Penulis
Intisari-Online.com - Antara tahun 1961-1966 meletus konfrontasi Indonesia dan Malaysia yang kemudian memicu konflik bersenjata di perbatasan baik berupa penyusupan pasukan gerilya maupun pasukan reguler.
Tapi karena konflik itu merupakan peperangan yang tidak diumumkan (undeclared war) infiltran yang menyusup menggunakan nama sukarelawan meskipun sebagain besar di antara merupakan anggota ABRI/TNI.
Konflik itu sendiri awalnya berlangsung di Kesultanan Brunei dan jauh dari masalah di dalam negeri Indonesia.
(Baca juga" Ternyata, Masalah 'Klasik' Inilah yang Bikin Indonesia Kalah Pesat Dibanding Malaysia dalam Pembangunan Jalan Tol)
Pada 8 Desember 1962 di Kesultanan Brunei Darussalam yang kaya minyak dan merupakan protektorat Kerajaan Inggris meletus pemberontakan bersenjata.
Para pemberontak yang tidak puas secara ekonomi dan politik di Brunei berniat mendirikan negara merdeka, Negara Kesatuan Kalimantan Utara (NKKU).
Dalam upacara proklamasinya para petinggi NKKU yang berasal dari Partai rakyat pimpinan Ahmad Azahari rupanya tidak hanya memberontak terhadap Kesultanan Brunei tapi juga tidak setuju terhadap upaya pembentukan negara federasi Malaysia .
Sebuah negara federasi yang sedang direncanakan akan dibentuk di antara daerah-daerah yang selama ini menjadi jajahan Inggris di wilayah Asia Tenggara.
Aksi pemberontakan di Brunei yang dimotori oleh sayap militer Partai Rakyat, Tentara Nasional Kalimantan Utara (TNKU) ternyata tidak berumur panjang.
Pasalnya pemerintah Inggris segera turun tangan dengan mengirimkan pasukan Gurkha dari Singapura.
Berkat kemampuan tempur Gurkha yang sangat teruji para pemberontak TNKU segera bisa ditumpas dan banyak di antara para pemberontak yang selamat lari masuk hutan di Kalimantan Utara.
(Baca juga: Hilangnya Tiga Pendeta dan Satu Tokoh Syiah di Malaysia Bukan Cara Kerja ISIS)
Pemberontak yang berhasil menyusup ke hutan serta merta menggalang dukungan dari penduduk setempat yang secara geografis wilayahnya ada yang masuk ke Indonesia.
Untuk menggalang dukungan gerilyawan TNKU tidak lagi ingin meruntuhkan pemerintahan monarki Brunei melainkan menyerukan ketidaksetujuannya terhadap pembentukan negara Federasi Malaysia.
Perang gerilya pun makin berkecamuk dan pasukan Inggris yang sudah berhasil mengamankan Brunei merasa kewalahan ketika medan tempur meluas hingga wilayah Kalimantan Utara, Sabah, dan Sarawak
Ketika pemberontakkan di Brunei meletus secara tiba-tiba Presiden Soekarno sebenarnya sempat berang karena secara terang-terangan Brunei menuduh Indonesia sebagai penggerak kaum pemberontak.
Tuduhan itu cukup masuk akal karena pemimpin Partai Rakyat, Azahari pernah menjadi anggota TKR/TNI dan bertempur di Yogyakarta di era Perang Kemerdekaan (1948-1949).
Meskipun ketika meletus pemberontakan, Azahari sedang ke Filipina untuk mencari dukungan dan pemberontakan dilakukan oleh TNKU,
Brunei masin bersikeras Indonesia memberikan dukungan. Apalagi sisa pasukan TNKU yang lari menyusup ke Kalimantan Utara terus melancarkan perang gerilya dan diyakini mendapat dukungan dari warga Indonesia yang bermukim di Kalimantan Utara.
Akibat serangan gerilya yang bertujuan menggagalkan pembentukan Federasi Malaysia, pemerintah Malaysia yang saat itu berpusat di Kuala Lumpur juga turut melontarkan kecaman terhadap Indonesia.
Presiden Soekarno pun makin meradang akibat kecaman yang berasal dari dua kubu itu.
Pemerintah Indonesia pada awalnya tidak secara terbuka menolak pembentukan negara Federasi Malaysia yang akan menggabungkan bekas jajahan Inggris seperti Singapura, Sabah, Sarawak, dan Brunei.
Gagasan untuk pembentukan negara federasi itu sendiri awalnya berasal dari Perdana Menteri Persekutuan Tanah Melayu Tentu Abdul Rahman yang dikemukakan di depan forum The Foreign Correspondents Association of South East Asia.
Pemerintah Indonesia masih bersikap pasif karena sedang disibukkan dengan kampanye Trikora untuk membebaskan Irian Barat.
Presiden Soekarno yang sedang menghadapi masalah ekonomi juga berusaha tetap menahan diri kendati keinginan untuk berkonfrontasi dengan Malaysia sudah naik ke ubun-ubun.
Namun sesudah beberapa bulan mendiamkan saja beragam kecaman yang dilontarkan Kuala Lumpur pada bulan April 1963 Bung Karno betul-betul tidak bisa menahan diri.
Di depan peserta yang menghadiri Konperensi Wartawan Asia Afrika yang berlangsung di Jakarta Bung Karno terang-terangan menentang pembentukan negara Federasi Malaysia.
Konfrontasi dengan Malaysia pun tak terelakan dan seluruh kekuatan politik dan militer Indonesia segera diarahkan untuk mengempur Malaysia.
Militer Indonesia yang sebelumnya digelar untuk Operasi Trikora kembali disibukkan oleh perintah Bung Karno yang sangat tiba-tiba itu.
Secara psikologis militer Indonesia bahkan tidak berharap terjadi perang karena musuh yang dihadapi, khususnya Inggris dan sekutunya sangat kuat.
Tapi perintah pemimpin besar revolusi yang sedang emosinal dan berang tetap harus dijalankan sebaik-baiknya.
Keadaan makin memanas karena pada tanggal 29 Agustus 1964 pembentukan negara Malaysia telah ditetapkan di Kuala Lumpur dan London.
Pengumuman yang dilakukan secara mendadak dan sepihak itu sangat mengejutkan karena tim pencari fakta PBB yang terdiri dari sembilan negara belum sempat meyelesaikan tugasnya.
Tim itu bahkan belum tiba di Kalimantan Utara tapi pengumuman berdirinya negara Malaysia ternyata telah berlangsung.
Pengumuman itu bagi Presiden Soekarno yang pernah menghadiri KTT di Manila dan membicarakan tentang berdirinya negara Malaysia tidak hanya melanggar kesepakatan KTT tapi juga menghina pribadi Soekarno.
Dalam kesepakatan KTT di Manila, Soekarno tidak menghalangi pembentukan negara Federasi Malaysia asalkan diadakan jajak pendapat terlebih dahulu terhadap masyarakat yang tinggal di Kalimantan Utara.
Menyikapi pengumuman pembentukan negara Federasi Malaysia yang bersifat melecehkan kedaulatan Indonesia itu, Soekarno dan kabinetnya segera menempuh garis keras.
Mereka mengemukakan pembentukan Federasi Malaysia melanggar tiga hal. Pertama, tidak demokratis, kedua bertentangan dengan KTT Manila, dan ketiga bertentangan dengan resolusi PBB mengenai dekolonisasi.
Reaksi keras dan konfrontatif yang kemudian ditunjukkan oleh pemerintah Indonesia adalah tidak hanya sekedar merestui aksi penyusupan para sukarelawan masuk ke seberang perbatasan Malaysia.
Tetapi secara terang-terangan kekuatan pasukan ABRI mulai menampakkan dukungannya kepada perjuangan rakyat Kalimantan Utara. Aksi ganyang Malaysia pun tinggal menunggu hari.
Aksi berupa konfrontasi bersenjata dan sempat membakar nasionalisme bangsa gara-gara ulah seorang Ahmad Azahari yang pernah menjadi anggota TNI.
Tapi beruntung aksi yang sempat menelan korban jiwa dari kedua belah itu akhirnya bisa diselesaikan secara damai.