Bawa Malapetaka, Keris Ken Arok yang Dibuat Empu Gandring Dianggap Sebagai 'Keris Gagal'

Moh Habib Asyhad

Penulis

Intisari-Online.com – Tak bisa dipungkiri, pekerjaan membuat keris bermutu hanya dimiliki segelintir empu yang mempunyai jiwa seni tinggi.

Apalagi karena pada umumnya keris dibuat dengan maksud dan manfaat untuk kebaikan manusia pada umumnya.

Salah besar jika orang menganggap keris buatan Empu Gandring yang dipakai oleh Ken Angrok adalah keris baik.

Keris semacam itu justru bisa disebut keris buruk, misproduct atau salah kedaden, karena membawa malapetaka bagi orang banyak.

(Baca juga: Kisah Kerajaan Mataram: Kalau Bapak dan Anak Jatuh Cinta Pada Wanita yang Sama)

Meski tetap ada kekecualian, misalnya keris yang memang dibuat untuk tujuan membunuh orang.

Salah satu dari sedikit empu yang masih berkarya adalah, Empu Jeno Harumbrojo (60), yang tinggal di Desa Gatak, Sumberagung, Moyudan, Sleman, Yogyakarta.

Berperakawan kurus tapi sehat, berkacamata tebal tapi tidak angker, Jeno bukan sembarang empu.

Bila ditunat ke muaranya, ia masih keturunan empu kondang di zaman Majapahit terakhir, Empu Tumenggung Supodriyo.

Empu Jeno adalah salah seorang dari tiga pewaris kepandaian ayahnya, Empu Supowinangun. Dua pewaris lain yakni kakaknya sendiri, sudah menanggalkan keterampilannya.

Meski sama-sama pandai besi, seorang empu memiliki dasar teknik penggarapan yang amat berbeda dengan kolega mereka yang membuat parang, cangkul, sabit dll. Kalangan konsumen mereka pun berbeda.

Proses pembuatan sebilah keris melewati beberapa tahap yang masing-masing memerlukan ketelitian, kesabaran dan kerja berat baik jasmani maupun rohani.

"Sebelum memulai pembuatan keris, terutama keris bertuah, saya harus melakukan olah rohani yakni berpuasa memohon kepada Tuhan agar mengabulkan permintaan kita sesuai dengan tujuan apa keris ini dibuat," ujar Empu Jeno.

(Baca juga: Benarkah Majapahit Pernah Menguasai Seantero Nusantara? Arkeolog: Itu Omong Kosong!)

Ada keris yang dibuat supaya mendatangkan keselamatan bagi si pemilik, menambah lancarnya rezeki atau prestasi kerja dan sebagainya.

Ihwal puasa sebelum proses pembuatan keris dilakukan aturannya pun tidak tetap. Yang penting tidak melanggar hari pantangan baik si pemesan maupun si empu.

Caranya pun bermacam-macam. "Ada yang mutih, ngebleng atau tidur sekali sehari semalam. Artinya kalau sudah nglilir (terbangun), meski baru tidur sejam, tak boleh tidur lagi," ujarnya.

Lamanya sang empu berpuasa pun tidak bisa ditentukan, ada yang hanya seminggu, tapi ada juga yang sampai 40 hari. Itu semua tergantung dan jatuhnya "pertanda", dhawuh atau wisik yang diterima empu untuk segera memulai pembuatan keris.

Bagi orang lain pertanda itu sama sekali tidak kelihatan. "Wujudnya bisa asreping manah (perasaan yang tenang serta pikiran yang jernih). Namun, bisa juga berujud sanepa atau saloka yang harus dijabarkan lagi," aku Jeno.

Itulah sebabnya saat sang empu melakukan penempaan besi pertama kalinya, tidak boleh dilihat orang lain.

Sebelum mengawali pembuatan keris, seorang empu terlebih dulu harus memilih tosan (besi) dan baja sebagai bahan untuk disesuaikan dengan ukuran, berat serta model (tangguh atau toya) keris.

Masing-masing model seperti tangguh Blambangan, tangguh Mataram, tangguh Majapahit atau tangguh Sendang Sedayu masing-masing membutuhkan bahan yang berbeda-beda.

Sedangkan untuk pamornya (hiasan pada bilah keris) diperlukan nikel. Sebagai contohnya, tangguh Blambangan membutuhkan 4 kg besi, 60 gram nikel serta 4 ons baja. Tangguh Mataram membutuhkan 10 kg besi, nikel 100 gram serta baja 4 ons.

Tangguh Majapahit perlu besi 13 kg, nikel 125 gram serta baja 4 ons. Tangguh Sendang Sedayu membutuhkan besi 15 kg, nikel 150 gram serta baja 4 ons.

Menurut Haryono Arumbinang, ahli metalurgi dan dosen fakultas pasca sarjana UGM yang juga tokoh Pametri Wiji, perkumpulan penggemar tosan aji Yogya, bahan pamor zaman dulu banyak mengandung timah putih, titanium, stibium, perak dan beberapa logam langka se perti magnesium, zirconium.

Sementara pamor sekarang hanya terbuat dari nikel. "Keris dulu lebih bagus karena bahan pamornya banyak mengandung titanium. Tapi konsekuensinya, untuk menyatukan bahan keris dengan pamornya harus melalui proses pembakaran sampai 1.500 ° C. Karena sifat titanium yang 4 sampai 5 kali lebih keras dibandingkan dengan baja serta tak mudah karatan."

Biasanya besi itu dipanaskan sampai mencapai suhu 1.100° C selama lebih kurang dua hari. Dari besi pilihan yang sudah dibentuk menjadi lempengan itu ditumpuk sampai berlapis-lapis bersama bahan nikel sebagai pamornya, dan selanjutnya ditempa, dilipat, dipuntir untuk mendapatkan pamor yang dikehendaki.

"Di samping untuk menyatukan, pembakaran ini berfungsi juga untuk mencuci besi (masuh) sekaligus membuang karat. Jadi jangan heran kalau sudah jadi, keris (duwung) yang berat mentahnya 8 kg jadi 4 kg," ujar Jeno.

Jumlah tumpukan besi – nikel ini bermacam-macam. Dari yang hanya 32 lapis (lima kali tekukan) seperti keris tangguh Blambangan, 250 lapis (tangguh Mataram), 2.024 lapis (tangguh Majapahit), sampai 4.096 lapis (tangguh Sendang Sedayu).

Setelah diperoleh lapisan yang dikehendaki, lempengan campuran itu kemudian dibentuk kodokan (berbentuk seperti katak) disatukan dengan baja yang berbentuk sama di tengahnya, lantas ditempa lagi sampai menyatu.

Baru kemudian proses pembentukan keris dilakukan sesuai dengan pesanan. Mau keris bentuk (dapur) bagaimana dan luk berapa. Dalam proses ini juga dilakukan pengikiran keris, agar bentuk pamor kelihatan.

Pada dasarnya pamor dibedakan atas pamor Jewalono dan Anukarto. Pamor Jewalono adalah pamor yang disainnya tidak direncanakan terlebih dulu sedangkan Anukarto desainnya sudah direncanakan sesuai dengan jenis pamor yang dikehendaki.

"Namun, ada juga pamor keris yang memakai metode gabungan keduanya, sebagai contoh pamor Udan Mas," tutur Arumbinang.

Melalui proses yang cukup rumit tersebut, sebuah keris bagus dan bertuah baru bisa selesai minimal 4 bulan. Lamanya waktu tersebut, tak hanya karena pekerjaannya sendiri tak gampang, tapi juga karena tak setiap hari si empu bekerja.

la akan bekerja kalau suasana hatinya cocok. "Kalau membuat keris pusaka saya selalu nyenyuwun (berdoa) dulu setiap kali mau mengerjakan. Bahkan tiap malam selalu disanding tidur," aku Jeno.

Empu yang menduda sejak tahun 1950, ini sempat mengisahkan pengalaman gaibnya dalam proses pembuatan keris sekitar tahun 1970- an. Pada saat berada di besalen (ruang kerja), perasaannya melihat beberapa ekor ular hitam bergerak melata mengitari tungku pembakaran, persis ketika ia akan mulai menempa.

Beberapa saat kemudian, binatang melata itu manjing (merasuk) persis ke dalam besi yang sedang ditempanya. "Itu satu pertanda kalau permintaan pembuatan keris ini terkabul," kilah empu yang sudah dua kali dipercaya Sultan Hamengku Buwono IX membuat Keris Jangkung Mengkunegoro (1984) dan Keris Sinom Jalak Tuding (1985).

Meski sosok keris bisa dikatakan sudah jadi, si empu masih harus memeriksa secara teliti, telah sempurna atau belum. "Tahap ini pun tetap penting karena si empu bisa jumbuhaken raos. Artinya, meski bentuk kerisnya sudah bagus tapi barangkali perasaan saya belum sreg," tambah Jeno.

Proses selanjutnya, giliran mranggi (tukang membuat sarung keris/warangka) dan kemasan (membuat dan menghias pendok) yang bekerja melengkapi penampilan sebuah keris.

Minta izin yang di atas

Tak hanya manusia saja yang membutuhkan pakaian atau busana, keris pun memerlukannya. Walaupun seni membuat warangka adalah karya yang menuntut keahlian khusus, toh harus selalu bersatu guna dengan kerisnya.

Di lain pihak, meski tetap diakui sebagai karya agung, sebuah keris tanpa warangka dianggap belum punya daya tarik yang mantap dan masih dirasa timpang dalam salah satu daya gunanya.

Sebuah keris utuh terdiri atas ukiran, yakni hulu keris yang biasanya terbuat dari gading atau kayu; seloot dan mendak sebagai penguat sekaligus asesori ukiran; duwung (bilah keris) yang terbungkus dalam warangka (sarung) dan pendok (pelapis sarung yang langsung membungkus bilah keris).

Wusanto Haryoto Wigardo (46) salah seorang mranggi terkenal di kawasan Gamping, Yogyakarta, sejak berkecimpung dalam dunia ini 30 tahun lalu, menggunakan bermacam jenis kayu sebagai pendok maupun warangka keris.

Misalnya kayu cendana, kemuning, timoho maupun kruing. Bahan itu berlaku baik untuk membuat warangka jenis gayaman maupun ladrangan.

Seperti halnya, mereka yang terlibat langsung dalam pembuatan keris, Wusanto pun percaya adanya keris pusaka yang bertuah. Tak berarti ia lalu membeda-bedakan perlakuannya terhadap keris-keris semacam itu. Semua keris yang dikerjakan, diperlakukan dengan hati-hati.

"Ibaratnya tukang cukur, setiap kali mau menggarap warangka sebuah keris, saya minta izin dulu yang di atas agar tidak terjadi apa-apa," katanya seraya menunjuk ke atas (Tuhan).

Namun karena jenis pekerjaan mranggi berbeda dengan seorang empu, Wusanto tidak perlu melakukan olahrohani baik sebelum maupun selama membuat warangka.

Keris yang utuh, lengkap dengan warangka pendok, dan asesorinya bisa dikatakan hasil dari kerja kreatif banyak tangan. Plus tentu saja wujud olahrohani sang empu kalau itu keris bertuah.

Berbeda dengan keris cendera mata (kodian), produk sebuah industri yang dibuat secara mass product untuk keperluan bisnis semata. Oleh karena itu kalkulasi harga sebuah keris pusaka juga tidak bisa ditentukan hanya berdasarkan bahan mentah dan ongkos tenaga pembuatannya.

"Ibaratnya keris itu seperti burung perkutut ataupun kuda. Tidak ada standar harganya. Semuanya tergantung dari yang ingin memiliki. Ada sebuah keris yang harganya bisa mencapai 50 juta rupiah," ujar Jeno. Itu juga sebabnya tidak ada keris yang bentuknya paling baik.

"Yang ada hanya keris yang paling cocok dengan yang punya. Tolok ukumya ya rasa suka dan 'suka'."

Begitu pentingnya kedudukan keris dalam kehidupan pria Jawa, sampai-sampai Arumbinang mengibaratkan keris dengan sebuah kaset. "Isi rekaman sebuah kaset bisa membuat pendengamya mengentak-entakkan kaki, tertawa terbahak atau bahkan menangis. Hanya bedanya, kaset diisi dan dikosongkan dengan peralatan mesin sedangkan keris diisi dengan olahrohani sang empu pembuatnya."

Tak heran, Hardjonagoro sampai kini masih percaya mitologi perkerisan. Sebagai seorang abdi dalem Keraton Surakarta ia sadar untuk tetap mencintai, mengerti sekaligus mempercayai berbagai peninggalan budaya khususnya keris yang berkaitan dengan mitologi serta kekuatan magisnya.

“Tak hanya keris, tapi barang apa pun yang pembuatannya dilandasi dengan laku (olahbatin) selama beberapa waktu terus menerus, pasti hasilnya lain. Paling tidak getaran jiwa atau rasa si pembuat akan diserap oleh barang tersebut," kilah Hardjonagoro.

(Baca juga: Polah 'Sadis' Raja-raja Mataram di Sela-sela Waktu Semadi Meminta Berkah dari Nyai Roro Kidul)

(Seperti pernah dimuat di MajalahIntisariedisi Desember 1991)

Artikel Terkait