Banyak Orang dengan Latar Pendidikan Tinggi Masih Lebih Percaya Voodoo untuk Selesaikan Masalah Kompleks

Ade Sulaeman

Penulis

Intisari-Online.com – Tabuhan gendang mengiringi tarian yang membuat peserta upacara voodoo kesurupan. Itu bukan rekaan untuk komoditi tontonan.

Upacara ritual rakyat Haiti, terutama imigran asal Afrika, kini berkembang jadi katup pengaman situasi sosial-ekonomi bagi rakyat kebanyakan, sebaliknya acap disalahgunakan sebagai alat legitimasi penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya.

Inilah yang digambarkan oleh Ratih Hardjono yang berkunjung ke sana pada tahun 1991 dan 1994.

“Erzuli pulang, pulanglah! Kami tak ingin jumpa hari ini. Kami ingin jumpa Damballah, sang penguasa, untuk minta petunjuk," seru para wanita berbaju dan berikat kepala putih.

(Baca juga: Wanita Ini Usir Anak dan Menantunya yang Baru Menikah, Tapi Malah Disebut Mertua Idaman. Kok, Bisa?)

Dengan iringan suara gendang berbagai ukuran, mereka menari mengelilingi sebuah tiang yang berukir ular.

Suara gendang makin lama makin keras dan ritmenya makin cepat. Para wanita pun bergoyang makin hebat menuruti irama. Tiba-tiba seorang wanita berhenti menari.

Kepalanya tertunduk selama beberapa saat, lalu ia mengangkat wajah, bibirnya tersenyum, tetapi matanya terbalik. Hanya bagian putihnya yang terlihat.

Tubuhnya melemas, kontras dengan dinamika irama gendang. Ia mengangkat telunjuknya, seolah-olah berpantomim seperti seorang ratu ayu yang sakti.

Namun para wanita yang lain tetap menari sambil berseru dalam bahasa Creole, "Kembalilah Erzuli! Kembali!" Setengah jam kemudian wanita tadi kembali menari. Roh Erzuli yang merasukinya telah pergi.

Beberapa wanita lain jongkok di tanah. Di hadapan mereka ada anglo dengan arang membara. Sementara houngan atau dukun pria (kalau wanita disebut mambo) membacakan mantra.

Para wanita mengangkat gelas berisi darah ayam campur arak. Mereka pun meminumnya!

Sekonyong-konyong seorang anak kecil dengan terengah-engah masuk ke hadapan houngan sambil menunjuk ke luar, "Damballah!" Kontan semua berhamburan ke luar mencari Damballah.

(Baca juga: Bikin Ngakak! Editan Photoshop Terhadap Pasangan Ini Sungguh Kelewat Batas!)

Di sebuah gang sempit, orang berkerumun. Seorang wanita berumur 40-an tergeletak di jalan. Tubuhnya ditutupi seprai putih. Matanya tertutup, tetapi lidahnya menjulur-julur seperti ular.

Wanita itu pun diangkat beramai-ramai ke kuil. Seprai pun dibuka dan ia pun meliuk-liuk, melata di tanah seperti ular. Damballah yang dinanti-nantikan telah datang!

Seluruh ruangan penuh asap dupa dan gendang pun makin keras dipukul. Para wanita berpakaian dan berikat kepala putih-putih menari mengikuti gerakan jelmaan Damballah.

Houngan komat-kamit membaca mantra. Di tangan kanan ia memegang sebotol rum, sementara tangan kirinya memegang tongkat berukiran ular.

Kelak jika wanita tadi sadar, ia hanya merasa amat lelah. Ia tidak tahu apa yang terjadi pada dirinya selama menjadi Damballah. Upacara voodoo umumnya berlangsung pada hari Sabtu, bisa dari sore hingga pukul 01.00.

Perjalanan ke "dunia lain"

Ritual di atas adalah bagian dari upacara voodoo yang dilakukan oleh rakyat Haiti.

Kalau mendengar kata itu, yang ada dalam benak adalah gambaran mayat yang bisa jalan, boneka lilin yang penuh ditusuki jarum, dan upacara seram di tengah malam nun jauh di pedalaman Haiti yang rimbun.

Kata voodoo sendiri berasal dari bahasa Fon di Afrika Barat, vodun yang artinya roh, dewa, makhluk suci. Sebagian besar penduduk Haiti memang berasal dari Afrika Barat.

Mereka dibawa ke Haiti untuk dipekerjakan di perkebunan gula. Di tanah baru, kepercayaan mereka tak pernah luntur, meskipun bercampur dengan kepercayaan lain.

Kepercayaan akan voodoo telah berurat berakar. Walaupun seseorang telah mengenyam pendidikan setinggi apa pun, ia masih percaya bahwa ada satu kekuatan supranatural.

Soalnya, dari-kecil, mereka telah dijejali berbagai cerita seram yang tanpa sadar terus dibawa sampai besar.

Ada kepercayaan tak boleh membasahi rambut mereka, lebih-lebih basah oleh embun, karena air adalah media yang dapat mengundang para roh jahat; dan airlah sarana yang tak pernah lepas dalam upacara.

Apabila "malam tiba, kanak-kanak tak boleh berkeliaran di jalan, seluruh pintu dan jendela rumah pun harus terkunci. Soalnya, ada roh yang suka meminum darah kanak-kanak. Bentuknya seperti kembang api jika dilihat pada malam hari.

Maka tak heran kalau sampai ada upacara voodoo gabungan, antara dukun dari Haiti dan Brasil, yang pernah terjadi di tahun 1993. Mereka berkumpul di Ouidah, Togo, Afrika Barat.

Persembahannya berupa seekor kambing. Dengan pisau tajam yang diasah di ujung mata panah, binatang kurban disembelih. Darahnya yang mengalir ditampung di semacam bokor.

Sehelai daun dicelupkan ke bokor. Sang dukun, pun menciprat-cipratkannya ke altar. Binatang kurban dihadapkan ke empat penjuru mata angin, sementara para peserta upacara menggumamkan doa.

Seorang wanita memanggul kambing yang sudah terkulai itu dan menggigit lehernya sambil menari berputar-putar. Semua yang ada di situ seperti mengikutinya.

Mereka semua seperti melakukan perjalanan ke "dunia lain", dunia para roh. Suara gendang pun terdengar begitu dukun pemimpin upacara memberi isyarat.

Upacara baru berhenti ketika seorang bertopeng mengusir roh-roh jahat dan mengembalikan suasana menjadi harmonis kembali. Kambing kurban telah membawa semua keburukan dan kekuatan jahat.

Semua pengikut upacara, lelaki, perempuan, dan anak-anak, berteriak gemblra. Mereka lega dan bersyukur, terbebas dari keburukan.

Bagi warga Afrika yang dibawa sebagai budak dari kampung halamannya seperti orang-orang di Haiti, voodoo selain patut diperhitungkan, juga merupakan pegangan, lebih-lebih di kala mereka harus menghadapi berbagai upacara kesengsaraan. Voodoo-lah penguat batin.

Mereka percaya, jika meninggal dalam kepercayaan teguh pada voodoo, arwah mereka akan kembali ke kampung halaman di Afrika atau meneruskan perjalanan ke dunia yang berikutnya.

(Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi November 1996)

(Baca juga: Betapa Terkejutnya Bocah Ini ketika Tahu Lukisan yang Ia Beli Seharga Rp26 Ribu Ternyata Karya Pelukis Terkenal)

Artikel Terkait