Intisari-Online.com -Ada saatnya saya heran terhadap dirinya sendiri. Salah satunya yang terjadi pas pada hari Imlek baru-baru ini. Hari itu menurut penanggalan Tionghoa adalah 1 Ciagwee 2566. Dalam bahasa kita: tanggal 1 Bulan Pertama tahun 2566.
Seperti biasa saya berjalan melewati meja bufet di mana terpampang foto Ibu almarhum. Tak seperti biasanya, saya tergerak untuk menghadap foto itu, lalu menyoja (menangkup-lipat kedua tangan di depan dada) sambil berkata pelan, “Kiong Hie Mami.” Itu cara “lama” kaum peranakan Tionghoa di Indonesia mengucapkan selamat hari Raya Imlek, yang diambil dari bahasa Hokian (Fujian). Barangkali karena banyak peranakan Tionghoa di Indonesia berasal dari Fujian.
Nama dari Kakek
Nama asli saya adalah Lie Lian, bermarga Oey. Nama saya, seperti nama semua cucu kakek, sudah dipilih oleh Kakek. Semua cucu perempuan Kakek berakhir dengan “Lian” yang artinya “pertalian yang erat”, karena Kakek menginginkan semua cucunya kompak. Lie (dibaca li) yang berarti cantik, adalah pilihan yang jamak bagi nama anak-anak perempuan.
Jadi dari soal nama saja, saya menyadari bahwa Kakek yang sangat mementingkan ajaran Kong Hu Cu itu, berusaha menuruti praktik yang sangat baik dalam budaya Tionghoa. Kakek saya sering disebut oleh Ibu saya, sejenis siucai, sastrawan. Ia bukan tipikal orang keturunan Tionghoa yang terkenal “hanya tahu” berdagang. Dia membaca sastra klasik Tionghoa dalam bahasa dan tulisan aslinya; dan setiap hari ia mendengarkan kisah pewayangan dalam bahasa Jawa. Ia meminta laporan rapor semua cucu dan mengkopinya lalu mengirimkan lewat pos kopi tersebut kepada semua cucu. Kakek sangat mementingkan pendidikan.
Latar-belakang campur aduk
Menurut silsilah, saya adalah keturunan keenam dari leluhur saya bernama Oey Yan (dibaca: ui yan, dalam bahasa Mandarin: Huang Yan) yang datang dari Provinsi Fujian (Hokian), Tiongkok. Dia datang pada abad ke-19 dan seperti umumnya imigran pada masa itu, menikah dengan perempuan lokal.
Budaya dalam keluarga kami bukan hanya Tionghoa, tetapi juga Jawa, karena kami tinggal di Jawa Tengah. Di rumah bahasa dan budaya yang dipakai adalah campuran bahasa Melayu pasar, yang di dalamnya mengandung bahasa Indonesia, Jawa, Tionghoa, biasanya hokian, dan Belanda. Orangtua kami sejak kecil dididik oleh sistem Belanda, mereka berpikir dalam bahasa Belanda, berbicara dalam bahasa Belanda, sehingga nilai-nilai barat pun terajarkan. Kami dididik dengan disiplin belanda, kami mengerti bahasa belanda, tetapi membaca kisah pewayangan dan cerita silat. Kami juga membaca buku-buku dongeng barat dan kisah para penemu. Ibu memastikan bahwa dia selalu membelikan kami lebih banyak buku ketimbang mainan.
Ibu sendiri, pada masa penjajahan Jepang, sempat mempelajari bahasa Tionghoa sehingga ia cukup fasih berbicara dalam bahasa tersebut. Maka siapa pun yang memahami latar belakang saya, akan sepakat, bahwa latar belakang itu benar-benar “campur aduk”. Saya benar-benar anak peranakan.
Apa beda Kiong Hie dengan Gong Xi?