Intisari-Online.com - Tubuh yang sehat membutuhkan kurang lebih 45 zat gizi dalam jumlah tertentu. Suatu jenis atau golongan pangan memiliki keunggulan kandungan zat gizi tertentu. Misal: beras, jagung, dan umbi mengandung banyak karbohidrat; daging dan telur mengandung banyak protein. Orang yang biasa mengonsumsi pangan secara monoton dapat menimbulkan masalah gizi dan kesehatan, yaitu kekurangan zat gizi tertentu.
Diversifikasi pangan atau penganekaragaman pangan yang berhasil akan menopang ketahanan pangan nasional. Penganekaragaman konsumsi pangan bermanfaat untuk mengurangi ketergantungan konsumsi pada jenis pangan tertentu, misalnya beras. Penganekaragaman juga bermanfaat bagi produsen atau petani untuk memproduksi dan menyediakan pangan secara beragam.
Arah program penganekaragaman konsumsi pangan telah dituangkan dalam Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 22 tahun 2009 tentang Diversifikasi Pangan. Diharapkan setiap pemerintah daerah mampu menyusun berbagai program implementasi keanekaragaman pangan. Misalnya di Jawa Barat diterapkan “One Day No Rice” yang diadakan setiap hari Rabu. Namun, gerakan ini belum efektif karena sosialisasi yang masih kurang dan pola pikir masyarakat akan nasi yang sulit diubah.
Konsumsi pangan dan pilihan ragam pangan seseorang dipengaruhi berbagai faktor, seperti kebiasaan makan, norma agama, adat-istiadat, ketersediaan dan keragaman pangan yang tersedia, keterjangkauan, kebutuhan fisik tubuh, pengetahuan tentang pangan, kemampuan keluarga/per orangan, ketersediaan waktu untuk belanja dan memasak, ketersediaan sarana penyimpanan dan memasak, serta iklan. Salah satu faktor tersebut, yaitu kebiasaan makan terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari misalnya kebiasaan memakan nasi dari beras putih. Orang mengatakan bahwa jika kita belum makan nasi maka kita belum bisa dibilang makan.
Diversifikasi pangan tidak hanya bermanfaat bagi produsen atau petani untuk memproduksi aneka pangan yang beragam. Diversifikasi juga membangun kemandirian pangan selanjutnya membangun ketahanan pangan. Ketahanan pangan terkait dengan ketersediaan pangan dalam jumlah cukup untuk seluruh masyarakat atau kondisi terpenuhinya pangan bagi rumah tangga yang tercermin dari tersedianya pangan dalam jumlah yang cukup dengan mutu yang baik secara merata dan terjangkau serta aman.
Adanya penganekaragaman pangan maka masyarakat tidak tergantung seluruhnya pada makanan pokok yakni beras sehingga tingkat konsumsi beras dapat ditekan. Saat ini, konsumsi beras masyarakat Indonesia cukup tinggi sebesar 139 kg per kapita per tahun atau total 34,05 juta ton per tahun.
Diversifikasi pangan lokal dapat membangkitkan kembali kearifan lokal yang pernah dilakukan pendahulu kita terkait dengan pola makan, yaitu tidak menggantungkan konsumsi makanan pokok pada beras tetapi aneka umbi seperti singkong, ubi jalar, talas, gadung, gembili, suweg, ili-ili, ganyong, dan garut.
Contoh pangan lokal yang dapat dikembangkan adalah talas beneng (Xanthosoma undipes). Talas ini memiliki prospek sebagai bahan pangan pokok dan pangan fungsional. Talas beneng ini berasal dari Kabupaten Pandeglang, Provinsi Banten. Talas beneng dapat dikembangkan menjadi produk olahan berkualitas seperti kue kering, brownies, dan kue lumpur. Penggunaan tepung talas ini dapat dikombinasikan dengan tepung terigu agar hasilnya lebih baik.
Diversifikasi pangan juga menciptakan rantai nilai dan manfaat bagi masyarakat. Produk lokal yang dikembangkan/ditanam tersebut dapat memiliki daya saing lebih dan secara tidak langsung produktivitas petani lokal meningkat seiring dengan meningkatnya permintaan pasar.
Penganekaragaman pangan dapat dimulai dari lingkungan keluarga. Hal tersebut dilakukan dengan meragamkan pangan dalam satu waktu makan dan dalam menu satu hari. Setiap hari diupayakan ada pangan hewani dan pemilihan ragam pangan disesuaikan dengan pertimbangan peningkatan daya terima, tidak membosankan, dan mengurangi kehilangan zat gizi.