedah tidak menunjukkan tanda-tanda penyembuhan, peneliti akan mengetahui bahwa pasien meninggal selama operasi atau segera setelahnya.

Sedangkan tulang muda yang tumbuh di sekitaran lubang pembedahan menunjukkan bahwa pasien dapat bertahan hidup.

"Hasilnya luar biasa," kata Kushner, keberhasilan pembedahan secara berturut-turu mencapai tibgkat 40 %, 53%, dan 75-83%.

Teknik-teknik juga tampak membaik dari waktu ke waktu.

Baca Juga:Perbandingan antara Pesawat Kepresiden AS yang Antinuklir dan Pesawat Pemimpin Korut yang Usang dan Produk Perang Dingin Bak Bumi dan Langit

Yakni dengan menghasilkan lubang yang lebih kecil dan lebih sedikit pemotongan atau pengeboran, serta pengikisan yang lebih hati-hati.

Kushner dan Verano kemudian membandingkan tingkat keberhasilan tersebut dengan operasi tengkorak tentara pada masa Perang Sipil Amerika.

Ahli bedah medan perang juga merawat luka kepala dengan memotong tulang.

Namun menurut catatan medis Perang Sipil, keberhasilan pembedahan hanya sekitar 44%-54% sehingga banyak pasien meninggal.

Baca Juga:S-400, Sistem Rudal Canggih Buatan Rusia Seharga Rp5,5 Triliun yang Diinginkan Banyak Negara Namun 'Dicemaskan' AS

Namun Emanuela Binello, seorang ahli bedah saraf di Boston University mengungkapkan alasan perbedaan itu.

Menurutnya, trauma selama perang sipil berbeda dari jenis trauma masa Inca.

Bahwa prajurit Sipil kemungkinan terjangkit infeksi karena medan perang yang penuh sesak.

Meski begitu, Binello menyebut tingkat kelangsungan hidup dari peperangan di Peru sungguh mengagumkan.

“Kehidupan adalah harga atas kemajuan budaya kuno,” katanya.

Baca Juga:Direkam Secara Diam-diam, 17 Foto Eksklusif Ini Ungkap Kondisi Korea Utara yang Sebenarnya

Artikel Terkait