Jangan Pernah Gunakan Kalimat Keras dan Memerintah saat Mendidik Anak

Ade Sulaeman

Editor

Jangan Pernah Gunakan Kalimat Keras dan Memerintah saat Mendidik Anak
Jangan Pernah Gunakan Kalimat Keras dan Memerintah saat Mendidik Anak

Intisari-Online.com - Dalam upaya untuk mendidik, terutama mendisplinkan anak, orangtua kadang merasa lebih mudah untuk menggunakan kata-kata yang keras dan cenderung memerintah. Tujuannya jelas, agar anak mudah untuk menurut.

Padahal, menurut konselor sekaligus Parental Coach, Elliyati Bahri, orangtua justru dituntut untuk menggunakan kalimat yang rama dan tak memerintah agar sikap disiplin anak tumbuh atas dasar kesadaran, bukan keterpaksaan.

Sebagai calon pemimpin masa depan, menurut Elli dalam Seminar Pendidikan Keluarga di Kabupaten Semarang, Minggu (1/5/2016) siang, anak harus dididik menggunakan pendekatan yang ramah otak, dengan bahasa yang lebih persuasif. Misalnya saat orangtua menyuruh anak untuk shalat. Biasanya orangtua menggunakan kalimat perintah, "ayo shalat!".

Cara komunikasi dengan cara berteriak atau memerintah dengan suara melengking, akan membuat anak merasa tergores harga dirinya. Orangtua bisa menggunakan kalimat yang lebih ramah, seperti, "Nak, kamu Shalatnya mau setelah main sepeda atau ngerjain PR?. "Sehingga apapun jawaban sang anak akan setuju," ujar Elli yang juga pakar Neuro Linguistic Programming (NLP) ini.

Contoh lainnya, lanjutnya, saat harus memerintah anak untuk mengerjakan PR. Orangtua bisa melakukannya dengan bahasa yang lebih persuasif seperti ‘"Kalau PR-nya sudah dikerjakan, ibu mau bikinkan minuman coklat atau jus?".

Cara-cara persuasif tersebut, imbuhnya, akan menyibukkan pikiran sadar anak dengan pilihan yang ditawarkan. Sementara sugesti perintahnya agar sang anak mau mengerjakan PR yang menjadi kewajibannya.

Komunikasi adalah kunci dari pendidikan anak. Inilah yang harus didorong agar dilakukan para ibu di Indonesia. Sebab, anak yang mengalami kekerasan secara verbal, seperti sering dibanding- bandingkan, di-bully, serta memberi label, dapat menimbulkan kecenderungan jiwanya akan kerdil.

Pada tahun 2025 mendatang, Indonesia akan mengalami bonus demografi. Di mana negara akan memliki ledakan penduduk usia produktif yang luar biasa. Pada kondisi ini, diharapkan jangan sampai terjadi karena anak-anak yang gagal dalam pertumbuhan emosionalnya, karena anak merupakan masa depan bangsa.

"Maka orang tua harus sadar, ini merupakan aset bangsa dan tidak akan pernah terulang kembali bagi kita. Tinggal kita sendiri sadar atau tidak untuk memanfaatkan atau hanya sekedar melewatkan momentum ini,"tegasnya.

Elli menambahkan, hanya dengan kelembutan, kasih sayang dan hanya dengan cinta, anak- anak akan menurut dan patuh pada orangtua, karena kesadarannya yang tumbuh dan bukan karena keterpaksaan.

(Syahrul Munir/kompas.com)