Intisari-Online.com -Tahun kabisat? Apa itu tahun kabisat? Sejak kapan istilah itu digunakan? Pertanyaan ini kerap muncul di benak kita tiap menjelang datangnya tanggal 29 Februari. Benar, tahun Kabisat diidentikkan dengan munculnya angka 29 pada akhir bulan kedua kalender Masehi itu.
Istilah tahun kabisat—berikut tanggal angka 29 pada bulan Februari—pertama kali digunakan sekitar 1.971 tahun yang lalu.
Perlu diketahui, munculnya tanggal 29 Februari berkaitan dengan perjalanan manusia memahami pergerakan benda-benda langit yang menjadi acuan serta waktu. Peradaban Sumeria memiliki kalender yang sederhana. Setahun terdiri atas 360 hari dan tiap bulan terdiri atas 30 hari.
Sistem kalender Sumeria itu kemudian diadopsi oleh Mesir Kuno. Namun, kemudian Mesir Kuno sadar bahwa ada kesalahan dalam penanggalan Sumeria. Mereka lalu menambahkan lima hari dalam setahun sehingga setahun dalam kalender Mesir Kuno adalah 365 hari.
Bertahun-tahun manusia tak mengenal 29 Februari. Hingga kemudian, Kaisar Julius Caesar menemukan ada yang tak beres. Dalam tradisi Romawi, tanggal 25 Desember diperingati sebagai perayaan Natal, hari kelahiran Dewa Matahari. Di masa Julius, perayaan Natal berganti menjadi tanggal 21 Desember.
Tanggal 25 Desember sendiri saat itu menandakan saat matahari berada pada titik paling selatan, 23,5 derajat Lintang Selatan, disebut equinox.
Pergeseran Natal sekaligus equinox itu menandakan adanya ketidaksinkronan penanggalan dengan pergerakan benda-benda langit yang sebenarnya. Kaisar Julius pun meminta astronom kerajaan, Sosigenes, untuk mengatasi hal itu. Tahun 45 Masehi, Sosigenes mengusulkan penambahan satu hari pada bulan Februari.
“Sejak saat itu, ada tanggal 29 Februari,” kata Kepala Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) Thomas Djamaluddin. Tahun saat bulan Februari ditambah sehari disebut tahun kabisat. Dalam kalender yang disusun pada masa Julius, disebut kalender Julian, tahun kabisat terjadi setiap empat tahun sekali.
Semua berlangsung lancar hingga masa Kaisar Gregorius. “Astronom kaisar mendapati bahwa waktu equinox sudah bergeser dari tanggal 21 Desember menjadi tanggal 10 Maret. Kaisar menghendaki equinox dikembalikan ke tanggal 21 Desember,” kata Thomas.
Thomas mengatakan, pergeseran itu karena penambahan hari pada bulan Februari berlebihan.
Dalam kalender Julius, satu tahun dihitung 365,25 hari. Itu ternyata tak cukup tepat. Satu tahun yang sebenarnya berlangsung 365,242 hari. Kalender Julius 0,058 lebih panjang. Selisih itu yang kemudian terakumulasi selama ribuan tahun hingga mampu menggeser waktu equinox.
Untuk mengatasi hal itu, kriteria tahun kabiset pun diubah. “Dalam kalender Gregorian, kriteria tahun kabisat bukan hanya empat tahun sekali,” kata Thomas.
Untuk tahun pergantian abad, seperti 1700,1800, 1900, dan 2000, ada tambahan kriteria. Bilangan tahun tersebut harus habis dibagi 400. Jadi, tahun 1700, 1800, dan 1900 bukan tahun kabisat. Tahun 1600 dan 2000 adalah tahun kabisat. “Penyesuaian itu untuk menghapus kelebihan 0,058 yang terjadi setiap tahun,” tambah Thomas.(Kompas.com)