Intisari-Online.com - Kesenian tanjidor, merupakan salah satu kesenian rakyat Betawi yang terancam. Oleh sebab itu, tema tanjidor diangkat kembali dalam diskusi dan pentas di Bentara Budaya Jakarta, 20-21 Maret yang lalu.
Dalam diskusi yang digelar, dibahas tiga perspektif kesenian tanjidor, yaitu dari masa lalu, sekarang, dan yang akan datang.
Dari paparan Rachmat Ruchiyat, peneliti yang sudah mendokumentasi berbagai budaya Betawi, tanjidor mulai tercatat perkembangannya di masa tuan tanah di Batavia.
"Pada abad ke-19, di lingkungan Betawi ini, hiduplah tuan-tuan tanah kaya raya. Salah satunya: Majoor Jantje, yang tinggal di Citrap (Citeureup)," kata Rachmat.
Mayor Jantje ini, lanjutnya, memiliki sekelompok pelayan yang secara bergantian memainkan alat musik untuk menghiburnya, entah itu musik gesek, musik tiup, musik gamelan, atau musik disebut cikal-bakal gambang kromong, dalam sajian musik kamar.
Mayor bahkan memanggil guru pelatih atau mentor khusus untuk mengajari budak-budaknya yang berbakat musik.
Sampai muncul peraturan baru yang membuat perbudakan dibubarkan, para pemusik tersebut membentuk yang merupakan muasal kelompok kesenian tanjidor. Uniknya, mereka selalu bermain tanpa partitur. Tidak ada patron (ketentuan) yang baku. Inilah ciri yang mengikuti tanjidor sampai saat ini.
Di Societeit Concordia atau Balai Pertemuan Militer (yang sekarang kompleks Departemen Keuangan), tiap hari terutama Sabtu sore, dimainkan macam-macam musik sampai tahun 1942, era okupasi Jepang.
Kemudian Jepang masuk, bubarlah kegiatan ini. Pemusiknya masuk memperkuat grup tanji. Rombongan mereka main alias ngamen dari rumah ke rumah.
Namun saat periode Walikota Jakarta Raya Sudiro, tahun 1953, sayangnya grup tanjidor dianggap merendahkan harkat sehingga dilarang dalam bentuk apa pun.
Bertahan hidup
Said Neleng, pimpinan Sanggar Tanjidor Pusaka Tiga Sodara di Jagakarsa, mengatakan, ada tantangan mempertahankan grupnya yang mulai berdiri 1973 ini.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR