Advertorial
Intisari-Online.com -Perempuan yang ideal, menurut pandangan Hitler, adalah yang “mungil, manis, menyenangkan untuk disayang, sedikit lugu, lembut, dan tolol.”
Sikap Hitler yang merendahkan seperti itu adalah cermin dari perlakuan Nazi terhadap kaum perempuan Jerman.
Gerakan kaum perempuan di bawah rezim Nazi dipimpin Gertrud Schlotz-Klink, seorang wanita “bertipe Arya” yang berperawakan tinggi dan berambut pirang.
“Wanita Jerman kembali menyulam” adalah motonya. Ini menegaskan apa yang seharusnya diperankan kaum perempuan dalam kaca mata Nazi.
Gertrud memimpin Frauenschaft, organisasi tertinggi kaum perempuan dalam kekuasaan Reich Ketiga.
(Baca juga:Saling Tembak di Udara, Pesawat Nazi dan Sekutu Jatuh tapi Para Awaknya Malah Saling Bantu untuk Survive)
Di balik berbagai organisasi dan aktivitas perempuan itu, kaum lelakilah yang sebenarnya mengarahkan dan mengontrol.
Sedangkan Schlotz-Klink lebih sebagai bantalan untuk menghindari timbulnya masalah.
Hitler dan para pemuka Nazi ternyata melihat feminisme ataupun kegiatan untuk memajukan kaum perempuan sebagai sesuatu yang tidak menyenangkan .
Kaum Nazi hanya menilai pentingnya wanita terutama dalam peran reproduksi.
Merka dianggap sebagai “mesin pencetak anak” yang efektif guna menyediakan generasi Nazi serta prajurit bagi Reich Ketiga.
Meskipun tidak dinyatakan secara terbuka, pandangan itu tampak dari usaha kaum Nazi membangun citra perempuan ideal: yang tradisional dan hidup dalam lingkungan keluarga.
(Baca juga:Operasi Babilon, Serangan Udara Israel Paling Spektakuler yang Sukses Menghancurkan Reaktor Nuklir Irak)
Bahkan karena khawatir Jerman akan kekurangan sumber daya manusia, rezim Nazi mendorong kaum wanita untuk lebih banyak melahirkan anak.
Kontrasepsi maupun aborsi ditutup pintunya. Sebaliknya, bagi mereka yang punya banyak anak akan memperoleh tunjangan dan subsidi dari Magda Goebbels.
Magda Goebbels adalah istri Menteri Propaganda Josef Goebbels yang dijadikan model serta citra wanita Nazi ideal.
Dia tinggi, cantik, pirang, punya enam anak (yang akhirnya semuanya dia bunuh dengan racun di bunker Hitler menjelang runtuhnya Reich Ketiga).
Sejalan dengan itu, kaum perempuan Jerman pun dibatasi aksesnya untuk memasuki profesi yang secara tradisi banyak dikuasai kaum pria, seperti dokter dan guru.
Mereka juga dilarang menjadi anggota juri.
Alasan Nazi, “Karena mereka tidak dapat berpikir logis dan obyektif, dan hanya dikuasai dan dituntun emosi.”
(Baca juga:Kota Misterius Ini Hanya Muncul 100 Tahun Sekali dan Hanya Terlihat Selama Satu Hari)
Dengan cara pandang semacam itu, sesungguhnya Nazi hanyalah milik dan urusan kaum lelaki.
Dan sejarah membuktikan, perempuan tidak pernah dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan dalam Reich Ketiga.
Tatkala perang sudah di ambang pintu, kaum Nazi pun cemas dengan kemungkinan kekurangan tenaga kerja, terutama untuk industri persenjataan.
Karena itu kaum perempuan juga didorong masuk pabrik, meskipun hal itu berlawanan dengan konsep Nazi mengenai perempuan Jerman yang ideal.
Akibatnya, usaha pengerahan itu juga hanya jalan setengah hati dan gagal.
Lebih-lebih jika itu dibandingkan dengan negara-negara Sekutu yang berhasil memobilisasi tenaga kerja perempuan dalam industri perangnya.
Apalagi di Jerman, kaum lelakinya juga merasa lebih superior dan menganggap pekerja wanita di industri sekadar pelengkap saja.
(Baca juga:Prajurit TNI Angkatan Laut, Naik Pangkat Bukannya Diberi Bingkisan Malah Disemprot Air)