Penulis
Intisari-Online.com -Anda yang bosan dengan kepadatan dan keriuhan kota besar, berlibur ke daerah wisata keluarga tentu menjadi pilihan yang menyenangkan di akhir pekan. Kepenatan menghadapi rutinitas pekerjaan dapat sedikit dikendurkan dengan menghabiskan waktu bersama orang terdekat sambil menikmati pemandangan alam nan hijau dan asri.
(Donat Tidak Cocok untuk Sarapan si Kecil, Begitu Juga dengan Tiga Menu Ini)
Di tempat-tempat itulah, biasanya ruang peristirahatan dibangun dengan gaya arsitektur yang unik dan berbeda. Orang menyebutnya bernuansa etnik atau tradisional. Konsep yang ingin dibangun tentu saja lebih dekat kepada alam, go green or back to nature. Salah satu bentuk bangunan yang cukup populer dan menjamur adalah gazebo yang bercorak rumah panggung ala saung (Sunda), jineng (Bali), huma betang (Kalimantan), beruga (Lombok), dan tongkonan (Toraja). Nama atau sebutannya boleh berbeda-beda, tapi corak utamanya tetap satu: rumah panggung.
Tidak semua gazebo modern menganut pakem rumah panggung. Artinya, tidak berada beberapa meter di atas tanah. Namun demikian, inspirasi utamanya tetap berasal dari rumah panggung yang ternyata telah lama menjadi warisan seni dan tradisi milik bangsa yang tersebar di Nusantara. Entah siapa yang lebih dulu memulai? Mungkin saja rumah panggung merupakan evolusi dari rumah pohon yang memang menjadi ciri khas masyarakat berburu yang tinggal di hutan-hutan.
(Eco-Village, Rupa Kota Bawah Laut Masa Depan ala Arsitek Belgia)
Atau mungkin berasal dari masyarakat tepian sungai yang terbiasa digenangi luapan banjir pada musim-musim tertentu. Atau, bisa juga seperti suku Bajo di Sulawesi yang membangun rumah panggungnya di atas air laut. Yang jelas, bentuk rumah panggung ini dikenal hampir di sebagian besar masyarakat Nusantara. Mulai dari Aceh, Pelembang, Padang, Sunda, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan, hingga Sulawesi.
Keunikan rumah panggung juga menjadi kekayaan seni tersendiri yang tak ternilai harganya. Mulai dari konstruksi bangunan, teknik penyambungan dan perakitan, tinggi rumah dengan tanah, bahan dan bentuk atap, hingga asesoris-asesoris interior yang penuh makna simbolis maupun filosofis. Makna sebuah rumah panggung mungkin saja melebihi fungsi dan kegunaannya.
(Ioana Vanc, Arsitek yang Membuat Lukisan dengan Sendok sebagai Kanvas)
Sebab, makna sesuatu hal sangat ditentukan oleh alam pikir, pengalaman, dan dunia kehidupan nyata pemiliknya. Jika dilihat sekilas, "rumah berkaki" ini memang menonjolkan fungsi daripada makna. Lihat saja kolong rumah panggung yang bisa dijadikan ruang terbuka maupun ruang penyimpanan yang multifungsi dan efisien. Atau dinding rumah yang tidak seratus persen rapat sungguh menyegarkan karena udara dengan bebas mengalir, tidak perlu pendingin ruangan (AC) yang merusak lingkungan itu.
Rumah panggung di Bali, jineng, dahulu fungsinya adalah untuk menyimpan beras. Begitu pula tongkonan, berguna untuk menyimpan hasil-hasil pertanian sebagai persediaan keluarga, dan juga tempat penyimpanan jenazah sebelum dilakukan upacara kematian (rambu solok). Tetapi lambat laun, model bangunan jineng dan tongkonan juga mengispirasi untuk dibuat menjadi vila atau penginapan yang eksklusif. Tapi di Jawa, ketika saya kecil, rumah panggung hanya untuk rumah burung dara atau merpati.
Orang jawa menyebutnya pagupon. Mengapa orang Jawa tidak begitu mengenal rumah panggung. Menurut analisis dari sisi antropologi, pertanian menetap yang tumbuh di komunitas masyarakat Jawa melahirkan alam kehidupan yang lebih mapan. Artinya, ikatan dengan tanah yang ditempati begitu kuat sehingga harus "dikuasai" dan "dijaga" baik-baik. Bisa juga karena obsesi untuk membangun rumah luas, besar dan lega ala keraton sebagai simbol kesuksesan seseorang.
Akan tetapi, dibandingkan dengan rumah biasa yang "menginjak bumi" dan "kedap udara" karena dibuat dari bata dan semen, tentu saja tidak ada privasi yang benar-benar privat di rumah panggung yang sebenarnya. Pengalaman penulis selama satu bulan di Enrekang, Sulawesi Selatan, keluar masuk rumah panggung dan tinggal bersama masyarakat, mengisyaratkan sebuah pola kehidupan yang penuh keterbukaan. Memang terasa kurang pas untuk orang-orang yang ingin aktivitasnya tidak terlihat oleh orang lain.
Tapi bagi mereka yang cinta kebersamaan dan keterbukaan, rumah panggung sepertinya cocok dengan spirit tersebut. Di dusun-dusun pegunungan di Enrekang (desa Palakka dan Tanete), pola dalam rumah panggung hampir sama satu dengan yang lain. Biasanya satu rumah panggung diisi oleh lebih dari satu keluarga inti (extended family). Di dalam rumah, dibuat sekat-sekat untuk membagi ruangan, seperti ruang tamu, kamar, dan dapur. Tentu saja cukup satu dapur untuk satu rumah. Kamar mandi biasanya diluar atau dibawah rumah.
Ajaibnya, rumah panggung di Palakka ini sebagian besar kaki atau tiangnya tidak disemen atau dipondasi, melainkan hanya ditaruh di atas batu kali. Meskipun demikian, hal itu tidak mengurangi kekokohan rumah tersebut. Bahkan ketika rumah itu di atasnya diisi lima puluh sampai seratus orang, seperti ketika pesta atau selamatan, tidak jua runtuh atau ambruk. Selain praktis, efisien, dapat dibongkar pasang, ternyata rumah panggung ini juga kokoh tanpa pondasi.
Fenomena ini tidak hanya terjadi di Palakka, Kabupaten Enrekang Sulawesi Selatan saja, melainkan juga di situs sejarah peninggalan Kesultanan Buton, Sulawesi Tenggara yang masih terpelihara sejak didirikan pada abad ke-16. Tepatnya pada bangunan rumah di dalam Benteng Keraton Wolio. Di dalam benteng yang memiliki luas 22,4 ha dan panjang keliling 2,740 m tersebut, terdapat 624 rumah yang sebagian besar masih berarsitektur khas Kerajaan Buton, yakni rumah panggung yang dibangun tanpa menggunakan paku besi. Rumah semacam ini jelas mudah sekali untuk dibongkar pasang dan sama seperti di Palakka, tiang-tiang kaki rumah panggung itu hanya bertumpu pada sebuah batu yang ukurannya hampir sama dengan ukuran kaki rumah.
Dahulu, rumah panggung di Desa Palakka maupun di Benteng Wolio 100% terbuat dari kayu dan bahan alam lainnya. Namun seiring dengan perkembangan zaman, rumah panggung sudah divariasi dengan berbagai elemen modern seperti batu bata, keramik, dan atap dari seng atau genting. Bagian rumah seperti dinding dan jendela juga mulai mengikuti gaya rumah-rumah di kota atau di televisi yang setiap hari mereka tonton.
Selain karena pengaruh modernisasi, salah satu yang paling signifikan mengubah kebiasaan membangun rumah panggung dengan kayu 100% adalah larangan menebang kayu di hutan secara serampangan. Banyak hutan dijadikan hutan kawasan dan dilindungi. Tidak setiap penduduk boleh menebang kayu, lebih-lebih kayu-kayu mahal dan berdiameter besar yang mulai langka.
Hal ini pula yang menjadi kegelisahan seorang seniman karungut (seni bertutur, semacam pantun atau syair tentang nilai, adat, moral, dan perjuangan) yang tersohor di Kabupaten Katingan, Kalimantan Tengah, yang bernama Syaer Sua U Rangka atau biasa dipanggil Syaer Sua. Kecintaannya kepada rumah panggung (huma betang/rumah panjang) khas Dayak yang mulai ditinggalkan, membuatnya membangun dua huma betang yang selain untuk ditinggali juga menjadi wahana untuk melestarikan kegiatan kesenian tradisional Dayak lainnya.
Huma Betang khas Dayak ini mulai ditinggalkan karena orang-orang sudah beralih untuk tinggal di rumah-rumah tunggal. Mereka hanya berkumpul di rumah betang ketika upacara adat saja. Untuk mewujudkan rumah betang idamannya itu, Syaer Sua harus mendapatkan kayu pohon ulin atau belian (Eusideraoxlon zwageri) yang mahal dan langka di hutan-hutan adat selama dua sampai tiga bulan sebagai bahan baku rumahnya. Untuk memperoleh kayu-kayu tersebut dia dibantu oleh perusahaan perkayuan yang membantu mengangkut sekitar 150 pohon ulin untuk kedua huma betangnya.
Semakin sulit dan langkanya bahan baku kayu atau pohon untuk membangun rumah panggung tentu menjadi kendala tersendiri bagi masyarakat yang ingin membangun rumah panggung. Meskipun, hal ini menjadi kabar gembira bagi mereka yang cinta dan berjuang menjaga lingkungan, khususnya hutan-hutan Nusantara yang mulai rusak karena pembalakan liar dan pembakaran. Masyarakat, terpaksa ataupun tidak, mulai menahan diri untuk tidak menebang pohon dengan secara liar. Meskipun di sisi lain, muncul kesedihan karena kita akan semakin jarang melihat rumah panggung kayu unik yang dibangun oleh masyarakat, kecuali untuk situs-situs atau pameran cagar budaya yang terbatas sifatnya.
Namun, bukankah makin jarang, tua, dan langka, maka makin bernilai sesuatu itu? Begitu pun dengan rumah panggung, makin tua usia dan orisinil, maka makin bernilai bangunan tersebut. Bahkan seperti sekarang, kecenderungan membangun rumah panggung mini untuk rumah makan, penginapan, atau tempat-tempat peristirahatan di wahana wisata, menunjukkan rumah panggung bisa menjadi trend bangunan dan arsitektur yang menginspirasi dan terpelihara. Tentu dengan bahan-bahan bangunan yang lebih variatif dan (semoga) ramah lingkungan.