Penulis
Intisari-Online.com – Memperingati hari lahirnya Bung Karno (BK) tanggal 6 Juni, saya ingat cerita mistik masyarakat Flores, NTT, akan "Putra Sang Fajar" itu.
Masyarakat Flores yakin, roh beliau masih melindungi Pulau Flores, meski Proklamator Rl itu meninggal di Jawa pada 21 Juni 1970.
Keyakinan itu muncul karena selama 4,5 tahun (17 Februari 1934 - 14 Februari 1938), BK pernah menjalani masa pembuangan sebagai tahanah politik, di Kab. Ende, Flores.
Konon, selama masa itu di malam hari BK sering merenung di bawah rimbunan pohon sukun.
Baca juga: Kisah Bung Karno Populerkan Peci, Bikin Pria Tambah Ganteng Hingga Jadi Atribut bangsa
Diiringi debur air laut BK menggali nilai-nilai Pancaslla dan memikirkan konsep dasar negara bila Indonesia merdeka.
Pohon tempat meditasi itu mati tahun 1972. Namun tahun 1982 Pemda Ende kembali menanam anakan sukun di tempat yang sama, tepatnya di ujung barat Lapangan Perse Ende, dekat bibir pantai.
Kini pohon sukun yang makin besar itu dianggap keramat. Bahkan masyarakat setempat menyebutnya "Pohon Pancasila".
Selama masa itu BK mengoleksi barang berharga, seperti meja dan kursi marmer, tempat tidur, lemari pakaian, gantungan pakaian, dan lukisan pura Bali.
Ada pula piring makan berbunga, piring hias, piring ceper porselin, tongkat, destar, sarung, pulpen, biola, alas gelas kuningan, setrika, cerek air, 12 foto BK bersama keluarga, dan karya-karya BK.
Baca juga: Kisah Heldy, Gadis Asal Kalimantan yang Disebut Sebagai Cinta Terakhir Soekarno
Tak hanya disimpan di Situs BK di Kota Ende, barang itu pun dikeramatkan.
Sebab, di Flores ada kepercayaan, roh orang yang meninggal masih menjaga dan menyatu bersama barang-barang yang ditinggalkan.
Konon pula sejumlah kerabat BK di Ende sering "berjumpa" BK setiap Jumat Legi dan malam tanggal 14 Januari (tanggal BK tiba di Ende tahun 1934).
Sejumlah nelayan di pantai utara Kab. Manggarai berucap serupa. Salah seorang di antaranya yang dari Kec. Komodo mengaku, "Saya sering menyaksikan BK berlayar di Laut Flores. Mungkin beliau sedang mengawasi pulau kita."
Boleh percaya, boleh tidak. (Timo Teweng – Intisari Juni 2001).