Advertorial
intisari-online.com
Intisari-online.com - Sejumlah penambang pasir di Sungai Progo, Sleman Yogyakarta, harus bekerja keras seharian untuk menghasilkan uang sekitar Rp100.000 sehari.
Apalagi jika Sungai Progo yang di masa Perang Diponegoro (1825-1830) pernah digunakan untuk sarana pertahanan terakhir di sebelah barat Yogyakarta itu sedang banjir.
Para penambang pasir tradisional harus masuk ke air, lalu membongkar batu-batuan untuk kemudian mengambil pasirnya menggunakan sekop pendek yang dinamai senggrong.
Pasir yang dikumpulkan di pinggiran sungai lalu diangkut truk untuk kemudian dibawa kepada para pengepul pasir.
Demi menopang stamina tubuh yang harus bekerja keras seharian itu, para penambang pasir lokal ternyata biasa mengkomsumsi menu berupa ‘jamu’ yang memiliki nama khas ‘sengsu’.
Kosa kata menu ‘sengsu’ memang sudah akrab di telinga masyarakat Yogyakarta baik bagi mereka yang suka mengkonsumsinya maupun yang tidak sama sekali.
Kata ‘sengsu’ berarti ‘tongseng asu’ atau arti harafiahnya dalam Bahasa Indonesia adalah masakan daging anjing yang dimasak seperti rica-rica.
Konon jika seseorang mengkonsumsi sengsu akan mendapatkan tambahan stamina sehingga siap bekerja keras kembali.
Demi menyamarkan kata sengsu yang di telinga warga Yogyakarta terkesan kasar, para penjual sengsu yang para pelanggannya rata-rata harus antre kerap memberi nama menu dagangannya sebagai ‘mendo prucul’.
BACA JUGA:Bukan Cuma Centang Biru, Ada Cara Lain Melihat Kapan Pesan WhatsApp Dibaca, Lho!
Arti mendo prucul yang merupakan bahasa Jawa halus adalah ‘kambing yang bisa cepat berlari’. Jika diasosiakan terhadap jenis binatang yang dimaksud adalah anjing itu sendiri.
Tapi dalam gurauan khas Yogyakarta, anjing juga sering disebut sebagai ‘wedus balap’ mengacu kepada anjing yang jika sedang lari ‘bisa ngebut seperti motor balap’.
Namun ada juga penjual yang menggunakan nama yang mungkin dimaksudkan lucu dan agar menarik konsumennya, yakni dengan nama ‘sate guguk’ atau malah tongseng ‘scooby doo’.
Sejauh pengamatan penulis menu sengsu di Yogyakarta masih mudah ditemui dan biasanya dijual di warung tenda perempatan jalan, pinggir persawahan berupa bangunan rumah dari anyaman bambu, pinggiran desa yang ditumbuhi pepohonan rimbun, dan tempat ‘remang-remang’ lainnya.
Ciri khas warung penjual sengsu adalah dijual saat petang tiba dan untuk pencahayaan sekaligus ‘penanda’ sebagai penjual sengsu, penjualnya sengaja menggunakan penerangan lampu minyak.
Tujuan penggunaan lampu minyak memang disengaja agar suasana tetap gelap sehingga para konsumen yang sedang makan atau sedang menunggu tidak begitu dikenali wajahnya.
Pasalnya para pembeli sengsu di Yogyakarta rata-rata memiliki mental malu-malu kucing. Mau tapi malu jika dilihat orang lain apalagi orang yang malah sudah dikenalnya.
BACA JUGA:Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu
Satu porsi sengsu dihargai Rp15.000 dan jika ada konsumen yang membeli jumlah banyak, misal lebih dari Rp 100.000 selalu membuat terkejut penjualnya.
‘’Ada orang luar kota yang pesan banyak ya...?’’ tanya penjual sengsu yang penasaran tapi merasa senang itu.
‘’Yaaa ono sedulur Jakarta sing teko...(Yaaa ada saudara dari Jakarta yang datang...)," jawab si pembeli sesuai pengamatan penulis.
Dalam gurauan anak-anak muda di pedesaan Yogyakarta yang kadang-kadang mengeluh karena sulit mendapat pekerjaan formal, mereka malah punya pepatah, lebih baik jualan sengsu karena pasti laris.
Yang dimaksud laris ini adalah sengsu yang dijual lepas Magrib biasanya sudah habis tandas menjelang pukul 21.00 WIB.
Jika para konsumen berusaha mencari sengsu pukul 22.00 WIB dipastikan akan kecele karena semua pedagang sengsu sudah tutup.
Untuk mencari penjual sengsu yang para penjualnya tersebar di sepanjang desa dan jalur jalan Kulon Progo-Klepu-Godean- hingga kota Yogyakarta tidaklah sulit.
Jika bingung bahkan bisa bertanya kepada warga yang biasa memiliki warung makan pinggir jalan dengan kode pertanyaan, ‘’ Yang jual ‘jamu sengsu’ di mana Mas..?’’
Pertanyaan itu pun akan dijawab dengan jelas tanpa malu-malu.
Maka tidak mengherankan jika di Yogyakarta, kadang ada ‘blantik’ (makelar binatang) yang bertanya-tanya kepada warga yang pelihara anjing, apakah ‘wedus balap’-nya mau dijual atau tidak.
Maka jawabannya bisa beragam.
Misalnya, ‘’Gundulmu, asuku ora didol iki. Isih dinggo njegoki maling. Urung kepengen didol dinggo gawe jamu (Kepalamu, anjingku tidak dijual. Masih dipakai untuk nakut-nakuti maling. Belum kepingin dijual untuk dibikin jamu)’’.
Atau malah jawaban menggembirakan.
‘’Lumayan pelihara anjing enam bulan bisa dapat emas 1 gram...’’
BACA JUGA:Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak