Pada bulan Juni 1962, saya ditugaskan direktur Kesehatan Angkatan Darat untuk bergabung dengan satu peleton pasukan khusus RPKAD.
Tugasnya menyusup ke Irian Barat dengan kapal selam. Pasukan kami disebut tim Lumba-lumba, dipimpin oleh Kapten Dolf Latumahina.
Setelah menerima briefing di Ambon, oleh Pak Harto sebagai Panglima Mandala, kami diberangkatkan dengan tiga kapal selam pimpinan Mayor Tedy Asikin (almarhum), menuju pantai barat bagian utara Irian Barat.
Setiap kapal selam hanya mampu menampung 15 orang anggota pasukan. Di dalam kapal selam buatan Rusia yang biasanya mangkal di Wladiwostok ini, terasa panas sekali.
Kapal selam itu memang dipersiapkan untuk daerah dingin. Untuk mengurangi kegerahan kami hanya mengenakan celana dalam dan singlet saja.
Setiap 3-6 jam kapal selam ini menyembul ke permukaan air untuk mengganti udara bersih. Di dalam kapal selam, kami tidak boleh banyak bergerak. Dilarang banyak bicara.
Juga tidak boleh merokok. Itu semua untuk menghemat oksigen. Nah, pada waktu kapal selam menyembul ke permukaan, kami secara bergantian boleh naik ke anjungan untuk menghirup udara segar.
Kesempatan ini sering kali juga digunakan untuk membuang hajat karena memang WC-nya berada di luar, berhubungan langsung dengan laut bebas.
Namun ketika sudah memasuki perairan Irian Jaya, kami hanya muncul ke permukaan pada jam-jam tertentu untuk saling berkomunikasi dengan kapal induknya, yang berpangkalan di Pulau Morotai.
Selain sekaligus untuk mengganti udara bersih, juga mendengarkan berita dari RRI Jakarta dan Radio Australia.
Yang kami dengar dari siaran radio tersebut waktu itu, Jakarta sedang sibuk dengan penyelenggaraan Asian Games dan diplomasi Indonesia mengenai Irian Barat.
Misi yang kami emban pada waktu,itu ialah menyusup dan memberi pelayanan kepada masyarakat setempat.
Penulis | : | Ade Sulaeman |
Editor | : | Ade Sulaeman |
KOMENTAR