Advertorial
Intisari-Online.com – Kasihan betul nasib formaldehida (sering disebut formalin) hari ini: Akibat ulah sebagian orang, citranya berubah menjadi momok menakutkan.
Padahal, selama seabad ia menjadi teman manusia dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam kadar kecil, formaldehida sebetulnya normal ada di alam seperti gas penyebab bau kentut atau telur busuk.
Di udara ia terbentuk dari pembakaran metana dan oksigen yang ada di atmosfer dengan bantuan sinar Matahari.
(Baca juga: Yakuza, Kini Dianggap Gangster Kejam, Dulu Dianggap Robin Hood yang Menciptakan Hubungan Romantis)
Tak hanya itu, tubuh manusia, hewan, dan tumbuhan pun memproduksi senyawa itu sebagai hasil samping metabolisme.
Senyawa yang rumus kimianya CH2O itu juga merupakan hasil sampingan pembakaran bahan organik.
Contoh paling gampang, yaitu asap kebakaran hutan Kalimantan, asap rokok, dan asap knalpot.
Untuk memudahkan penggunaannya, senyawa itu dilarutkan dalam air dengan kadar 30 - 40%.
Larutan inilah yang sehari-hari dikenal sebagai formalin atau formol.
Sebagai gas alam, usia formaldehida sama tua dengan usia kehidupan di Bumi.
Namun, sejarahnya baru dimulai tahun 1859 ketika ahli kimia Rusia, Alexander Mikhailovich Butlerov, secara tidak sengaja menemukan senyawa ini dalam sebuah eksperimennya.
Sembilan tahun kemudian, August Wilhelm Hofmann, kimiawan Jerman, berhasil menemukan metode pembuatan formaldehida dari metanol.
(Baca juga: (Foto) Suhu Anjlok Drastis, Rambut Bocah Ini Membeku, Bahkan Tangannya 'Retak')
Metode inilah yang menjadi cikal bakal proses pembuatan formaldehida skala industri, meski belum diketahui manfaatnya.
Dua puluh tahun setelah percobaan Hofman, para dokter baru tahu bahwa formalin bisa dipakai sebagai desinfektan (pembasmi kuman).
Sejak itu formaldehida mulai diproduksi massal untuk keperluan medis.
Popularitasnya semakin menanjak ketika para ahli anatomi mengetahui manfaat CH2O sebagai pengawet mayat dengan cara disuntikkan ke dalam pembuluh darah arteri.
Penemuan ini sekaligus memudarkan pamor minyak tetumbuhan, garam merkuri, dan arsenik yang biasa dipakai sebagai pengawet mayat sejak zaman Firaun.
Senyawa itu pun lazim dipakai untuk mengawetkan jenazah serdadu yang gugur di pertempuran.
Tujuannya agar jasadnya tetap utuh ketika dibawa pulang ke tempat asalnya.
Citra formaldehida lalu berubah total pada 1910 ketika ilmuwan Belgia, Leo H. Baekeland, berhasil membuat plastik sintetis dengan bahan baku formaldehida dan fenol.
Bahan plastik yang kuat ini ia patenkan dengan nama Bakelite. Selama tiga dasawarsa, Bakelite merajai industri barang-barang berbahan plastik.
Sejak penemuan itu, para industriawan berlomba-lomba membuat plastik jenis baru berbahan dasar CH2O.
Salah satunya yang terkenal adalah plastik sintetis yang terbuat dari formaldehid dan melamin, yang ditemukan sekitar tahun 1930-an.
Karena sifatnya yang tahan panas dan tampilannya yang mirip porselen, bahan ini banyak dipakai untuk membuat alat-alat rumah tangga.
Penemuan demi penemuan semakin melengkapi manfaatnya buat umat manusia.
Hingga saat ini formaldehida dipakai di hampir semua barang keperluan sehari-hari, mulai dari plastik, kaca, lem, cat, pupuk, penyamak kulit, pengawet kayu, pengawet vaksin, obat penyakit kulit, film kamera, pewarna, hingga pasta gigi.
Riwayat formaldehida mulai menjadi runyam ketika ia dipakai sebagai pengawet bahan makanan karena harganya murah.
Di Indonesia bahan pengawet jenazah ini sering dijumpai di dalam tahu, ikan, mi basah, dan daging.
Karena sifatnya yang toksik, semua organisasi kesehatan di dunia melarang pemakaian formaldehida dalam produk makanan.
Para dokter yakin, paparan formalin dalam jangka panjang bukan hanya tidak mengawetkan manusia, tapi juga bisa mempercepat proses manusia menjadi mayat. (Dari pelbagai sumber/Emshol)
(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Februari 2006)
(Baca juga: Anak Miliarder Ini Disuruh Ayahnya Jadi Orang Miskin, Hanya Dibekali Uang Rp100 Ribu)