Maksud Hati Ingin Membuat Pompa, Petani Anggur Ini Justru Menemukan Kembali Pompeyi yang Hilang Terkubur Gunung Berapi

Moh. Habib Asyhad

Penulis

Di lereng lava Vesuvius pun ditanami anggur lagi. Hingga orang tak tahu bahwa mereka berladang di atas Pompeyi yang terkubur.

Intisari-Online.com – Di lereng-lereng lava Vesuvius itu kemudian ditanam anggur lagi.

Para petani mengerjakan ladangnya di atas tempat Pompeyi dikubur dengan tenang. Beberapa generasi kemudian tidak ada orang lagi yang tahu persis tempat bekas kota Pompeyi.

Sampai petani anggur Giovanni Nocerino dari Resina pada musim semi tahun 1748 perlu membuat pompa air. Waktu itu ia menyentuh lantai marmer putih. Ia belum memikirkan peninggalan kuno. Ia belum tahu bahwa ia berladang di atas sebuah kota.

Ia menjual pecahan-pecahan marmer itu kepada seorang penjual marmer yang menaruhnya di sudut tempat kerjanya menunggu seorang peminat.

Ternyata peminatnya Pangeran d'Elboeuf dari Austria yang sedang mencari bahan untuk sebuah kasino yang ingin dia bangun di dekat pantai. Karena ia tahu tentang barang antik, ia segera mengetahui pentingnya barang ini.

Ia menghubungi petani anggur itu, lalu mulai menggali. Beberapa hari kemudian ia sudah menemukan kubah dengan patung Hercules Yunani di bawahnya. Kemudian ia masih menemukan pecahan albast, patung seorang wanita dan lempengan marmer besar dengan tulisan.

Baca juga: Awas! Selain Merapi, Inilah 4 Gunung Berapi Paling Aktif di Pulau Jawa

Ia minta bantuan para ahli dan mendapat kepastian bahwa barang-barang itu dari kota Herculanum.

Pompeyi ditemukan kembali

Orang waktu itu belum memikirkan Pompeyi sampai para ilmuwan Alcubierre dan Giacopo Martorelli berhasil meyakinkan orang untuk mencoba menggali di lereng Cevita. Mestinya di situ terkubur kota Pompeyi.

Orang menuruti kemauannya dan segera ditemukan buktinya. Di situ mereka menemukan lukisan dinding yang indah, topi helm Rumawi, lampu, jembangan taman, kerangka pria di tengah uang logam di sebuah villa indah.

Sejak itu orang menggali terus; tetapi penggalian itu asal saja. Orang ingin tahu dan ingin mendapat hasilnya. Mereka bekerja tanpa sistem. Kalau sudah ditemukan rumah dan diambil barang-barang yang berharga, tempat itu ditimbun lagi.

Apa yang tidak ada harganya dalam waktu singkat, dibuang begitu saja. Dengan cara ini dunia ilmiah kehilangan banyak.

Berkat marsekal Joachim Murat (1771-1815) dari Perancis dibuat rencana pasti untuk mengerjakan Pompeyi. Joachim Murat ialah suami Caroline, saudara Napoleon, yang tahun 1808 diangkat menjadi raja Napoli.

Baca juga: Erupsi Gunung Agung: Apakah Debu Letusan Gunung Berapi Berbahaya Bagi Pesawat Terbang?

Soalnya waktu itu sudah jelas bahwa Pompeyi lebih penting dari Herculanum. Orang mulai menentukan batas kota, lalu mulai menyingkirkan puing-puing.

Biarpun demikian waktu itu masih banyak yang dirusak. Baru tahun 1860 usaha penggalian itu diatur dengan baik. Napoli menjadi bagian dari kerajaan Italia dan Raja Victor Emanuel II (1820-1878) menyerahkan proyek besar itu kepada arkeolog dan ahli uang logam Giuseppe Fiorelli.

Ia mulai bekerja dengan cara ilmiah dan dengan bantuan keuangan pemerintah Italia. Kota Pompeyi dibagi dalam "regiones" dan "Insulae" serta orang awam dilarang ikut. Di bawah bimbingannya tidak ada barang yang dirusak dan kota Pompeyi mulai tampak bentuknya seperti sebelum malapetaka 79.

Segala sesuatu yang tidak ada pada hari naas 79 itu disingkirkan Pompeyi kuno muncul kembali seakan-akan kita kembali ke 19 abad yang lalu.

Pompeyi sekarang

Sekarang dua pertiga Pompeyi sudah digali. Dan orang yang kini berjalan di lorong-lorong kota kuno itu dan masuk ke rumah-rumahnya, mendapat kesan bahwa belum lama berselang kehidupan Rumawi masih ada di situ dan bahwa Vesuvius baru beberapa minggu yang lalu menunjukkan kemurkaannya.

Baca juga: Fotografer Pemberani Abadikan Danau Lava Gunung Berapi Aktif yang Penuh Risiko

Dan di musim panas memang juga penuh dengan hiruk pikuk turis modern.

Rencana kota dengan jalan-jalannya yang tegak lurus menunjukkan bahwa kota itu lahir sekaligus di atas meja gambar.

Ada miripnya dengan rencana jalan di New York. Waktu itu sistem ini dianggap modern. Sampai sekarangpun masih demikian

Yang khas dari malapetaka itu ialah bahwa dinding-dinding rumah tetap berdiri tetapi atapnya runtuh. Sekarang memang ada rumah yang beratap, tetapi itu khusus dibuat untuk melindungi fresco dari kehancuran.

Orang yang ingin mengunjungi Pompeyi bukan sekedar sebagai turis sebaiknya mengunjungi Museum Nasional di Napoli dulu. Di situ disimpan benda-benda seni, mozaik dan barang-barang lain yang ditemukan selama penggalian kota tersebut.

Baca juga:Foto-foto Mengerikan dari Luapan Lava Gunung Berapi Kilauea di Hawai, Jalanan Beraspal pun Terbakar

Setelah kunjungan itu Anda akan lebih mudah membedakan gaya bangunan yang berbeda-beda yang menunjukkan pengembangan rumah Rumawi. Yang tertua terdiri dari tidak lebih, dari beberapa ruangan sekitar atrium dan taman kecil. Kemudian taman itu, peristylium (teras) dikelilingi oleh gang terbuka dengan pilar-pilar.

Masih ada contoh gang-gang berpilar seperti itu di mana bunga viol tumbuh sekitar tempat air mancur. Di sana sihi masih ada hiasan marmer, meja halus atau pot bunga. Penduduk Pompeyi yang kaya suka dengan gaya peristylium, menaruh patung di situ dan menikmari suara gemirisik air mancur.

Museum malapetaka

Anda juga jangan lupa untuk masuk museum kecil di Pompeyi. Di ruangan masuk juga ada tiruan dari anak yang berjongkok sambil menangis dan menaruh tangannya di atas kepalanya. Di situ orang bisa melihat penderitaan yang terjadi pada belasan abad yang lalu.

Budak yang diikat mati lemas, ibu-ibu yang berusaha untuk melindungi anaknya yang diajak mengungsi dengan tubuhnya sendiri, atap berjatuhan, jerit tangis, karena akhir dunia sudah tiba bagi mereka.

Kini orang bisa melihat bentuk-bentuk batu mereka dalam lemari kaca. Patung itu dibuat dengan cara mengisi lubang dalam lava dengan gips. Manusia seperti waktu mereka disergap oleh lava sekian abad yang lalu kini muncul kembali setelah dikubur di bawah lapisan abu setebal 6 meter.

Baca juga: (Video) Kamera Aksi Ini Merekam Keindahan Lava Yang Mengalir, Bahkan Sempat

Ada yang mukanya penuh ketakutan, tangannya melengkung seperti orang yang sedang kejang. Ada juga yang mulutnya tersenyum damai, karena mungkin mereka sedang tidur waktu maut menjemput.

Corat-coret

Menulis semboyan, harapan dan protes di atas dinding bangunan atau pagar ternyata juga bukan barang baru. Permulaan tahun Masehi praktek itu juga sudah banyak dilakukan. Tidak ada tempat di dunia di mana orang lebih suka membuat corat-coret di tempat umum seperti di Pompeyi.

Ada banyak pengumuman yang ditulis di lapangan-lapangan umum. Entah dengan cara menulis dengan cat di atas dinding atau menggoresnya dengan benda tajam. Dari situ orang bisa mengetahui kehidupan di kota provinsi yang makmur itu.

Di atas sebuah bekas rumah minum tertulis: "Selamat datang. Kami peminum yang baik hati. Kalau Anda datang kami akan memberi gratis."

Seorang langganan yang kurang puas menulis : "Pemilik tempat minum kurang ajar. Dia menjual air sebagai anggur dan dia sendiri minum anggur murni." Di dinding lain tercantum pesan yang lebih romantis: "Di sini pernah berada Romula dan Staphyclus."

Baca juga: 7 Desa Ini Tersembunyi di Tempat yang Tak Terbayangkan, Salah Satunya Ada di Kawah Gunung Berapi

Pasangan merpati lain menulis : "Orang tidak mungkin melarang angin menghembus atau air berhenti mengalir seperti juga tidak bisa melarang orang saling mencintai.

Juga corat-coret dalam toilet ditemukan di Pompeyi. Di situ ada orang yang menulis : "Luciana betul-betul bahenol." Selain itu masih ada banyak tulisan yang kurang senonoh. Gambar-gambar fresco di dinding juga tidak selalu terlalu suci.

Seorang rekan wanita pernah menceritakan pengalamannya kira-kira sepuluh tahun yang lalu ketika ia ikut tour ke Pompeyi. Entah apa yang diperlihatkan oleh pramuwisata kepada pengikut tour pria. Mereka diajak ke sebuah kotak di dinding lalu kembali tertawa-tawa.

Sayang hak istimewa itu hanya diperuntukkan bagi kaum pria. Entah apakah sampai sekarang masih ada diskriminasi seperti itu. Namun menurut seorang pria yang sudah mengintip, apa yang dilihat itu biasa-biasa saja, tanpa menyebut apa.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi September 1980)

Baca juga: Setiap Tahunnya Gunung Berapi Membunuh 540 Orang, yang Paling Mematikan Ternyata Ada di Indonesia

Artikel Terkait