Penulis
Intisari-Online.com – Dalam artikel sebelumnya, diceritakan bagaimana Singasari sedang dilanda perang saudara yang melibatkan Kertanegara dan Jayakatwang.
Kertanegara akhirnya tewas bersama patih dan pembesar kerajaan Singasari.
Namun menantu Kertanegara, Wijaya, ternyata memutuskan untuk terus melanjutkan perlawanan.
Di Kapulungan, letaknya di utara Gunung Penanggungan, pasukan Wijaya berhasil mengalahkan pasukan Jayakatwang.
(Baca juga: Bukan Daging, Inilah Menu Makan Siang Paling Enak dalam Pendidikan Komando Marinir yang Sangat Keras Itu)
Demikian juga di Rabut Carat (letaknya dekat Sungai Porong, cabang Sungai Brantas).
Namun, pada pertemuan selanjutnya di Hanyiru pasukan Wijaya kalah, bahkan ada yang memihak musuh.
Setelah itu Wijaya kalah terus, sampai pasukannya tinggal enam ratus orang.
Setelah mengalami penderitaan dalam perjalanan melewati daerah Terung, Kulawan, Kembang Sri sampailah pasukan Wijaya yang tinggal dua belas orang itu di Desa Kudadu.
Dari desa ini Wijaya melanjutkan perjalanan menuju Madura untuk menemui Wiraraja.
Bupati ini ternyata menghormati dan setia kepada Wijaya.
Bahkan ia berusaha agar Wijaya dapat merebut kembali Singasari dari tangan Jayakatwang.
Wiraraja menyarankan agar Wijaya berpura-pura menyerah dan mengabdi kepada Jayakatwang.
(Baca juga: Inilah Sisi Gelap Seseorang Berdasarkan Zodiaknya, Jangan Takut dan Malu Mengakuinya)
Wijaya melaksanakan saran itu. Ia sampai mendapat kepercayaan penuh dari Jayakatwang.
Selama menjadi musuh dalam selimut itu Wijaya sering mengadakan kontak dengan Wiraraja dalam mengatur siasat menghimpun masukan untuk menyerang Jayakatwang.
Atas usaha Wiraraja, Wijaya boleh membuka desa di Hutan Trik dengan alasan desa itu sebagai benteng yang menahan serangan musuh melalui Sungai Brantas.
Desa Trik ini kelak menjadi tempat kerajaan Majapahit yang besar.
Penyerangan tentara Khubilai Khan
Pucuk dicinta ulam tiba, bertepatan dengan rencana penyerangan ke Singasari, pasukan Khubilai Khan datang pada tahun 1293.
Pasukan besar itu berangkat dari Ch'uan-chou pada bulan pertama tahun 1293.
Tiba di Belitung mereka merundingkan siasat untuk menyerang Jawa (Singasari).
I-heh Mi-shih bersama Sun (wakil panglima), ajudan dan tiga pegawai tinggi dari Lembaga Penertiban berangkat lebih dulu dengan membawa maklumat kaisar yang isinya supaya raja-raja Jawa mau tunduk dengan jalan damai.
Pasukan inti menyusul sampai di Chi-li-men (Pulau Karimunjawa) untuk selanjutnya menuju Tu-ping-tsu (Tuban).
Di situ seluruh pasukan bertemu kembali, kemudian mengatur siasat untuk menyerbu Daha, ibu kota Singasari.
Shih-pi dengan membawa setengah pasukan, pergi dengan kapal ke Pa-chiech-Chien (Pacekan). Dari sana mereka langsung menuju ke muara Kali Mas.
Sedangkan I-heh Mi-shih, Kau-Hsing, Cheng Chen-Kuo dan Tuo-Huan, dengan pasukan berkuda berangkat dari Tuban menuju pedalaman. Shen-yuan dengan 10.000 tentara berada paling depan, berjalan kaki.
Kedatangan pasukan Mongol ini diketahui Wijaya dan Wiraraja. Mereka pun bersepakat memanfaatkan pasukan Mongol.
Wrjaya menginmkan utusan kepada panglima pasukan Mongol untuk menyampaikan kabar ia bersedia tunduk dan bergabung menyerang Jayakatwang.
Tentu saja kehendak ltu diterima dengan senang hati oleh panglima Mongol.
Pada awal bulan ketiga, terjadilah pertempuran antara pasukan Mongol dan Jayakatwang di muara Kali Mas.
Pasukan Jayakatwang kalah dan banyak perahu mereka ditenggelamkan pasukan Mongol.
Kini tiba saatnya menyerang keraton Jayakatwang di Dana. Namun, tiba-tba datang utusan Wijaya untuk memmta bantuan karena Majapahit diserbu pasukan Jayakatwang.
I-heh Mi-shih dan Chang segera berangkat menemui Wijaya, sedangkan Cheng Chen-kuo bersama pasukannya pergi ke Chang Ku (Canggu), sebuah pelabuhan di Sungai Brantas untuk memberi bantuan.
Berkat bantuan pasukan Mongol, serbuan Jayakatwang ke Majapahit gagal total.
Setelah tertunda, barulah pada tanggal 15 bulan ketiga pasukan Mongol menyerbu Jayakatwang.
Pasukan dibagi tiga, dua lewat darat dan satunya melalui Sungai Brantas.
Di darat, I-heh Mi Shin memimpin pasukan melalui arah timur, sedangkan Kao Hsing melalui arah barat.
Wijaya dan pasukannya dengan aman mengikuti dari belakang.
Sementara itu Jayakatwang pun telah siap siaga. Lebih dari 100.000 prajurit terlibat pertempuran yang berlangsung sengit dari pagi hingga siang.
Akhirnya pasukan Jayakatwang dipukul mundur ke dalam kota dengan meninggalkan korban yang mati lebih dari lima ribu orang.
Ibu kota pun dikepung ketat dan membuat Jayakatwang frustrasi, hingga pada sore harinya ia menyerahkan diri dari tempat persembunyiannya.
Ia ditawan bersama anggota keluarga dan para pembesar kerajaan.
Raja Jayakatwang kemudian dibawa oleh panglima pasukan Mongol ke benteng pertahanan mereka di Hujung Galuh, letaknya di muara Sungai Mas, daerah Surabaya sekarang.
Dalam tahahan ia menmggal dunia setelah menulis Kakawin (prosa) Wukir Polaman.
Panglima minta dua putri Singasari
Setelah Jayakatwang berhasil ditundukkan, kini Wijaya berniat menghancurkan pasukan Mongol yang telah membantunya itu.
Namun, ia tidak merasa cukup kuat melawan pasukan Mongol secara langsung, jadi harus dipakai taktik lain.
Kesempatan itu muncul ketika panglima pasukan Mongol menagih janji.
Wijaya pernah menjanjikan dua putri Singasari kepada panglima, sebagai imbalan mengalahkan Jayakatwang.
Wijaya pun melancarkan tipu muslihatnya. Katanya, kedua putri itu takut melihat senjata. Seluruh pasukan diminta untuk tidak membawa senjata ketika menjemput mereka.
Di tengah perjalanan, pasukan Mongol yang bertangan kosong itu tiba-tiba disergap oleh pasukan Wijaya dan Wiraraja.
Sejarah mencatat kurang-lebih tiga ribu prajurit kapal yang tersisa. Pasukan Mongol meninggalkan tanah Jawa pada tanggal 13 Mei 1293.
Mereka yang kabur ke laut terus berlayar Iewat Kalimantan Barat untuk kembali ke daratan Cina.
Pada waktu singgah di Kalimantan Barat, konon Panglima I-heh Mi-shih memerintahkan 7 orang perwiranya beserta 250 prajurit untuk membangun basis perbekalan di Kalimantan Barat.
Basis perbekalan ini agaknya disiapkan untuk suatu penyerbuan balasan ke Jawa.
Hancurnya pasukan Mongol oleh kecerdikan Wijaya diakui pula oleh orang-orang Cina yang dimuat dalam berita Cina: "Pada bulan keempat, pada hari kedua Wijaya disuruh kembali ke Majapahit untuk menyiapkan upeti. Orang yang diperintahkan mengawal Wijaya adalah Nieh-chih-pu-ting dan Kan-chou-pu-hua dengan membawa 200 prajurit. Pada hari ke-19, Wijaya berontak dan meninggalkan pasukan kami. Pasukan yang tertinggal mengadakan perlawanan. Nieh-chihpu-ting, Kan-chou-pu-hua, dan Feng Hsiang, ketiganya gugur dalam pertempuran melawan Wijaya."
Sejarah berjalan terus. Wijaya akhirnya menjadi penguasa tunggal tanah Jawa dengan mendirikan dan mengembangkan Kerajaan Majapahit.
Kerajaan ini selanjutnya sanggup mempersatukan wilayah-wilayah Nusantara.
(Baca juga: Ditinggal Kekasihnya Karena Tidak Cantik, Perempuan Ini Ubah Penampilannya, Hasilnya Bikin Pangling!)
(Ditulis oleh Bambang Budi Utomo. Seperti pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Juni 1989)