Find Us On Social Media :

Kisah Pretty Asmara, Dimanja Sejak dalam Kandungan karena Dianggap Membawa Keberuntungan, Sudah Kenal Cinta saat Kelas 5 SD

By Intisari Online, Minggu, 4 November 2018 | 14:32 WIB

Intisari-Online.com - Pemain sinetron dan komedian Pretty Asmara meninggal dunia saat dirawat di RS Pengayoman, Jakarta, Minggu (4/11).

Ketika meninggal, Pretty sedang menjalani masa tahanan di Rumah Tahanan Pondok Bambu, Jakarta Timur, karena terjerat kasus narkoba.

Soal sepak terjangnya di dunia televisi, perempuan kelahiran Lumajang, Jawa Timur, ini pernah curhat kepada Tabloid NOVA edisi 21 Agustus 2005.

***

Tubuhnya yang tambun justru menguatkan jejak dara asal Lumajang ini di dunia hiburan kita.

Kariernya tetap mengalir, tak pernah surut. Kisahnya begitu memikat untuk diikuti.

Banyak orang mengatakan, waktu masih bayi, aku lucu banget. Aku lahir 27 September 1977, sebagai anak bungsu dari tiga bersaudara, pasangan Paiman dan Siti Mutominah.

Bapak-Ibu memberiku nama yang begitu keren: Dian Pretty Asmara. Nama kedua kakakku juga indah.

Pertama, Soni Asmara lahir tahun 1969 dan kedua Reny Asmara lahir tahun 1970.

Hebat kan, Bapak-Ibuku memberi kami, nama-nama yang keren. Aku enggak tahu kenapa Bapakku memberi nama Inggris padaku.

Yang jelas, bapakku berpendidikan sarjana, lulusan Universitas Brawijaya, Malang.

Semasa kuliah, Bapak ikut mendirikan Kwartet S, sebuah kelompok lawak di Malang. Jadi, enggak heran, kan, kalau aku mewarisi jiwa seni.

Perbedaan usiaku yang begitu jauh dengan Reny, membuatku tidak begitu dekat dengannya. Kami mainnya masing-masing.

Dia sibuk dengan tugas dan pekerjaannya, saya juga begitu. Kami baru bisa merasa ngobrol dan saling curhat setelah dewasa.

ANAK KEBERUNTUNGAN

Sejak masih bayi, aku sudah montok. Kata orang, aku lucu banget, lo. Sudah begitu, menurut orang Jawa tentang hari lahirku yang disebut weton, hitungan hari lahirku termasuk bagus.

Sebagian orang Jawa, kan, masih memercayai tanggal Jawa. Kalau lahir pada hari tertentu, kelak akan memiliki keberun-tungan yang tinggi.

Malah ada yang mengatakan, setelah aku lahir, sebaiknya Ibu jangan punya anak lagi.

Kalau Ibu hamil lagi, belum tentu setelah lahir, hitungan Jawanya lebih bagus dari aku.

Kelahiranku yang dianggap membawa keberuntungan bagi keluarga, membuat orangtuaku begitu memanjakan diriku di banding kakakku.

Bahkan, aku sudah dimanja sejak masih dalam kandungan.

Misalnya saja kalau kelahiran kakakku hanya ditangani bidan di Lumajang, waktu mengandung aku, Mama melakukan kontrol kandungan di Surabaya dengan ditangani dokter spesialis kandungan.

Saat melahirkan aku, Mama juga ditangai dokter spesialis kandungan di Surabaya. Padahal, jarak dari tempat tinggal orang tua di Desa Dawuhan, Lumajang sampai Surabaya, makan waktu tiga jam dengan mobil.

Oleh orangtua, aku memang dianggap anak yang membawa keberuntungan!

Waktu itu, Bapak jadi guru SMEA di Lumajang. Di sela-sela waktunya, Bapak juga nyambi sebagai pemasok damen atau jerami ke pabrik kertas Leces.

Usaha Bapak semakin meningkat justru ketika Mama hamil aku.

Bahkan, ketika aku lahir, usaha Bapak semakin bagus. Kata orang, dari usaha damen tadi, Bapak menjadi salah seorang yang kaya raya di desa kami.

Itu sebabnya, sejak kecil aku gaya tenan lo (sungguh-sungguh bergaya, Red).

Bayangkan saja, aku selalu mendapat kualitas makanan yang bagus dari segi gizi.

Pokoknya, akulah yang paling disayang orangtuaku. Mungkin itu yang membuat pertumbuhan badanku lebih subur dibanding kakakku.

Mungkin karena merasa usahanya sudah lebih dari cukup, Bapak nekat melepas begitu saja profesi guru.

Menurut Bapak, pengusaha jerami lebih menjanjikan masa depan yang lebih cerah. Kelak Bapak menyesali tindakannya.

Sebab, menjelang aku dewasa, usaha Bapak mengalami penurunan.

Tahu sendiri, kan, yang namanya bisnis, kan, tidak selalu untung. Kalau saja Bapak tidak melepas profesi guru, bisa jadi hidupnya lebih tenang.

SUKA DIFOTO

Menurunnya usaha Bapak tak membuatku patah arang. Mungkin juga karena aku masih terlalu kecil untuk mengerti.

Yang pasti perubahan hidup itu justru menempa untuk mandiri. Kejadian itu juga menempaku menjadi wanita yang memiliki jiwa survival yang kuat.

Sebaliknya kedua kakakku, saat Bapak mencapai puncak mereka sudah SMP dan SMA.

Selanjutnya begitu Bapak sudah menurun, mereka cenderung lebih cengeng.

Kendati demikian, aku tetap merasa sangat -beruntung dengan indahnya masa kecilku. Kata orang, aku sudah genit banget saat balita.

Aku sering sekali difoto Bapak. Kasarnya melakukan gerak apa saja, tak pernah lepas dari jepretan Bapak.

Wah, fotonya lucu-lucu.

Meski genit, aku termasuk bengal, lo. Ketimbang main dengan anak perempuan, aku lebih suka main silat-silatan dan suka berantem dengan anak lelaki.

Bahkan, aku berani melawan Rubat, teman sebaya yang terkenal bandel. Habis berantem, aku menangis, pulang ke rumah, dan mengadu sama Ibu.

Tapi, Rubat juga menangis dan mengadu pada ibunya. Konyolnya lagi, setelah itu ibuku dan ibu Rubat berantem.

Jadilah berantem sesama ibu. Aku masih ingat, Ibu melabrak Yu Rupik, ibu Rubal.

Yu Rupik seorang pedagang nasi pecel di pasar. Ia tinggal 200 meter dari rumah kami.

Ibu jengkel, masak Rubat beraninya sama perempuan. Padahal, sebenarnya aku juga nakal, ya. Ha...ha...ha...

Ibu memang sangat menyayangiku. Hanya saja, setelah gede, aku merasa dibedakan.

Kalau pergi hajatan atau ke pasar, aku tidak diajak lagi. Ibu malah suka mengajak kakakku atau sepupu.

Mungkin karena aku terlalu gemuk, ya. Ibu, kan, terlalu berat untuk menggendongku.

Menginjak usia empat tahun, aku dimasukkan orang tua ke TK Muslimat.

Lalu, usia enam tahun aku sudah dimasukkan SD. Padahal, aku belum lulus TK, masih di tengah-tengah masa sekolah.

Rupanya Ibu enggak sabaran, ingin aku segera masuk SD. Dia bilang "Lama banget sih di TK. Kok enggak lulus-lulus sih."

Akhirnya, aku dititipin di SD Inpres Dawuhan Lor 2. Dulu, kan, bisa begitu.

Katanya kalau enggak bisa ngikutin pelajaran, enggak naik kelas. Sebaliknya kalau bisa ngikutin ya diterusin. Eh ternyata Disa naik kelas.

IKUT LOMBA CERDAS CERMAT

Sebagai murid SD Dawuhan Lor 2, aku cukup fanatik. Waktu itu, di antara muridnya ada semacam persaingan dengan SD Dawuhan Lor 1.

Kata orang, SD Dawuhan Lor 1 lebih bagus dari sekolahku. Tapi aku keukeuh bahwa sekolahkulah yang lebih bagus.

Alasanku waktu itu, di depan gedung sekolahku bakal dibangun SMP yang akan di beri nama SMP Negeri I Sukodono.

Ketika masih proses pembangunan, aku sudah ngebayangin di depan sekolahku akan banyak anak SMP lewat di depan sekolah.

Tentu sekolahku bakal lebih ramai dibanding SD Dawuhan 1.

Memang benar. Begitu SMP itu mulai beroperasi, suasana di lingkungan sekolahku semakin ramai saja.

Lucunya, seingatku waktu masih kelas 4 SD, salah seorang murid SMP itu mengirim surat padaku.

Namun, sumpah sampai sekarang aku enggak tahu siapa yang mengirim surat itu.

Surat itu isinya mau kenalan saja. Penampilanku waktu SD memang keren dan lucu.

Meski gendut, kulitku putih sehingga menarik. Kalau pakai baju, pasti roknya pendek. Selain itu, ke mana-mana diikuti pembantu.

Itu sebabnya gengsiku cukup tinggi. Dalam hati aku selalu mengatakan Huh, aku cantik kok. Dikenal banyak orang. Populerlah.

Sudah begitu, aku termasuk anak pintar. Mau bukti? Aku terpilih mewakili sekolah ikut lomba Cerdas Cermat. Itu, lo, lomba adu pintar antarsekolah yang waktu itu sedang populer.

Anggota tim tiga orang. Aku tampil bersama dua temanku Yuyun dan Fathoni.

Mula-mula kami lomba antarsekolah tingkat desa. Karena menang, kami diikutkan ke tingkat kecamatan.

Wah senangnya, beberapa guru memberikan kami semacam kursus kilat.

Lebih senang lagi, guru memberikan kami susu dan makanan yang enak.

Prestasi lain, aku juga mewakili sekolah ikut lomba nyanyi. Kali ini, aku sendiri yang maju.

Di olah suara, prestasiku cukup lumayan. Aku sering ikut lomba sampai tingkat kecamatan.

Aku masih ingat refrain salah satu lagu yang sering kunyanyikan Tri li li li li. Dengarlah suaranya burungku bernyanyi gembira.

Urusan tarik suara memang tidak ada yang menandingiku di sekolah. Padahal aku tidak pernah belajar menyanyi secara khusus.

JADI VOKALIS UTAMA

Ketika aku kelas 6 SD, kakakku Reny menikah. Suaminya, Mas Zainuri, suka main musik.

Saat mereka menikah, aku menyumbang satu lagi yang judulnya aku lupa.

Mas Zainuri mampu membeli alat band. la bersama teman-temannya sering latihan dan akulah yang jadi vokalis utama perempuan.

Kelompok band ini dinamakan Marys Queen Band (MQB), dari nama Mariska Ayu, nama anak pertama kakakku.

Kebetulan berdirinya band ini bersamaan dengan Mbak Reny melahirkan.

Lama kelamaan, MQB menjadi kelompok band paling besar di Lumajang.

Waktu aku SMP, kami sering ditanggap ke berbagai kota di Jawa Timur.

Boleh dibilang, saat SMP aku sudah dikenal sebagai penyanyi tingkat kabupaten.

Aku sering menyanyikan lagu “Tua Tua Keladi” yang dipopulerkan Anggun.

Aku juga menyenandungkan lagu Nicky Astria. Begitu seringnya nyanyi lagu Anggun, aku sering diteriaki orang, "Hei, tua-tua keladi."

Aku masih tetap nyanyi di band hingga band itu bubar sekitar dua tahun kemudian.

Masih SMP, aku pernah pacaran dengan teman Mas Soni, kakak sulungku, yang usianya delapan tahun di atasku.

Begitu tahu aku dekat dengan dia, Mas Soni marah besar.

Kenapa? Menurut Mas Soni, pacarku itu anak yang bandel. "Aku enggak setuju kamu pacaran sama dia."

Padahal, di hadapanku, pacarku itu bersikap sopan dan menghormati aku.

Tapi sudahlah, daripada ribut dengan Mas Soni, akhirnya kami bubar.

Bicara soal naksir cowok. Tahu enggak, aku sudah mulai cinta-cintaan sejak kelas 5 SD.

Tentu saja cinta monyet, ya. Aku naksir lelaki dari tetangga desa. Kami kenal melalui intercom yang waktu itu memang sedang tren.

Nah, saat menyenangkan bagiku adalah sore hari, saat berangkat ngaji.

Kebetulan tempat ngaji berada di desa teman cowokku itu. Pulang- pergi, aku pasti lewat rumahnya.

Begitu sampai depan rumahnya apalagi bertemu dia, aku suka degdegan.

Lucu ya. He...he...he...