Find Us On Social Media :

Operasi Pembebasan Irian Barat: Antara Moncernya Karier Soeharto dan Kisah di Balik Nama Tommy

By Intisari Online, Rabu, 5 Desember 2018 | 09:15 WIB

Intisari-Online.com - Mayjen Soeharto dilantik menjadi Panglima Mandala pada bulan Februari 1962 dan bertepatan dengan kandungan Ibu Tien Soeharto yang memasuki usia tiga bulan.

Saat itu Ibu Tien memang sedang mengandung anak yang kelima.

Sebulan sebelumnya Soeharto diangkat menjadi Deputi Wilayah Indonesia Timur menggantikan Mayjen Ahmad Yani.

Sebagai Panglima Mandala, ia harus menjalankan mandat Trikora yang dicanangkan oleh Presiden Soekarno.

Baca Juga : Korowai, Suku di Pedalaman Papua yang Masih Doyan Makan Daging Manusia

Salah satu isi mandat itu adalah pengibaran Sang Merah Putih paling lambat 17 Agustus 1962 di tanah Irian Barat (Papua).

Berarti Sang Panglima hanya mempunyai waktu tujuh bulan untuk mengegolkan tujuan itu dan pada bulan ketujuh itu dipastikan Ibu Tien sudah melahirkan.

“Masya Allah,” begitu komentar Soeharto waktu itu.

Tapi memimpin operasi tempur sesungguhnya bukan merupakan hal yang baru bagi jenderal yang di masa mudanya sudah kenyang dengan dunia pertempuran ini.

Baca Juga : Fakta Egianus Kogoya, Pimpinan Kelompok Bersenjata Pembantai 31 Pekerja BUMN di Trans Papua

Selain pernah menjadi anggota KNIL dan HEIHO selama revolusi kemerdekaan, Soeharto juga perah memimpin pertempuran dalam Palagan Ambarawa dan Serangan Oemoem 1 Maret di Yogyakarta.

Berkat pengalaman tempur itu, Soeharto pun segera menyusun rencara operasi militer ke Irian Barat.

Soeharto lalu menyusun tiga rencana sekaligus yang kemudian disatukan.

Yaitu menyusun pasukan gabungan, membangun pangkalan, dan mempelajari medan yang akan digunakan untuk persiapan maupun untuk pertempuran.

Sebagai tambahan, ia juga mempelajari kekuatan Belanda.

Soeharto beranggapan perang akan berlangsung lama sehingga perlu dibentuk kawasan perang (battle field) untuk pembebasan Irian.

Sebagai mantan anggota KNIL dan pernah bertempur melawan pasukan Belanda selama Perang Kemerdekaan, Soeharto paham kali ini kekuatan militer Belanda pasti jauh lebih kuat dan pintar.

Apalagi militer Belanda yang berada di Irian Barat sering melakukan latihan perang secara rutin dengan NATO.

Baca Juga : Ada di Tengah Hutan Papua, Begitu Canggih dan Mewahnya Kota Kuala Kencana Milik PT Freeport

Latihan perang bersama itu yang jelas telah menjadikan kekuatan laut dan udara yang dimiliki oleh Belanda jauh lebih tangguh.

Pengalaman tenggelamnya kapal perang RI Matjan Toetoel di laut Aru akibat serangan kapal perang dan pesawat tempur Belanda membuat operasi militer yang dipimpin oleh Soeharto menjadi bersiko tinggi (high risk).

Dalam benak Soeharto, taktik operasi ini harus didahului oleh serangan infiltrasi melalui laut dan udara.

Pasukan yang harus diterjunkan dalam infiltrasi dipilih oleh Soeharto dari kesatuann-kesatuan khusus yang selama ini telah berpegalaman dalam menumpas aksi pemberontakan di tanah air seperti PRRI/PERMESTA dan pemberontakan di kawasan Sumatera.

Taktik mendaratkan pasukan secara diam-diam dan kemudian melancarkan pegintaian dan perang gerilya itu bertujuan untuk menarik perhatian Belanda sehingga mengerahkan pasukan intinya untuk menyambut infiltran itu.

Soeharto yakin berkat kemampuan pasukan khusus seperti RPKAD dan PGT (Pasukan Gerak Tjepat) AURI, Belanda akan mengerahkan ribuan pasukan untuk menghadapinya.

Ribuan pasukan yang berhasil diikat itu membuat konsentrasi kekuatan pasukan Belanda terpecah dalam waktu yang cukup lama.

Dengan demikian Belanda akan meninggalkan posisi lowong pertahanan di kota-kota, utamanya seperti Biak dan Holandia (Jayapura).

Baca Juga : Kronologi Pembantaian 31 Pekerja PT Iskara di Trans Papua Oleh OPM, Jenazah Belum Bisa Diambil