Advertorial

Adu Domba Sah-sah Saja kok Dilakukan, di Garut Bahkan Jadi Kebiasaan

Moh Habib Asyhad

Editor

Bagi warga Garut dan sekitarnya, atau bahkan sebagian warga di luar Garut, adu domba menjadi hal yang sangat dinant-nanti.
Bagi warga Garut dan sekitarnya, atau bahkan sebagian warga di luar Garut, adu domba menjadi hal yang sangat dinant-nanti.

Intisari-Online.com – Istilah adu domba terkadang membersitkan makna yang membuat kening berkerut. Pihak siapa diadu dengan siapa, dan siapa pula dalangnya?

Banyak nian unsur "siapa" yang terlibat. Namun, di Garut, Jawa Barat, peristiwa itu justru dinantikan. Sebabnya? Adu domba di Garut menghadirkan keriaan.

Memang, ini adu domba yang sebenarnya, bukan "adu domba".

(Baca juga:Kisah 'Ombak Tsunami' saat Banjir Garut yang Tewaskan 18 Orang)

Tembang khas Tanah Pasundan mengalun, terdengar lewat pengeras suara. Itu pertanda bahwa di wilayah tersebut sedang berlangsung keramaian.

Suasana tak hanya terasa meriah, bahkan lebih pas disebut ingar-bingar. Kemeriahan itu pasti akan lebih "meledak" apabila musik langsung melantunkan pesinden dan kelompok pemain musiknya.

Bagi warga Garut dan sekitarnya, atau bahkan sebagian warga di luar Garut, keramaian dapat berujud bakal adanya adu domba.

Memang, biasanya pesinden dan kelompok pemain musiknya diundang bila acara yang digelar lumayan besar alias punya banyak peserta.

Suasananya benar-benar mencerminkan tengah ada hajatan besar. Banyak warga yang menonton dan penjual yang mencoba menangguk keuntungan.

Dari mulut ke mulut

Umumnya, adu domba diselenggarakan di lapangan atau tempat-tempat yang memang khusus untuk itu, seperti yang terdapat di Ranca Bango, Tarogong.

Masih ada beberapa tempat lain yang kerap juga menjadi arena laga, di antaranya Ngamplang, Cilawu, Cipanas, Cikuray, Leles, Cibeureum, dan lainnya.

Biasanya, acara dimulai pagi hari sekitar pukul 10.00 WIB, dan baru berakhir menjelang sore.

Lucunya, kabar perhelatan satwa bertanduk melengkung itu biasanya beredar hanya dengan dikabarkan dari mulut ke mulut.

Tidak ada pengumuman, entah berupa spanduk yang centang-perenang ataupun selebaran brosur.

Kabar yang mampir di telinga seketika disambut para peserta lomba. Mereka pun sigap mendatangi tempat lomba.

Umumnya, penyelenggaraan dilakukan per wilayah atau kecamatan, meski ada pula yang cakupannya lebih luas hingga tingkat kabupaten.

Biasanya pula bunyi tanduk beradu dapat terdengar sedikitnya enam bulan sekali. Salah satunya diselenggarakan menjelang hari jadi Kota Garut.

Selain menembangkan lagu, pesinden juga bertugas memanggil peserta adu domba.

Bahkan, ini yang unik, sesekali pengumuman tentang tagihan biaya pendaftaran yang belum dibayar.

Jangan kaget pula bila tiba-tiba sang pesinden nyeletuk, "Saweran na Akang, jangan lupa." Aha, rupanya itu memaknai ada domba yang menang. Lumayan juga, karena uang saweran itu dapat masuk ke kantong pribadi pesinden.

Banyak akal bila terpaksa tak ada pesinden live. Bagi panitia yang hanya mampu memutar kaset sebagai tembang pengiring, biasanya disediakan sedikitnya satu buah gendang.

Nantinya, gendang itu bakal dimanfaatkan pula untuk musik pengiring saat domba bertarung. Tujuannya, tak lain agar lebih meriah.

Nah, pastinya, bila tanpa pesinden biaya penyelenggaraan akan lebih murah. Lalu berapa besar biaya setiap peserta untuk ikutan mengadu domba?

Kabarnya sih tidaklah mahal. Kisarannya antara Rp 1.500,- - 2.500,-. Biasanya, biaya akan lebih mahal bila menggunakan pesinden berikut kelompok musik tradisionalnya.

Menambah nilai jual

Bukan domba sembarang domba yang dapat unjuk gigi di arena ini. Ada syarat yang harus dipenuhi, di antaranya sedikitnya domba telah berusia dua tahun, dan giginya sudah tanggal dua.

Syarat wajib lainnya, harus mempunyai tanduk. Alamak, tentu saja. Bukankah tanduk menjadi bagian penting, karena inti dari acara ini sebenarnya adu tanduk?

Kalau domba aduan tak bertanduk, bagaimana pula bentuk pertarungan mereka? Apakah bergulat? Bersilat?

Domba primadona, seperti apa pula sosoknya? Ternyata, dia tidak hanya karena memiliki tubuh kekar, tapi juga harus memiliki tanduk yang indah dan kuat.

Tubuh kekar sang domba, tak seketika bisa diperoleh. Bukan hanya sang domba, pemiliknya pun perlu bekerja keras. Biasanya, si pemilik akan memberi makan domba kesayangannya dengan rumput yang dicampur ampas tahu.

(Baca juga:Saat Pesawat Kargo Milik Singapore Airlines Dipaksa Mendarat di Bali oleh Kentut Domba)

Tak hanya soal makanan, perawatan khusus pun diberikan, agar si domba aduan tampil "cling" di palagan.

Bulu-bulunya sering dibersihkan alias dimandikan. Apalagi, salah satu kriteria penilaian juri ialah keindahan bulunya.

Sekadar bersih rupanya tak cukup memuaskan hati. Agar domba tampak lebih menarik, pemilik domba tak segan-segan menghias dornbanya.

Benang-benang berwarna dironce serupa bandul, rapi terikat di leher atau tanduk. Kerincingan, pun pantang dilupakan. Manakala domba bergerak, bandul dan kerincingan bergoyang-goyang.

Sang domba pun tampil makin elok. Namanya juga pertandingan, selain juri ada juga wasit, yang harus gesit terjun ke tengah-tengah arena.

Debum benturan tanduk antara dua ekor domba sedikitnya harus dilakukan sebanyak 25 kali. Biasanya, wasit akan menghitung, dibantu oleh seorang anggota panitia.

Setelah 15 kali aduan, domba biasanya ditarik terlebih dahulu agar saling menjauh. Itulah kesempatan beristirahat, kesempatan pemilik domba untuk memijat bagian leher domba agar tidak tegang.

Selanjutnya, adu domba dilanjutkan hingga hitungan ke-25.

Siapakah sang pemenang? Seekor petarung dianggap menang apabila dapat memenuhi beberapa hal.

Pertama, jauhnya jarak mundur saat akan menabrakkari tanduknya, keindahan bulunya, serta kesehatan dan kekuatan badannya.

Tak dipungkiri, adu domba menjadi salah satu faktor yang dapat meningkatkan harga jual seekor domba.

Semakin sering mengikuti pertandingan, semakin mahal harganya. Bisa mencapai Rp 2,5 – 10 juta.

Hebatnya, sering terjadi transaksi berlangsung tak lama setelah pertandingan. Jadi, ini rupanya yang perlu diamati.

Tradisi dan ekonomi bisa berjalah berdampingan. (Sabai Basuki)

(Artikel ini pernah dimuat di Majalah Intisari edisi Januari 2003)

Artikel Terkait