Advertorial
Intisari-Online.com – Bentuknya tidak harus mutlak ayam.
Bisa saja Anda atau keluarga Anda memilih bentuk bawang, ikan, mobil Mercedes atau rumah.
Itulah andaikata Anda orang Ghana yang berada.
--
(Baca juga: Rekaman Mengerikan Ini Ungkap Bagaimana Belasan Mayat Budak Seks Asal Korea Dibuang oleh Tentara Jepang saat PD II)
Kane Kwei, tinggal di Bortianor, di pinggir jalan yang menghubungkan Accra dan Tema, sebuah pelabuhan besar di Teluk Guinea.
Empat puluh tahun yang lalu, ketika Kane Kwei masih menjadi penebang kayu di Hutan Oda, di sebelah selatan Ghana, ia mendapat kabar pamannya meninggal, Pamannya itu seorang nelayan.
Kane Kwei memutuskan untuk membuat sebuah peti mati berbentuk perahu sebagai penghormatan.
Sejak itu sudah ribuan peti mati dengan segala macam bentuk dijual Kane Kwei. Ia juga sudah menurunkan ilmunya pada keempat putranya dan banyak murid lain.
Sekarang ini dia mempekerjakan sembilan tukang kayu dan seorang pelukis.
Pesanan datang dari segala pelosok negen di Afrika Barat. Kadang-kadang peti mati itu dipesan jauh di muka, untuk ayah, lbu, paman dan bibi, yang tentunya tidak mengetahui kalau peti matinya sudah dipesan. Bentuk peti mati ditentukan oleh keluarga.
"Namun, selama ini belum pernah ada orang yang memesan peti mati untuk dirinya sendiri," ujar Kane Kwei (64) tertawa.
Penduduk Bortianor rata-rata masih menganut kepercayaan animisme. Mereka percaya pada dewa, roh dan jimat. Untuk itu mereka membutuhkan perantara yang bisa berbicara dengan si mati, untuk keselamatan diri dan minta pertolongan.
(Baca juga: Awas Jangan Memakannya! Ini 7 Makanan Paling Berbahaya di Dunia, Salah Satunya Daging Hiu Busuk yang Sudah Mengering)
Tentu saja, upacara kematian yang bersifat animis itu mempunyai pengaruh buruk terhadap kesehatan penduduk. Misalnya saja, ribuan anak terkena infeksi yang tidak berbahaya.
Tapi karena para orang tua menolak untuk membeli obat desinfektan (walaupun harganya murah), penyakit infeksi yang tidak berbahaya itu berkembang menjadi penyakit yang berbahaya.
Bila dokter menegur, mereka menjawab bahwa mereka kebanyakan utang. Utang akibat biaya penguburan yang berlebihan!
Pemerintah Ghana sebenarnya kurang setuju dengan pemborosan penguburan yang berlebihan itu. Tapi usaha pemerintah hingga kini belum juga berhasil.
Soalnya, peti mati dianggap satu-satunya milik si orang yang meninggal dan kematian harus lebih megah daripada kehidupan. Ini prinsip yang sudah merata di seluruh Afrika. Terutama di Ghana.
Sejak dulu upacara penguburan itu dijadikan upacara yang spektakuler. Soalnya, dulu Ghana itu kaya. Namanya saja Pantai Emas, karena banyak ditemukannya emas di daerah pedalamannya.
Waktu itu banyak orang Afrika kaya. Upacara penguburan megah tidak lagi ditentukan oleh status keturunan si mati, tapi juga menjadi status sosial. Bukan hanya kepala suku, tapi juga para pedagang dan petani kaya mengadakan upacara kematian besar-besaran.
Matinya si Raja Bawang
Bortianor, desa nelayan di Atlantik, terdiri atas 300 rumah gubuk dan 20 rumah permanen. Di bagian belakang desa itu- terdapat ladang bawang. Sebagian besar ladang bawang itu milik Tse Obaneh. Tidak heran kalau dia menjadi orang terkaya di desa itu.
Waktu Tse Obaneh meninggal, klan Obaneh sudah memutuskan untuk menguburkan Tse dalam peti mati berbentuk bawang.
Mayat almarhum Tse diletakkan dalam ruangan dalam dari rumah terbesar di Bortianor itu. Wanita dan laki-laki bergantian memberikan penghormatannya yang terakhir pada almarhum.
Mereka menangis dan menjerit, seakan protes terhadap kematiannya. Sebenarnya, penduduk desa memohon pada almarhum Tse, agar melindungi mereka dan mau menjadi perantara antara mereka dengan anggota keluarga yang sudah meninggal.
Seluruh penduduk desa duduk mengelilingi tempat tidur almarhum. Beberapa ada yang mengucapkan terima kasih atas uang yang dipinjamkan kepada mereka dan tidak pernah ditagih.
Yang lain ada yang berterima kasih atas makanan, karena Tse pernah mengundang makan para tetua di sana. Setiap kali ada yang membeberkan kebaikan almarhum, maka tangisan para wanita serta jeritan orang yang berduka terdengar lagi.
Para tetua juga menyebut-nyebutkan keberhasilan usaha Tse. Setelah itu kaum pria yang berada di sekeliling tempat tidur si mati secara serentak menyanyikan lagu kebesaran klan mereka, sebuah lagu saat orang berdayung, yang juga dinyanyikan saat mereka di tengah laut lepas.
Malamnya keluarga Tse berkumpul bersama wakil desa-desa lain di rumah besar itu. Tengah malam, dari rumah di sekeliling rumah almarhum terdengar suara genderang.
Saat itu kaum laki-laki disuguhi bir dan kaum wanita menyiapkan makanan yang terdiri atas ikan dan nasi dalam tempat-tempat berukuran besar. Anak-anak menari, bernyanyi dan mereka bisa menyaksikan mayat itu dengan sepuasnya.
Saat antara subuh dan siang di Bortianor keadaannya tenang. Tapi ketika para tetua mengumumkan bahwa dua jam lagi Tse akan dikubur, keadaan jadi berubah. Tiba-tiba terjadi kesibukan luar biasa dalam kamar almarhum.
Di dekat kepala Tse ada seorang wanita tua mengibas-ngibaskan uang kertas sumbanqan para tamu. Uang itu dimaksudkan untuk alat pembayaran menyeberangi sungai, yang memisahkan dunia orang meninggal dengan yang masih hidup.
Kelihatannya si wanita ini yangmengatur segala kegaduhan itu. Si wanita kemudian menarik janda Tse sambil berkata, "Tse, dia sekarang bukan lagi istrimu. Biarkan dia hidup di dunianya dan kau di duniamu sendiri. Jangan sentuh dia. Tapi kalau ada lelaki lain yang mendekatinya, awasi dia!" Kemudian wanita itu ditarik ke luar.
Rambutnya diacak-acak
Tiba-tiba muncul empat orang pria yang bertelanjang dada, mengangkut peti berbentuk bawang raksasa. Peti itu diletakkan dekat tempat tidur.
"Tutup pintu dan jendela!" Kaum wanita kemudian membuka ikatan kerudung mereka dan menggantungkannya di depan setiap pintu rumah itu, sehingga orang tidak lagi bisa melihat ke dalam kamar almarhum.
Bawang raksasa kemudian dibuka dan penutupnya diangkat. Bagian dalam peti itu ditutupi kain satin.
Ketika tubuh Tse didoakan di dalam peti bawang itu, kegaduhan para keluarga mencapai puncaknya. Perhiasan yang dikenakan almarhum diambil dan rambutnya diacak-acak.
"Ini adalah tindakan pencegahan. Karena bila kelak Tse tiba di kerajaan orang mati dan tampil dengan begitu rapih, maka dia akan ditanyai, siapa yang mendandaninya. Mereka nantinya juga jadi ingin menikmati kenikmatan itu," demikian kata seorang pria menjelaskan.
Selanjutnya, penutup peti kembali diletakkan di atas peti bawang dan dipaku. Saat ini banyak pengunjung jadi histeris dan banyak alkohol yang diperlukan sebagai minuman para dewa.
Peti bawang itu hampir tidak bisa melewati pintu masuk, sehingga para pengangkut harus memiringkannya. Peti itu diarak keliling kampung dan banyak penduduk yang mengikutinya.
Keadaan makin lama makin panas, karena udara dan beratnya beban, sehingga para pengangkut peti jadi sering ganti arah menabrak kerumunan orang yang sedang menonton.
Penghuni beberapa rumah ada juga yang berusaha menarik perhatian. Para pengangkutnya bertindak sedemikian rupa seakan dia akan membawa peti itu ke dalam beberapa rumah, saat itu pemilik cepat-cepat menyambar sebotol gin yang diayunkannya ke kiri dan kanan dengan memanggil-manggil nama almarhum.
Mereka menekankan rasa duka citanya dan kemarahannya pada kematian itu. Kemudian mereka memercikkan setetes gin ke tanah sebagai minuman untuk para dewa. Peti mati juga diperciki dan sisa gin dituangkan ke tenggorokan para pengangkut peti.
Peti matinya berbentuk ayam betina
Lebih dari 40% penduduk Ghana yang berjumlah sekitar 13 juta itu beragama Kristen. Tapi walau gereja menentang pemujaan animisme itu, tapi banyak dari mereka yang memilih untuk lebih baik meninggalkan gereja daripada harus meninggalkan status simbol peti mati mereka.
Demikian pula yang terjadi pada klan Christin Mary Deddeh Attoh dari Dansoman, sebuah daerah pinggiran Kota Accras.
Mary Deddeh seorang wanita Afrika berusia 85 tahun, dipandang sebagai seorang ibu sejati, seorang wanita bisnis punya yang membesarkan sebelas anak. Dia aktif dalam kegiatan di desa itu.
Kesebelas orang anak itu sudah memutuskan untuk memasukkan dia ke dalam peti mati berbentuk ayam betina yang sedang melindungi kesebelas anaknya. Peti mati itu sudah disiapkan di rumah duka.
Doa litani dibacakan dan terdengar nyanyian kaum wanita. Sambil bernyanyi penduduk ikut mengarak keempat pria yang dengan perlahan mengangkut ayam-ayaman itu melewati jalan raya utama di Dansoman menuju ke tempat pemakaman, yaitu sebuah daerah di pinggiran kota.
Peti ayam itu kemudian dimasukkan ke dalam lubang kubur. Pendeta membacakan doa, sementara gumpalan tanah pertama berjatuhan seperti air mate di atas ayam-ayaman ltu.
Seminggu kemudian di Osu, di daerah pinggiran kota yang padat dengan penduduk nelayan di Accra, seluruh penduduk di daerah ltu berbondong-bondong datang untuk menyaksikan suatu upacara pemakaman.
Tsui Tse adalah orang kaya dan para nelayan datang pada dia kalau mereka membutuhkan jimat atau "slametan". Setelah menyanyi 24 jam, menangis dan kesurupan menghadapi mayat, empat orang wanita dukun dengan bagian tubuh sebelah atas dan dada penun goresan, mereka menglringi mayat dan pelayat menuju ke tempat pemakaman.
Untuk peti matinya, keluarganya sudah memesankan perahu, yang dihiasi dengan sepuluh pendayung. Perahunya mirip dengan yang dimiliki oleh Tsui Tse dan dianggap sebagai "kerajaan"nya.
Seperti penanam bawang di Bortianor dan seperti wanita tua di Dansoman, penguburannya juga memakai upacara dengan menirukan gaya almarhum semasa hidupnya. Lengkap dengan alkohol dan penutup yang dihiasi khusus.
Baik klan Tsui Tse, Mary Deddeh Attoh maupun Tse Obaneh tentu saja dalam waktu singkat menghamburkan demikian banyak biaya. Tujuannya agar menyelamatkan si mati atau paling tidak memudahkannya menuju dunia lain. (Thierry Seeretan)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1988)
(Baca juga: Mengharukan, Ibu Ini Rela Mengandung Cucunya Sendiri karena si Menantu Tidak Memiliki Rahim Lagi)