Intisari-Online.com -Di masa depan, Nusa Tenggara Timur NTT akan mengandalkan ekowisata sebagai daya tarik pariwisata. Demikian yang diutarakan oleh Kepala Dinas Pariwisaata Provinsi NTT Alexander Sena, seperti dilansir Kompas.com. Hal ini cukup beralasan karena NTT memiliki potensi budaya dan sumber daya alam yang cukup mumpuni.
Konsep ekowisata yang paling populer adalah desa wisata. Sejak 2012, pemerintah provinsi telah menggelontorkan Rp50 juta per desa untuk pengembangan desa wisata. Sementara jumlah desa yang dilibatkan adalah 50 desa sejak 2012 hingga 2018 nanti.(Baca juga: Pada 2018, Akan Ada 270 Desa Wisata di NTT)
Desa-desa yang dilibatkan tentu saja harus memiliki kriteria tertentu. Yang paling utama adalah adanya kelompok-kelompok masyarakat yang bergerak di bidang wisata atau berpotensi wisata. Untuk memoles potensi yang ada, maka diadakan pelatihan sadar wisata bagi kelompok masyarakat tersebut. Tidak lupa, pelatihan juga diberikan kepada para pemilik homestay.
“Oleh sebab itu, pelestarian alam NTT harus diutamakan sebagai daya tarik,” ujar Alexander. Begitu juga dengan potensi-potensi wisata lain seperti Pulau Komodo, Danau Kelimutu, titik-titik penyelaman di Riung, Pulau Kepa di Alor, juga di Teluk Maumere.
Selain potensi alam, ada juga potensi budaya. NTT memiliki banyak tradisi unik seperti penangkapan ikan paus di Lembata, suku-suku tradisional yang masih hidup dan melestarikan tradisi nenek moyang di Wae Rebo, juga ada tradisi Pasola di Sumba.(Baca juga: Mbaru Niang dan Persaudaran Wae Rebo)
Meski demikian, cita-cita tersebut akan sia-sia jika infrastruktur yang menghubungkan potensi-potensi wisata itu tidak dibangun sebaik mungkin. Misalnya aksese penerbangan yang saat ini masih berkonsentrasi di Labuan Bajo dan Kupang. Begitu juga dengan fasilitas penginapan yang masih sangat terbatas.
Karena di masa yang akan datang NTT akan mengandalkan ekowisata sebagai daya tarik pariwisatanya, maka pembangunan infrastruktur harus digalakkan. “Hotel masih banyak yang kelas melati,” ujar Alexander.