Advertorial

Mengapa Nama-nama Ilmiah Menggunakan Bahasa Latin?

Ade Sulaeman

Editor

Ternyata dalam sejarahnya, banyak pihak yang sempat tidak suka dengan pemilihan bahasa Latin untuk digunakan dalam penamaan ilmiah hewan atau tumbuhan.
Ternyata dalam sejarahnya, banyak pihak yang sempat tidak suka dengan pemilihan bahasa Latin untuk digunakan dalam penamaan ilmiah hewan atau tumbuhan.

Intisari-Online.com -Oryza sativa, Theobroma cacao, Felis silvestris catus, Canis lupus familiaris.

Ketika mengikuti pelajaran biologi, beberapa istilah tadi mungkin pernah terdengar (atau setidaknya terbaca).

Semuanya adalah nama-nama ilmiah. Masing-masing untuk padi, kakao (yang bijinya diolah menjadi cokelat), kucing, dan yang terakhir untuk anjing.

Bahasa ilmiah yang digunakan di seluruh dunia tersebut berasal dari bahasa Latin.

(Baca juga: Sedang Bokek, Bung Karno Ternyata Pernah Pinjam Uang pada Temannya untuk Bayar Utang dan Beli Cat)

Pertanyaan lalu muncul, mengapa harus menggunakan bahasa Latin?

Ternyata dalam sejarahnya, banyak pihak yang sempat tidak suka dengan pemilihan bahasa Latin untuk digunakan dalam penamaan ilmiah hewan atau tumbuhan.

Selain sudah tidak ada lagi bangsa yang menggunakannya dalam percakapan sehari-hari, bahasa ini terkadang masih cukup sulit untuk diucapkan (pronounciation).

Bahkan oleh orang Eropa yang notabene merupakan wilayah asal dari bahasa Latin.

Bahasa Latin sendiri berasal dari Latium, sebuah daerah di dekat kota Roma, Italia.

Oleh karenanya pada saat Kekaisaran Romawi muncul, bahasa Latin digunakan sebagai bahasa resminya.

Selanjutnya, dengan berbagai penaklukan yang menandai kejayaan dari kerajaan ini, maka bahasa Latin pun menyebar di daerah-daerah jajahannya.

Mulai dari Britania Raya (Kerajaan Inggris) di wilayah barat laut, hingga ke wilayah Palestina yang berada di utara.

(Baca juga: Kisah Bung Karno di Akhir Kekuasaan, Sekadar Minta Nasi Kecap Buat Sarapan pun Ditolak)

Ketika kekaisaran Roma runtuh, bahasa ini tidak serta merta ‘runtuh’.

Bahkan sempat mengalami perkembangan yang cukup signifikan, termasuk di wilayah-wilayah yang tidak sempat ditaklukan oleh Kekaisaran Romawi.

Namun, tidak diketahui kapan waktu tepatnya, bahasa Latin ini akhirnya tidak digunakan kembali, bahkan sudah digolongkan sebagai bahasa yang mati.

Gelar sebagai “bahasa mati” ini ternyata memberikan berkah tersendiri.

Dianggap tidak akan mengalami perkembangan lagi, sehingga tidak mungkin memunculkan pergeseran makna, maka bahasa ini ditetapkan sebagai bahasa baku dalam penamaan ilmiah di dunia biologi.

Pergeseran makna yang dimaksud dalam hal ini adalah bergantinya definisi yang dilanjutkan dengan penggunaan yang berbeda dari definisi dan tujuan awal dari suatu kata.

Untuk di Indonesia, kata “canggih” bisa digunakan sebagai contoh.

Pada awalnya kata ini diartikan sebagai banyak cakap, bawel, atau cerewet.

Namun, saat ini kata tersebut sudah bergeser menjadi sesuatu yang tidak sederhana atau bergaya intelektual.

Jadi, untuk bahasa Latin, pergeseran makna seperti itu tidak akan terjadi lagi.

Alasan lain dari dipilihnya bahasa Latin untuk digunakan dalam penamaan makhluk hidup adalah digunakannya bahasa ini di gereja-gereja Eropa.

Jadi penggunaannya dapat meningkatkan gengsi bagi nama flora atau fauna tersebut dan yang jelas tidak akan ada yang berani mencaci.

Selain itu, alasan yang terakhir, bahasa Latin juga sering digunakan oleh para kaum terpelajar di perguruan-perguruan tinggi di Eropa.

Hal ini akan memudahkan penerapannya ke dalam biologi (bidang ilmu yang sering menggunakannya).

Beberapa perguruan tinggi semisal Oxford di Inggris, Sorbonne di Prancis, serta Bologna di Italia masih menggunakan literatur berbahasa Latin dalam pendidikannya.

Jadi, mati tak berarti tak punya arti lagi 'kan?

(Baca juga: Sepertinya Indonesia Belum Siap Menerima Orang Super Cerdas, Buktinya 'Anak Ajaib' dari Surabaya Ini Justru Pernah Dibawa ke Dokter Jiwa)

Artikel Terkait