Penulis
Intisari-Online.com – "This is the first intercontinental conference of coloured people in the history of mankind!"
Itulah cuplikan pidato Presiden Sukarno pada Konferensi Asia-Afrika.
(Baca juga: Aplikasi Anti-hoax Buatan Bandung Wakili Indonesia di ASEAN, Sungguh Membanggakan!)
Konferensi yang kadang disebut sebagai Konferensi Bandung karena mengambil tempat di Bandung ini merupakan sebuah konferensi tingkat tinggi (KTT) antara negara-negara Asia dan Afrika, yang kebanyakan baru saja memperoleh kemerdekaan.
KTT ini diselenggarakan oleh Indonesia, Myanmar (dahulu Burma), Sri Lanka (dahulu Ceylon), India, dan Pakistan dengan koordinasi dari Menteri Luar Negeri Indonesia Roeslan Abdulgani.
(Baca juga: Banjir Boleh Menerjang Bandung, tapi Tidak dengan Tekad Bulat Hendar Rudiansyah untuk Menikah)
Pertemuan ini berlangsung antara 18-24 April 1955, di Gedung Merdeka, Bandung, Indonesia dengan tujuan mempromosikan kerja sama ekonomi dan kebudayaan Asia-Afrika.
Selain itu, konferensi ini juga ingin menjalin kerja sama melawan kolonialisme atau neokolonialisme Amerika Serikat, Uni Soviet, atau negara imperialis lainnya.
Konferensi dihadiri oleh 29 negara yang mewakili lebih dari setengah total penduduk dunia. Dari konferensi ini lahirlah sepuluh poin hasil pertemuan yang kemudian tertuang dalam Dasasila Bandung.
Isinya tentang "pernyataan mengenai dukungan bagi kedamaian dan kerjasama dunia". Di salah satu dinding museum KAA terpampang Dasasila Bandung ini dalam bahasa masing-masing peserta.
(Baca juga: Angklung, Angkot Premium dari Bandung yang Dilengkapi TV, Wi-Fi, AC dan Pengangkut Sepeda)
Konferensi ini akhirnya menghasilkan Gerakan Non-Blok pada 1961.
Mengingat KAA merupakan perisitiwa sangat bersejarah dalam politik luar negeri Indonesia, maka Prof. Dr. Mochtar Kusumaatmadja, S.H., LL.M. yang menjabat Menteri Luar Negeri Indonesia waktu itu melemparkan gagasan untuk mendirikan Museum Konferensi Asia Afrika.
Gagasan itu dilontarkan dalam forum rapat Panitia Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-25 (1980) dan disambut baik oleh forum, termasuk dari Presiden Rl Soeharto.
Gagasan pendirian Museum Konferensi Asia Afrika kemudian diwujudkan oleh Joop Ave selaku Ketua Harian Panitia Peringatan Konferensi Asia Afrika ke-25 dan Direktur Jenderal Protokol dan Konsuler Departemen Luar Negeri, bekerjasama dengan Departemen Penerangan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Pemerintah Daerah Tingkat I Jawa Barat, dan Universitas Padjadjaran Bandung.
Museum Konferensi Asia Afrika diresmikan berdirinya oleh Presiden Rl Soeharto pada tanggal 24 April 1980 sebagai puncak peringatan Konferensi Asia Afrika ke-25 dan menjadi milik pemerintah Republik Indonesia.
Mengingat kekhususan isi museum, yaitu politik luar negeri, dan terlalu banyaknya museum yang ditangani oleh Direktorat Permuseuman Direktorat Jenderal Kebudayaan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, maka dengan Surat Keputusan Bersama Menteri Luar Negeri Nomor: 62/OR/VI/86/01 dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor: 0419 a/U/1986 tanggal 18 Juni 1986, kedudukan Museum Konferensi Asia Afrika dialihkan ke Departemen Luar Negeri cq. Badan Penelitian dan Pengembangan Masalah Luar Negeri.
Tujuan pendirian museum adalah untuk menyelamatkan, mengumpulkan, memelihara, mengolah, dan menyajikan peninggalan-peninggalan dan informasi yang bertalian dengan latar belakang peristiwa dan perkembangan Konferensi Asia Afrika.
Hal-hal yang bertalian dengan aspek sosial budaya dan peranan bangsa-bangsa Asia Afrika, khususnya bangsa Indonesia dalam percaturan politik dan kehidupan dunia.
Juga untuk menunjang usaha-usaha dalam rangka pengembangan kebudayaan nasional, pendidikan bagi generasi muda, dan peningkatan asset kepariwisataan.
Museum ini tergolong ke dalam museum sejarah politik, khususnya politik luar negeri.
Museum KAA terletak di sayap kiri depan Gedung Merdeka dan mengabadikan seputar peristiwa, masalah, dan pengaruh yang mengitari Konferensi Asia Afrika.
Dalam menjalankan fungsinya sebagai pusat studi, edukasi, informasi, dan rekreasi, museum ditunjang oleh ruang pameran tetap, perpustakaan, dan audio visual.
Ruang pameran tetap memajang sejumlah koleksi baik benda tiga dimensi atau foto yang bertutur lahirnya KAA, mulai dari Peristiwa Tugu sampai Konferensi Asia Afrika tahun 1955.
Kemudian dalam rangka menyambut kunjungan delegasi Konferensi Tingkat Tinggi X Gerakan Nonblok tahun 1992 dibuatlah diorama yang menggambarkan situasi pembukaan KAA tahun 1995.
Perpustakaan museum berdiri atas prakarsa Abdullah Kamil tahun 1985 yang saat itu menjabat Kepala Perwakilan Kedutaan Besar Republik Indonesia di London.
Bersamaan dengan berdirinya perpustakaan disiapkanlah ruang audio visual yang menayangkan film-film dokumentar yang berkaitan dengan Konferensi Asia Afrika.
Info Museum Konferensi Asia Afrika
Jin. Asia Afrika 65 Bandung
Telp. (022) 423 8031
Fax. (022) 423 3564
Jam buka: Senin – Jumat pukul 08.00-15.30 WIB, Sabtu - Minggu dan hari libur nasional lainnya tutup, kecuali jika ada permintaan khusus dari pengunjung.
(Artikel di Where To Go Bandung tahun 2009, ditulis oleh Y.D.S. Agus Surono)