Setiap kali kami akan mendarat, selalu tertangkap radar Belanda dan pesawat Neptune segera datang. Kelak kami ketahui bahwa pulau yang dipakai sebagai check point dilengkapi dengan radar.
Setiap diburu Neptune, kami melarikan diri ke perairan bebas. Sehingga dengan sendirinya selama berjam-jam kapal kami tidak dapat menyembul untuk mengganti udara bersih.
Dalam keadaan demikian, sebagai sumber oksigen digunakan suatu alat yang bisa menyerap karbon dioksida dan mengeluarkan oksigen.
Alat ini hanya bisa bertahan selama tiga jam dan sesudah itu harus diganti dengan yang baru.
Namun, alat itu tidak bisa membersihkan karbon dioksida secara tuntas. Akibatnya setelah menyelam sepuluh jam kadar karbon dioksida menjadi demikian tinggi sampai dua orang anggota pasukan kami pingsan.
Itu terjadi pada waktu kami dikejar Neptune dan terpaksa berhenti dengan mematikan mesin agar tidak terdeteksi oleh musuh.
Beberapa hari setelah pendaratan, tiga orang anggota pasukan tertawan pihak marinir Belanda. Di antaranya seorang mantri kesehatan, seorang sarjana sosial politik yang disiarkan oleh Radio Australia sebagai doktor kerakyatan.
Akibatnya, keluarga saya dan teman-teman di Jakarta menyangka saya ikut tertawan. Untunglah, diplomasi di PBB berhasil dan gencatan senjata dapat dilaksanakan segera.
Bayi ditukar babi
Selama masa Trikora kesibukan yang luar biasa nampak di Indonesia bagian Timur. Mulai dari Ujungpandang, Bitung, Morotai sampai Ambon.
Pasukan dan kapal perang dikerahkan ke sana. Ada sebuah kapal yang dipersiapkan sebagai rumah sakit berjalan dan juga membawa peti mati di geladaknya.
Selama di Irian Jaya, saya bertugas di Kota Baru (sekarang Jayapura), P. Biak, dan terakhir di Sorong. Selain di rumah sakit tentara, saya juga bertugas di rumah sakit umum dan mengajar di SMA Negeri, yang saat itu baru sampai kelas satu.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR