Intisari-Online.com – Kisah dimulai pada tahun 2000, ketika Wolfe, kemudian tinggal di Midville, Idaho, membantu orangtuanya mengemas hadiah Natal berupa kotak sepatu untuk anak-anak di Filipina. Proyek yang dijalankan oleh Operasi Natal Anak melalui Purse Samaritan itu, mengisi kotak-kotak sepatu dengan perlengkapan sekolah, perlengkapan mandi, dan mainan anak-anak.
Sebagai bagian dari proyek itu, di setiap kemasan kotak sepatu disertakan foto isi hadiah. Tanpa sengaja foto Wolfe dengan pakaian koboi berlatar belakang pedesaan masuk ke sebuah kemasan kotak sepatu itu. Kemasan kotak sepatu itu pun disalurkan melalui gereja.
Selama hampir satu dekade, Wolfe tidak pernah memikirkan mengenai itu.
Hingga suatu hari pada tahun 2009, Wolfe, 21, mendapatkan permintaan pertemanan di Facebook dari Joana Marchan. Karena merasa tidak mengenal, Wolfe mengabaikan. Dua tahun berlalu. Marchan kembali mengirimkan permintaan lain. Kali ini, karena penasaran, Wolfe mengirim pesan kepada Marchan bagaimana ia mengenalnya.
Marchan pun bercerita mengenai hadiah kotak sepatu yang sangat berarti baginya. Wolfe sudah lupa akan hal itu. Rupanya, Marchan telah mengirimkan ucapan terima kasih sudah menerima kotak sepatu itu, sayangnya tidak sampai kepada Wolfe.
Akhirnya mereka berdua mulai berkomunikasi Facebook dan menemukan berbagai kecocokan termasuk hobi mendengarkan musik kristiani dan soal keyakinan.
Setelah berhubungan satu tahun melalui dunia maya, mereka memutuskan untuk bertemu langsung. Pada bulan Mei 2013, setelah lulus SMA, Wolfe telah menabung cukup uang dengan bekerja sebagai pembuat jalan dan jembatan pada ayahnya. Ia pun terbang ke Kota Quezon, pinggiran Manila, Filipina, selama 10 hari.
“Aku tahu aku mengambil risiko besar,” kata Wolfe. “Aku tidak pernah bepergian sendirian, apalagi ke luar negeri sebelumnya, dan bertemu dengan orang yang tidak pernah saya kenal sebelumnya. Saya pikir itu adalah mimpi.” Wolfe benar-benar menghabiskan penerbangannya dengan rasa gugup, cemas, dan bersemangat, campur aduk dalam dirinya.
“Ketika aku akhirnya sampai dan melihatnya, aku benar-benar harus mencubiti diriku beberapa kali karena aku pikir ini adalah mimpi,” kata Wolfe. “Aku langsung tertarik padanya.”
Rupanya Marchan pun merasakan hal yang sama.
Keluarga Marchan membuka mata Wolfe bagaimana orang lain hidup. Rumah Marchan yang kecil hanya dengan sedikit furniture, dengan delapan anggota keluarganya tidur dalam satu ruangan.
“Di Amerika, banyak orang diberkati dengan banyak hal, tetapi setelah melihat rumah Joana, aku mendapatkan pandangan yang berbeda tentang bagaimana orang hidup,” kata Wolfe.
Penulis | : | K. Tatik Wardayati |
Editor | : | K. Tatik Wardayati |
KOMENTAR