Teknik mengikat tangan dan kaki itu ternyata bukan cuma dua jam itu saja kami pelajari, tetapi juga pada hari-hari berikutnya. Makin lama kami makin terampil dan makin cepat mengerjakannya.
Hughes selalu mengingatkan, "Kalian harus cepat! Kalian harus cepat! Ayo, lebih cepat! Bagus, lakukan lagi!"
Kedengarannya sih gampang mengikat tangan dan kaki. Apalagi yang diikat teman sendiri, jadi tidak banyak cingcong. Dalam kenyataan tidaklah demikian.
Siang hari itu Harry disuruh mengukur lebar pintu jebakan. Ternyata 7 kaki 6 inci (± 229 cm). Tepat di tengahnya, Hughes mencoret huruf T dengan kapur. "Tepat di atas tergantung tali," katanya. “Orang yang menjalani hukuman mati harus disuruh berdiri di titik ini. Ukuran ini tidak boleh dikira-kira, mesti betul-betul diukur dengan cermat. Meleset satu inci saja akan membuat orang yang digantung terayun-ayun seperti bandulan lonceng."
Latihan menggantung kantung pasir
Kami digiring kembali ke sel. "George, kau jadi terpidana mati," katanya kepada Dickinson. "Syd, kau jadi algojo. William menjadi asisten algojo dan kau Harry menjadi pendeta."
Kami pun mengambil posisi. George Dickinson duduk membelakangi pintu sel. Harry Allen berdiri di depannya.
(Baca juga: Tuk! Upaya Banding Dikabulkan, Dahlan Iskan Divonis Bebas oleh Pengadilan Tinggi Surabaya)
Ketika William Pollard dan saya masuk, Harry memberi berkat kepada George dengan senyum geli. William dan saya menepuk bahu George dan ia bangkit.
Kami mengikat tangan George ke belakang. Kemudian saya mengawali, iring-iringan memasuki ruang eksekusi. Saya menstop langkah George tepat di tanda kapur.
Agak kikuk juga saya ketika menyelubungi kepalanya. Kemudian tali saya kalungkan ke lehernya. Sementara itu William mengalami kesulitan mengikat pergelangan kaki George.
"Tepuk pundak William," teriak Hughes. Saya membungkuk untuk melaksanakan perintahnya. "Menyingkir dari pintu jebakan," seru Hughes pula.
Penulis | : | Moh Habib Asyhad |
Editor | : | Moh Habib Asyhad |
KOMENTAR