Twitter misalnya, pada Maret lalu mengumumkan telah menutup 636.248 akun yang terindikasi mempromosikan kegiatan teror sejak 2015. Teroris pun menjadi lebih sulit bergerilya di jejaring-jejaring sosial itu. Lalu mereka beralih ke Telegram.
Sejak 2015, sudah terjadi eksodus teroris yang berbondong-bondong pindah ke layanan tersebut lantaran tergoda dengan privasi tingkat tinggi yang ditawarkan.
“Kami melihat tren yang jelas dari pertumbuhan angka pemakaian Telegram oleh hampir semua grup teror di seluruh dunia,” ujar Gabriel Weimann, prosesor dari University of Haifa yang mengamati ekstrimisme online. Dihinggapi teroris, Telegram sendiri bukannya tinggal diam.
Pengelola aplikasi pesan instan ini menutup 78 Channel yang terkait ISIS pada November 2015, menyusul serangan teror di Paris, Perancis. Lalu ada ratusan kanal lain yang diblokir setelahnya. Namun upaya Telegram terkesan tidak maksimal dibandingkan jejaring-jejaring sosial di atas, karena Telegram sulit menyasar akun pribadi.
Kalaupun akun seorang teroris ditutup, dia bisa dengan mudah membuat akun baru lantaran mudahnya prosedur membuka akun di Telegram. Begitu pula dengan penutupan Channel terkait terorisme yang dinilai kurang efektif.
“Anda bisa membuat Channel baru dalam 30 detik,” kata Yayla. “Jadi sekarang, alih-alih hanya membuka tiga Channel, ISIS membuka 50 Channel untuk menyebarkan propaganda,” lanjut dia. “Menutup Channel tidak mengurangi aktivitas mereka.”.
Blokir bukan solusi? Akhir pekan ini, Pemerintah Indonesia mengumumkan rencana memblokir Telegram dengan alasan menemukan konten bermuatan radikalisme dan terorisme.
Dirjen Aplikasi dan Informatika Kemenkominfo, Semuel Abrijani Pangarepan, menyoroti fitur Channel di aplikasi chatting itu.
“Pemblokiran ini harus dilakukan karena banyak sekali kanal yang ada di layanan tersebut bermuatan propaganda radikalisme, terorisme, paham kebencian, ajakan atau cara merakit bom, cara melakukan penyerangan, disturbing images, dan lain-lain yang bertentangan dengan peraturan perundang-undangan di Indonesia,” tutur Semuel dalam keterangan tertulis yang dilayangkan kepada KompasTekno.
Rencana pemblokiran di Indonesia memancing reaksi dari Durov, sang CEO Telegram. Durov mengaku bingung karena sebelumnya tak pernah menerima permintaan atau keluhan apa pun dari pemerintah Indonesia.
Pada Juni lalu, Rusia, negara asal Durov, juga sempat mengancam bakal memblokir Telegram setelah mengetahui bahwa aplikasi chatting tersebut dipakai berkomunikasi oleh para pelaku pengeboman di kota Saint Petersburg, awal April 2017, yang menewaskan 15 orang korban.
Telegram kemudian mendaftarkan diri sebagai entitas penyedia informasi digital di Rusia, sesuai permintaan pemerintah kalau tidak mau diblokir di negeri tersebut. Kendati demikian, Durov menekankan pihaknya tetap tidak akan membocorkan informasi pribadi pengguna Telegram. Privasi tetap menjadi prioritas utama.
Seandainya diblokir, apakah penutupan Telegram bakal efektif mengurangi kegiatan terorisme? Durov mengatakan bahwa, kalaupun itu terjadi, para teroris cukup berganti platform untuk mengakali pemblokiran. Parker mengutarakan pendapat senada.
“Dengan menutup Telegram, cuma akan membuat ISIS berpindah ke platform lain,” katanya. Bahkan, dia mengatakan para pelaku terorisme telah mulai mencari alternatif lain karena Telegram belakangan banyak mendapat sorotan.
Mungkin memang bukan mediumnya yang menjadi masalah, karena toh ada banyak medium serupa. Yang lebih penting, bagaimana caranya mencegah medium apa pun disalahgunakan oleh sebagian pihak. (Oik Yusuf/Kompas)
Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Mengapa Aplikasi Telegram Disukai Teroris?",
Source | : | kompas |
Penulis | : | Afif Khoirul M |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR